Desis ini serupa ular yang merayap kemudian menjalar, aku masih terbaring dan tak bisa bergerak. Hatiku masih terpaut pada bisikan yang membuatku tergetar. Kau begitu menyihirku seperti cinta. Aku tak berdaya dan semalaman hanya memikirkanmu. Desis nafasmu, deru jantungmu. Aku masih bisa melihat ketulusan dari kedipanmu, lalu terpejam. Dan aku mulai meraba-raba, seperti sentuhan bulu merak yang merayap saat membelai. Aku membelaimu hingga dirimu benar-benar terlelap. Saat itu, aku hanya bisa memandangimu dengan penuh cinta. Saat kau berada benar-benar dekat. Sedekat syaraf yang mengakar. Kau masih sama, tetap setia menatapku, walaupun ada derai sendu dan kerinduan yang tak habis hilang semalam. Aku ingin tetap disini, bersamamu. Kemudian bibirku mengatup untuk sesaat. Aku melihat dirimu terlelap dalam pelukanku. Seperti jarum waktu yang terkunci, lamat-lamat mataku hangat, seberkas bening air membasahi. Aku tahu bahwa kemesraan ini tak begitu lama, sehingga aku menyesapi setiap jengkal waktu yang tersisa. Gelora asmara yang begitu membuncah karena luapan rindu yang tak terkira, adalah nyanyian peri yang dikumandangkan sehabis hujan. Aku menyulam rasa rindu dari ciuman yang kau titipkan pada bibirku, membekas. Ketika bibirku mulai merekah dan nafasmu terasa di ujung lidah, aku selalu ingin menciumu dalam satu kecupan yang panjang. Namun, di tempat ini tak kutemukan lagi rinai hujan yang sama. Jarak pandangku terhalang batas waktu.
Mungkin suatu saat aku akan teringat, saat gerimis turun dari kelopak mata dan nafasku tercekat, tentang cerita yang tak bisa kulupa. Seperti merayakan tangisan dan aku hanya melihat pipiku bersimbah air mata dan tanganku memeluk dadaku sendiri. Akankah keindahan ini terlihat saat mataku benar-benar terpejam. Mengapa aku bisa sangat merindukan kematian. Ketika aku tidak bisa berbuat apa-apa dan aku hanya bisa membayangkan keajaiban seakan benar-benar terjadi. Dimanakah arti ketulusan jika aku tak lagi melihat senyum diantara garis bibirmu. aku hanya berdiam menunggu pagi dan selama detik-detik berguguran aku dipenuhi kegelisahan karena memikirkanmu. Dan senandung sendu terus terngiang di telingaku mengajakku bercengkrama dengan kepiluan, kepedihan hati. Kau hanya membisu. Aku tidak lagi menemukan matamu yang bening dan teduh sehingga mataku terendam air. Aku tidak bisa menahan kesedihan karena dadaku berguncang ketika teringat namamu, ada ratusan namamu yang terukir di sini. Setiap kali kucoba hapuskan, kenangan itu seolah baru saja terjadi. Aku menggapai dinding yang rapuh, hatiku pun luruh. Apakah aku buta? Ketika tak ada lagi yang bisa kulihat. Aku hanya bisa meraba diantara deretan huruf mati. Tak ada sentuhan dan senyuman yang tergambar selain tanda kurung yang terpenggal diantara titik dua. Aku sangat merindukanmu dan aku tidak tahu lagi caranya untuk meluapkanya karena telaga di mataku tak terbendung lagi. Dan aku hanya ingin mendengar suaramu. Tapi lamat-lamat langit padam dan tak kudengar kicauan burung yang seringkali melintas di pikiranku. Aku ingin menangkap salah satunya untuk kita pelihara. Ketika jejak air mata itu kuseka dengan secarik kertas tisu maka sekalipun kenangan itu masih tersimpan basah. Dan aku tidak pernah lagi mendengar suaramu. Kenapa kau merampasnya dariku. Pintu langit terkunci dan tak ada lagi cahaya yang menyelinap dalam ruang hatiku. Gelap. Derai tangis yang kusulam menjadi ratapan dan tangisan seperti gemuruh doa yang datang berkumandang pada lubuk hatiku yang sempit. Aku mencarimu diantara titik persimpangan. Aku mencari setiap kemungkinan untuk tetap bersamamu. Ketika keabadian itu terjadi dalam mimpi. Maka aku membangun mimpi-mimpi itu dari malam yang tersisa. Dan aku tidak menemukanmu. Aku hanya menemukan kekosongan dan kehampaan. Dimana lagi kucari bayangmu yang hilang ketika aku tidak dapat melihat bayanganku sendiri. Dan mataku tertutup karena kulihat darah menetes dari dalam hatiku.
Tgl ini kuingat lagi saat kubaca
09 oktober 10