Aku tak pernah menyangka, cerita ini akan berakhir tanpa kutahu dimana titik aku harus menghentikan perasaanku. Menjalani sisa kepiluan hati yang terkoyak lantaran kau pergi. Setelah semua yang kau coba untuk membangun rasa cinta. Lalu badai dengan mudah meruntuhkan segalanya, termasuk perasaanku. Kau, menyalakan api dan memadamkanya dalam satu tiupan sementara hatiku tak lantas padam dengan seketika. Kecuali derai air mata yang deras turun seperti hujan. Dulu, kau semanis madu di sarang lebah. Dalam waktu yang sama kau menyengat rasa sakit yang tak terperikan. Rindu menerpa tapi sakit begitu menyiksa. Awal selalu indah tapi perpisahan selalu menyisakan drama kesedihan. Tak cukup kutebus ribuan tetes bening kristal yang lahir dari mataku. Ini tak semudah mengarang cerita, alur cinta yang kurangkai tak berakhir dengan luka. Tapi kau begitu mudah membuatnya menjadi nyata. Kisah yang bermula tentu akan menemukan titik. Di mana aku akan menyadari, api cinta akan padam dalam hatiku entah sampai kapan.
Kamu tahu, aku seperti berdiri di ambang pintu sementara kakiku terpaku untuk bergerak atau diam. Tak ada lagi jejak bisu semacam kerinduan. Aku tak tahu kemana hati ini mengarah. Sedangkan aku tak tahu apakah seseorang di sana memendam rasa yang sama. menyembunyikan perih dan kesendirian mengulas senyum yang kuanggap palsu. Jika, hati ini harus bertahan di antara kesepian. Padahal, setiap malam kusapa rembulan yang selalu hadir tengah petang. Seakan janji tak pernah ada. Apa yang terjadi manakala hatiku membisu, karena hati nurani tak lagi bicara. Ketika perasaan seperti tak pernah berkata, menepikan rasa cinta yang selama ini selalu tumbuh tanpa bunga. Mengakar tapi tumbang karena cuaca. Kutepikan rasa rindu di ujung dermaga seperti batu yang terdampar di pantai. Aku tak bisa mengharapkan apa-apa darimu, sang surya. Jika malam ini terasa sama, aku asing tanpamu karena kegelapan tak pernah seterang jika rembulan tak muncul. Menghangatkan hati yang telah membeku.
Suatu waktu, aku ingin melintasi pikiranmu. Kemudian singgah dan menetap entah sampai kapan di hatimu. Membuka jendela dan sekadar menghirup udara dari rongga dadamu. Mengekalkan kerinduan ini yang terus bermuara pada pertemuan yang singkat. Menyusuri setiap celah tubuhmu untuk kuingat. Apakah, ini menjadi hal yang ditakutkan. Perlahan, kau akan terlepas dari ingatanku. Kemudian pergi entah kemana tak kutahu. Sementara hatiku menangis seperti tak ada kesempatan kedua. Tak ada pertemuan lagi, orbit yang melintasi garis edarku begitu berbeda. Melihatmu dalam sekejap menimbulkan semacam rasa yang tak kumengerti. Senyum pun tiba-tiba mengembang di depan cermin. Lalu berubah menjadi raut duka yang tertutup luka. Cinta menjadi tak penting setelah kisah ini berakhir. Manakah di antara detik yang berhenti untuk mengabadikan kenangan. Selain luka yang terus membekas selama waktuku berjalan. Aku ingin menjadi seperti yang kau kenal, seperti yang kau tinggalkan.
Barangkali, kau telah berhasil mencuri perhatianku. Bahkan, kau berhasil merampas hatiku. Setelah kita menjalani cinta yang terikat dalam hati. Kau, mampu membuatku memahami arti saling berbagi. Menjalani kisah dan jalinan cerita yang hangat. Menapaki jejak-jejak rindu yang mulai tertiup angin. Di manakah kelak jalan ini menemukan ujung sementara hatiku meraba karena tak kutemukan cahaya. Secercah harapan seakan menjadi jalan untukku kembali. Berdiri, seolah tak pernah tahu untuk apa cerita ini dimulai. Sebelum akhirnya terpaksa harus usai tanpa seberkas alasan yang menutupi. Malam semakin mesra. Sampai, aku tak menemukan dirimu lagi. Kau pergi jauh, tanpa meninggalkan sepucuk surat maupun kabar. Entah itu pesan atau sekadar catatan kau lenyap seperti debu ketika diterbangkan badai. Kini kusadari bahwa selama ini kau telah mengajariku banyak hal, mencintaimu. Tapi kau melewatkan satu hal untuk mengajariku bagaimana cara melupakanmu.
Lama sekali aku memandangmu, ketika serpihan rindu akan kembali terbit laksana mentari di ufuk sana. Aku ingin menyimpanmu dalam setiap detik mataku berkedip. Menyusuri setiap sudut hati yang akan kembali sepi karena kau pergi. Senyap kembali merayap saat malam kembali tergenang sepi, manakala bahasa kesunyian tak mampu terdefiniskan arti. Bahasa hati tak pernah mampu mengungkap luapan rindu yang menggebu. Hanya, keping-keping cerita di malam itu menjadi bagian yang tersisa. Di depanku, kau tersenyum manis tanpa gula. Begitu menarik dan cantik. Aku suka, ketika harum bunga menyeruak begitu aku mencium aroma tubuhmu. Memanjakan setiap hembusan nafasku yang terhenti tepat sebelum jantuk berdetak. Menjadikan arti hadirmu begitu teringat dalam, mimpi pun tak sanggup mengabadikan cerita selain sesuatu yang terus tumbuh dalam hatiku. Semacam perasaan yang kuat dan tegar untuk tetap berdiri. Melihat, namamu tak pernah hilang barang sedetik masa. Memelukmu erat malam itu seakan hari ini tak pernah usai.