Ada surat undangan yang kuterima, kertasnya indah berukir dan bertuliskan tinta emas. Ada kau disana, tertulis. Aku tahu, itu kau. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa selain tersenyum getir menahan dada. Kemudian kubaca perlahan penuh seksama, bukan saja namamu. Tapi kulihat ada nama lain. Nama yang tidak begitu kukenal. Dia adalah orang lain. Aku hanya bisa menghitung hari, aku juga hanya menghitung jari. Memandang kosong hamparan rumput dan pemandang alam. Aku baru tahu, sebentar lagi. Tapi aku harus sanggup menerima kenyataan ini. Kau akan menikah, sementara aku mencintaimu. Ada perasaan yang tak mudah kuredam. Mungkin harusnya aku lebih menerima. Sebentar lagi juga waktunya aku pergi. Aku tak perlu memberitahunya. Bahwa hidupku tinggal sebentar lagi. Tapi apakah aku akan bisa menerima, ketika dia menikahi orang lain. Apakah aku bisa menerima, ketika dia hidup bersama yang lain. Biarkan saja, karena hidupku tidak lama lagi. Biarkan dia bahagia. Seuntai harapan yang tergantung di langit kemudian padam dan awan bergemuruh karena hujan akan membasahi tanah. Diam-diam, aku menangis. Kemudian meraung dan berteriak histeris. Tidak menyebut namamu. Tapi nama Tuhan. Segeralah bawa aku pergi. Menjemputku.
Kau perlu tahu, ini untuk terakhir kalinya kusampaikan kepadamu. Aku mencintaimu. Terserah apakah ungkapan cinta ini seperti angin melintas saja bagimu. Cukup, lebih dari cukup untuk mencintaimu. Setelah kau biarkan aku dalam kesengsaraan ini. Mudah saja bagiku untuk menyudahinya. Jangan kau pikir aku tidak berani melakukannya. Kau tidak akan pernah melihatku lagi. Aku bisa pastikan itu dan hidupmu tidak akan terganggu olehku. Tidak perlu mengiba, tatapan matamu terlalu memesona. Aku tak sanggup untuk menolak segala ketertarikan padamu. Tapi kau tak mudah terkalahkan. Aku menyerah, bukan karena mengalah. Tapi aku tahu bahwa aku harus sadar. Cinta tak pernah pantas untukku. Rumput tak pernah memeluk bulan. Begitu pun daun tak pernah memeluk bunga. Kau terlalu indah. Lebih dariku untuk memilikimu. Aku ucapkan salam, jangan kau menangis. Sebentar lagi aku akan pergi. Menutup lembaran hidupku yang kelam. Di hatiku yang terdalam, aku pernah mencintaimu. Tapi cinta tak berarti lagi. Cinta tak mengubah apa pun. Sementara kau punya jalan hidup sendiri. Aku tak punya kesempatan untuk mendapatkanmu. Dan aku tak punya takdir untuk bersamamu. Aku hanya punya satu mimpi, kelak menemanimu di syurga. Selamat tinggal. Darah mulai mengalir perlahan dari pergelangan tanganku. Rasa sakit tak pernah lagi terasa karena senyumku tak pudar mengembang membayangkanmu di syurga. Sementara belati itu masih bersimbah darah. Selamat tinggal
Aku termenung beberapa saat, tanpa ditemani kata dan nada. Sendiri, mendekap sunyi dan mencoba bercengkrama dengan kesendirian. Baru saja, tidak lebih dari sejam, kuterima kirimanmu. Kugenggam sepucuk surat, ada semerbak aroma bunga. Diantara gulunganya terdapat pita berwarna merah muda merona yang kusuka. Kutahu, ada untaian rindu. Bisa kubayangkan, kalimat indah mengalun seperti nada dan puisi cinta sang pujangga yang dimabuk asmara di dalam surat itu. Terukir indah huruf yang tertulis disana. Aku masih terdiam. Belum sempat kubaca. Tapi aku tahu sebagian besar isinya. Ungkapan rasa cinta yang begitu menyentuh kalbu dan merangsang hati. Pernyataan cinta. Bukan sekali ini saja. Dia mengirimiku surat seperti ini. Telah kusimpan puluhan isi hatinya di laciku. Sementara, aku harus bisa menjaga hati. Aku telah melabuhkan hatiku di dermaga lain. Ada seseorang yang kusukai. Memang berat ketika cinta bertepuk tanpa tangan. Tak pernah tergapai selalu menggantung di angan. aku tak bisa mencintaimu, karena aku mencintainya. Apa yang harus kupilih. Dirimu, atau dirinya. Akhirnya, kulipat surat itu. Kumasukkan ke dalam amlop. Kutuliskan namanya. Cintamu kepadaku adalah cintaku kepadanya. Cinta bukan menjadi pilihan. Cinta adalah perhentian. Seperti surat, kadang cinta tak berbalas. Begitu pun cinta terkadang datang salah alamat. Kepada siapakah kukirim cinta, kepadamu atau kepadanya. Kukirim sejuta cinta, barangkali hanya satu yang kau dapat. Berharap merpati datang dengan seuntai tali terikat di kakinya membawa bingkisan kertas berisi ungkapan cinta. Cinta membuatku tak perlu malu untuk bertanya. Dimanakah alamatnya, sehingga bisa kukirimkan cinta kepadanya. Atau kepadamu.
