Mungkin, bagimu kenangan bisa seperti mesin waktu. Kembali datang dan kau kunjungi bila saatnya diperlukan. Tapi bagiku kenangan bisa menjadi duri yang mampu menancapkan luka. Jika kubuangpun maka akan menyebabkan luka saat aku berjalan. Seperti percuma, aku berusaha untuk mengubur kenangan. Suatu saat akan kembali dan menghantui, kisah yang dulu tersimpan lalu muncul di permukaan. Rasanya kenangan menjadi cerita yang hidup dalam hati. Kenyataan membawaku pada episode dimana setiap peristiwa terjadi mengingatkanku pada hal yang pernah terlewati. Cinta, menjadi kisah yang tak terhenti saat putus dan hubungan berakhir. Akan ada cerita lain yang kembali berlanjut mengikuti kisah yang lama. Akhir dari segalanya ada perhentian. Cinta barangkali pencarian sementara aku tetap berdiri pada perhentianku. Dimana, akhir menjadi tak ada. Dimana rindu menjadi semu. Dimana, cinta hanya sebatas cerita. Kau takkan mampu membuang segala kenanganmu seperti sampah. Suatu saat, akan terbayangkan pada peristiwa itu suka atau tidak, tiba-tiba dan begitu mendadak. Bahkan, tengah malam saat kau terjaga karena mimpi membuka kenangan itu.
Denting sore, gerimis kembali turun. Sungguh, aku masih bisa merasakan kehadiranmu. Jauh di dalam hatiku, ketika aku terbangun dan aku memeluk diriku sendiri. Menangis, karena aku begitu tak ingin kehilangan. Sementara cerita ini tak pernah kembali berlanjut dalam episode. Matamu, kala terpejam. Memancing senyumku. Kau begitu indah, di saat dirimu benar-benar terlelap. Walaupun seringkali api cemburu menyambar hatiku, aku tetap cinta. Manakah diantara senyumanku yang mengartikan dusta bagimu, sementara kedipan mata bisa sesekali terpejam. Namun titahmu menjelmakan bara. Mampu memanaskan api di dalam hatiku, kau masih bisa bermesraan dalam jejak kata yang tertulis di antara dinding maya. Ketika tak kulihat lagi celah dan ruang untukku berdiam. Sejenak, berdiri kemudian menetap. Walaupun untuk sementara. Bahkan, jika harus aku tak rela untuk membagi kepada siapa pun tanpa terkecuali. Aku tahu, itu hanya tawa untuk menghiburmu. Tapi di dasar lubang hatiku ada rintih, kemudian lirih menahan tangis. Aku cemburu, terkadang tanpa alasan. Karena hatiku tak lebih dari sekedar kepingan yang tak bisa dibagi.
Senyap kembali menjejaki nafasku yang tersengal karena udara dingin merasuk dalam. Ketika separuh jiwaku hilang lantas tak kembali. Pikiranku masih terbayang detik-detik akhir sebelum kau berpaling pergi. Mengucap kata yang terujar perih terdengar. Saat itu, aku tahu bahwa tatapanku akan kembali jatuh dalam kubangan air. Sementara, matamu tak kulihat lagi karena kau pun berbalik. Aku ingin memanggil, tapi lidahku seakan terkilir. Melirik hati yang terlanjur sakit karena perih luka. Menata kembali detak jantung yang sesaat terhenti karena aliran darah tak terpompa lagi. Mataku bening jatuh gerimis membasahi bumi. Aku ingin kembali terang, seperti cahaya. Menerangi tanpa tersentuh. Seperti angin tak terlihat tapi sejuk terasa. Ketika cahaya itu mulai redup lantas padam. Hatiku pun demikian berkata tapi membisu karena bahasa hati tak pernah terdengar lirih terbawa angin, membisikan jeritan hati yang kosong. Menatap jendela seakan tertutup tirai sedang mata memandang. Menjadi bias diantara riak air yang terendam deru ombak. Semilir angin mengantarku pada perhentian. Untuk membuka hati kedua kalinya, tidak untuk menetap. Tapi untuk kemudian pergi, tanpa berharap kembali.
Sedih ketika esok mentari akan terbit di tempat yang sama sementara tak kulihat lagi terangnya. Seperti hatiku yang terkurung oleh keraguanku sendiri. Menatapmu, dalam bayang- bayang tertutup kabut terlihat matamu sendu. Ini adalah perjumpaan yang kuhindari. Setelah sekian lama, aku berkaca dan seolah berbicara sendiri. Kau adalah jejak yang telah kuhapus, namun jejakmu masih membekas. Aku tak bisa mengelak pada garis langkah yang telah mempertemukan kita. Kau masih sama, seperti dahulu tampak bersinar dan memesona. Aku, seperti dahulu tak bisa menyembunyikan kekaguman dan ketertarikan padamu. Kini, semua seolah menjadi beban, pertemuan yang tak kuharapkan selama ini justru terjadi. Di saat, aku masih menata kembali sandaran kakiku yang patah untuk berdiri. Kau, mencoba untuk memancing kembali luka yang telah tertutup rapat. Terkenang dan terbuka perlahan, seperti lembaran poto dalam album. Kemudian bias bening di pelupuk mataku mulai terbit ketika kulihat sebuah lingkaran mengikat jari manismu. Cincin dengan mata yang berkilau. Mestinya, aku tak melihatnya.