Aroma
pasir yang bercumbu bersama desahan ombak dan buih yang menyatu udara tercium
begitu harum seperti tubuhmu yang terpapar sinar surya. Ketika waktu masih
bersama, aku dan kamu menjejaki bibir pantai dalam suatu sore yang mesra. Melihat
perlahan mentari lenyap di batas senja berpendar keemasan bercerita tentang
penantian yang melelahkan. Sepenuhnya, aku masih mengingat laut. Seperti ombak
yang berkejaran untuk sampai meraih pasir ketika karang menghadang dan aku
tahu, kamu masih menggenggam tanganmu. Hembusan angin dan belainya menarikan
dedaunan seperti bergoyang. Saat itu, kutemukan aku begitu ingin bertahan. Menikmati
setiap detik dan hari yang mulai tenggelam oleh malam. Karena, aku
merindukanmu.
ada rindu yang terbungkus cemburu, ketika kau sembunyikan satu nama yang tak kuketahui. entah, perasaan ini terabaikan oleh tanda-tanda yang tersamarkan. manakah kalimat yang kutulis di secarik kertas, kutujukan pada sebuah alamat. nanti, kabar berubah jadi angin yang lenyap bagai asap. aku harus mencari udara segar. ketika sisa dalam paru-paruku tak terpenuhi udara. dadaku sesak. memaksaku keluar untuk sejenak menghela nafas. selalu ada dinding yang membatasiku untuk melihat lebih jauh dan menyentuhmu lebih dekat.semacam perasaan ingin tapi tak ingin. rasa mauku yang separuh hilang. dan aku tak mengerti ketika suatu malam aku dan kamu saling bicara tanpa suara. bukan lantas berbisik, tapi kata-katamu serupa tetesan telaga yang jatuh dari ujung daun. aku tahu, kau tidak mengerti. begitu pun aku. kalimat apa yang harus kupilih untuk memulai merangkai ungkapan ini. mungkin satu kata yang terdengar sendu. maaf, aku harus jujur padamu.aku salah menilaimu.
Meski, aku telah mencoba. Menghentikan
waktu dan menepikan rindu, tetapi rasa yang tertinggal masih menjejakkan
bayangmu. Selintas waktu kucoba berlari membuang senyummu, namun bingkai
parasmu masih tersimpan di sudut mataku. Jika dalam sekian tahun ada waktu
dimana aku harus berhenti lantas tak berjumpa denganmu, adalah tahun-tahun yang
mungkin aku harapkan. Karena titik dimana kamu berhenti akan bertemu pada titik
dimana aku kembali. Kita masih berada di garis orbit yang sama, rute perjalanan
cinta akan berputar dan berakhir padamu. Aku ingin, kau menjadi akhir tujuan
perjalananku. Setelah sekian waktu kucoba ikuti arah dimana angin menuju, aku
ingin bertemu titik tanpa koma. Aku ingin sampai pada garis akhir dari segala
pendakianku. Lalu aku bisa mengintip sang surya terbit di ufuk sana dengan
tersenyum. Lalu, aku dan kamu. Kita berpegangan tangan untuk menatap langit
yang sama. Seandainya cerita cinta masih dapat kubagi, kau akan mendapat
seluruh halaman yang kupunya untuk kutulis namamu, di setiap sudut hati. Jika,
aku masih bisa percaya, deretan huruf yang kuhapus bisa kutulis ulang. Sementara
halaman ini sudah tak cukup lagi untukmu, maaf.
Aku hanya termangu, saat mataku
bertemu pada satu surat. Surat yang indah menurutku karena terukir huruf
berwarna emas dengan pita yang menghiasinya. Kamu tahu, itu adalah surat
undangan pernikahan. Sejenak, aku membaca sebuah nama. Aku sangat hafal dengan
nama itu, nama yang sering kusebut dalam hati. Sehingga dalam sekejap mampu
membangkitkan seluruh kenangan yang terkubur dalam. Dan kenangan itu pula yang
membangkitkan bulir mata yang kucoba rendam selama ini. Aku masih selalu lemah
pada kenangan. Pada cerita yang tidak bisa kuingkari, setelah kucoba buang jauh
perasaan itu, entah mengapa surat ini dengan mudah membangkitkan lukaku yang
sempat mengering. Surat yang mungkin berlaku hanya satu hari, tapi membuka luka
besar yang kututup seribu hari yang lalu. Bahkan, aku tak berani untuk
membukanya. Atau sekadar mengetahui lokasi dimana pernikahan itu berlangsung. Aku
takut, luka yang sempat terobati akan kambuh. Aku hanya ingin sembuh.
Selembar daun yang gugur adalah
pertanda, ketika ranting tak kuasa lagi untuk bertahan dan menggenggam tangkai.
Jika bunga layu sebelum musim gugur. Maka cuaca hari ini sungguh muram, ketika
cahaya hilang dan mentari pun terpejam. Langit berubah mendung sementara awan
pun telah mengabu. Gerimis hujan, menjadi pertanda jika langit pun menangis. Tetesan
yang jatuh berguguran bersama detik yang tak berarti. Lalu aku bisa menghirup
aroma basah tanah yang ranum mewangi karena terjamah air lantas bercumbu bersama
udara. Petrichor, aroma yang kukenal. Jauh lebih wangi dari aroma tubuhmu. Di balik
kesedihan hujan maka terbitlah wangi kesuburan. Kemudian perlahan sang surya
tersenyum penuh gairah. Kulihat terpaan sinar yang hangat menerpaku. Menyerap hingga
ke jantungku, aku melihat di balik hujan. Ada kisah baru ketika hari berganti.
Kau tahu, aku menunggumu sampai
petang. Keresahanku semakin nyata manakala kabar pun tak terbalas. Mungkin, kau
mengabaikanku. Tapi aku tahu kau sedang membuatku diam. Apa karena aku salah,
tidak menghadirkan bukti dan tak lantas mengakui. Jika saja, ketika kutanya ada
jawabnya. Dari sore menjelang malam aku diliputi kegelisahan. Kapan aku pulang,
sekadar merapatkan hati di dermaga. Tapi tak juga ada kiriman pesan. Saat itu,
aku tahu kau bersama orang lain. Harusnya aku sadar, bunga yang tumbuh mekar di
pekarangan sebelah taman barangkali telah terpaut hati oleh bunga yang lain. Maka
untuk apa aku menunggu, jika pesanku tak juga kau balas. Jika aku hanya ingin
bertemu, bahkan dalam pandangan mata. Kau tahu, semalaman aku menahan diri
untuk tidak segera pulang hanya untuk mendapatkan jawaban. Tidak ada satu pun
orang yang tahu. Dalam sepi, kulihat kau mengharapkan pelukan yang lain, aku
pun sedih. Mengetahui jika harapan tak bertemu selalu berakhir dengan
kekecewaan.
Sebelum kau pergi, aku masih bisa
melihat punggungmu. Tapi seketika itu juga kesedihan muncul di pelupuk mata. Kau
tak berpaling muka, seperti terakhir kulihat. Kau pun tak memelukku, karena
kulihat kau jatuh dalam pelukan yang lain. Pelukan yang kubenci. Jika kau
ingin, aku akan sepenuh hati untuk memelukmu. Tapi, aku tahu. Kau lebih memilih
yang lain. Saat itu, aku tahu kepergianmu adalah keinginanmu sendiri. Merelakanmu
pergi dari sisa kebisuan yang tersimpan. Waktu tak akan pernah memintaku berhenti,
termasuk untuk kembali. Saat dimana aku berdiri menyaksikanmu dalam hening,
dalam pelukan yang lain. Barangkali, ini adalah perpisahan tanpa pelukan
seperti yang kubaca dalam kisahmu. Semoga tak pernah kulihat lagi punggungmu,
karena aku tak ingin.