Bulan tinggal sepotong, aku tak bisa membagimu. Di kamar ini cinta tinggal sepotong, aku pun tak bisa membagimu. Ketika jiwamu terlepas, selaksa butir kristal putih menggenang di permukaan mataku. Aku tak memaksa. Ragamu dekat lebih dekat dari pandangan mataku, tapi jiwamu terbang melintasi jutaan kota yang mati. Aku tak bisa mengembalikanmu. Selepas senja kau rebahkan dirimu di dadaku. Melabuhkan rindu dan penat yang menyatu. Pikiran kita berkelana pada rimba imaji dan persenggamaan yang bergelora. Berurai resah dan desah. Benih-benih cinta melebur diantara kecupan hangat dan pelukan. Lalu mendadak dadamu tertegap. Air mata luruh bersama isak tangis dan kebisuan tanpa kata. Aku benci saat ini. Ketika cinta tak lagi bisa mengobati. Derai air mata seperti hujan di malam hari. Dingin. kau pun termenung seperti termangu. Aku tak bisa mereka pikiranmu, sementara hatiku koyak lantaran kau hempaskan aku seperti ini. Menyiksaku tanpa menyentuh. Kau duduk tertunduk lesu. Bagaimana kubagi perasaan seperti sepotong roti tanpa selai. Bahkan saat kau berada sedekat ini, aku tak bisa mengenalimu. Kau tidak lagi senikmat anggur dalam cawan. Semakin banyak kuminum, aku semakin kehilangan kesadaranku. Mencintaimu, lebih dari cukup menyakitkan. Untuk berpisah. Dan api mulai bergoyang di ujung lilin yang mulai habis. Aku segera meniupnya. Selamat tinggal.
Sehangat mentari pagi. Kau pun tersenyum manis membingkai seulas pesona di antara sudut parasmu yang kukagumi. Ada getir. Kau pun menggenggam erat jemariku. Senyummu tak mampu membungkus resahmu. Tatapan matamu sendu. Aku mencoba gentar. Kau pun tak bicara, aku pun hanya terdiam berharap bisa membunuh waktu. Menikmati kebisuan yang terjebak karena perpisahan. Tak ada lagi yang bisa mengembalikannya. Ketika kau berdiri di hadapanku untuk terakhir kalinya. Kutatap matamu yang indah. Ada bias bening yang memenuhi kelopak matamu. Aku tak ingin ada tangis memecah sunyi. Aku pun menyambut tanganmu dan menggenggamnya penuh kelembutan. Jari-jari kita saling berpelukan bukan karena dingin, tapi karena ingin. Seperti tak mau dilepas, begitu erat dan keras. Dirimu, di hatiku sudah terlalu lama. Kau tak bisa meninggalkanku begitu saja. Aku tak butuh ucapan terakhir. Karena semuanya seperti sia-sia. Biarlah kunikmati akhir dari cerita ini tanpa tahu kisah apa selanjutnya yang bisa kuhadirkan untuk menemaniku, sendiri. Ada luapan yang tertawan di dadaku. Seperti gejolak untuk lebih cepat mengakhirinya. Kau lebih sekadar kenangan untuk kuingat. Kau lebih dari sekadar foto untuk kubingkai. Kau lebih sekadar detak untuk menghidupkan jantungku. Kau lebih dari sekadar darah untuk mengalir di seluruh tubuhku. Aku tak bisa melepasmu. Sungguh, aku tak sanggup. Kau membuat derai hujan kembali menerpaku. Tak sehangat pagi.
Terkadang, kau tak pernah tahu bagaimana semuanya begitu saja terlewati. Sementara kau tak punya waktu untuk memastikannya dan membiarkannya pergi. Tapi sungguh. Aku telah mengenalimu. Aku juga telah menyadari perasaanku sepenuhnya kepadamu. Ketika setiap penantian dan iringan waktu berhenti tepat di hadapanku. Aku tak bisa membiarkanmu. Mendapati ribuan cahaya seperti kunang bekerlipan setiap malam. