Pagi yang dingin. Rintik hujan masih mengeja pagi yang basah. Sementara dalam gelap ruangan itu kudengar desah. Sebagian pikiranku masih terbungkus resah. Matamu terpejam. Kupeluk dirimu dan membenamkan kehangatan. Cinta menjadi bahasa tubuh yang menyatu dalam diam. Tak perlu ada kata-kata. Kita saling menikmati kesunyian dan bahasa resah. Jauh di dalam hatimu, kutahu ada seberkas perasaan yang menggelora. Aku sungguh merindukan, kemesraan ini.
Aku tidak mengerti, memandang kosong mata menatap jauh pandangan. Tak ada senyum, parasku datar tak membentuk cuaca. Perlahan, permukaan mata menjadi basah. Cairan bening pun terasa hangat mengalir di pipiku. Sungguh, aku masih cinta. Perasaanku tak terlukiskan tinta. Mataku seperti langit berubah merah. Dadaku terguncang karena deburan ombak terlalu kuat menabrak tepi mataku. Kau tahu, begitu sakit. Seperti sia-sia. Karena tiba-tiba saja seseorang bisa melupakan cinta. Seperti hujan, mataku menurunkan gerimis. Apakah aku bisa percaya, suatu saat cinta menjadi luka. Dan aku menangis karenanya. Apa yang salah, ketika akhirnya kau pun menyerah. Tak perlu lagi alasan jika kau akhirnya merasa bosan. Apakah masih ada harapan, aku tak tahu. Karena rasa sakit itu seperti bertepuk tanpa tangan. Menjadikan kekecewaan sebagai akhir dari cerita yang tak pernah usai. Semalam, kau pun selalu diam. Aku bertanya baru kau bersuara. Kau tampak dingin, atau mungkin tak ingin. Setelah percakapan itu berakhir yang tersisa hanya senyap karena tak ada lagi suara di seberang sana, hening. Kepalaku pening, aku berusaha menyapamu. Mengungkapkan rasa rindu yang terjebak pada jarak. Tapi kau seakan ingin segera mengakhirinya. Aku tak mengerti, bagaimana cinta menjadi solusi.
Malam ini terasa perlahan gerimis turun membasahi bumi. Tetesan hujan itu kemudian menerpa hatiku. Dingin. Sesaat, pikiranku tersesat pada labirin tak menentu. Meresapi kegelisahan yang selalu datang menyapa. Lalu kunikmati kerinduan itu menjadi bayangan yang tampak nyata di dalam mimpi. Sungguh, saat terbangun memimpikanmu. Aku tak berdaya, kau begitu dekat seperti sangat menginginkanku. Lagi-lagi aku harus kecewa, Cuma sekadar mimpi. Apakah cinta adalah ilusi. Seperti bentuk imajinasi. Menghabiskan malam menantikan detik-detik berguguran hingga waktu cepat berlalu. Sehingga tak perlu ada tangis memecah kesunyian. Aku akan selalu memelukmu di kala rindu. Tak perlu ada orang lain. Menantikanmu datang merapat dan menatapmu lekat. Bulan seperti berkisah tentang cinta yang terbingkai indah saat temaram. Menyalakan kehangatan di antara api lilin yang bergoyang. Cinta adalah perasaan hati. Tak sekadar bertemu dalam wujud nyata. Cinta bahkan tumbuh di dalam hati, di dalam pikiranku. Mencintaimu tak sekadar bertemu raga. Tapi hatimu membuatku percaya bahwa kau akan selalu hadir di saat mataku terpejam, selalu. Hatiku terpaut olehmu. Aku hanya ingin mencintaimu seorang, untuk terakhir kalinya.
Aku selalu suka hujan dan mendung, seperti duka yang berkabung. Abu-abu hati seperti tersiram warna tanah. Kesedihan menjadi gerimis yang tak terdengar bisikan petir. Ada getir. Tapi hujan tak datang lagi. Kulihat hanya mendung menggantung di langit. Maka kulihat air mata pun menggantung di sana. Seketika gemuruh awan menjadi terdengar mengerikan. Aku ingin kau datang tak sekadar mimpi. Jika pun hatimu telah jauh pergi, aku tak bisa mengelak masih mengharapkanmu datang. Memelukku dalam dekapan kehangatan. Sehingga aku tak perlu cemburu, pada udara yang bisa masuk dalam dirimu. Merasuk ke dalam jiwamu. Entah, apakah namaku masih terukir di sana. Aku tak pernah tahu, karena cinta semakin tak nyata.
Apalah arti cinta jika berakhir tak bersama. Ketika kau hanya mampu menatapnya bersanding dengan orang lain. Melihatnya tersenyum bukan kepadamu melainkan kepadanya sambil merajuk manja. Kau hanya bisa tulus, bukan karena tak percaya. Tapi takdir terkadang tak berpihak padamu. Mungkin, tidak ada lagi yang tersisa. Kau hanya mampu mengusap pipimu karena basah saat terbangun memimpikannya. Sungguh, rasa sakit itu bukan karena dia tak lagi cinta padamu. Tetapi ketika cinta seperti tak ada artinya lagi. Dan kau sama sekali tak bisa membayangkan cinta yang lain. Cintamu yang hilang takkan terganti cinta yang sama. Bertemu orang lain, tak mampu sembuhkan luka. Barangkali hanya menutupi kenangan atau sekedar mengalihkan rasa sakit yang suatu saat akan terbuka kembali. Bahkan, di saat-saat mimpi yang tak pernah bisa kau kendalikan. Dia hadir, bahkan masih seperti cinta. Maka saat itu yang ada hanya duka yang mengalir seperti hujan di tengah terik mentari. Aku selalu memimpikanmu.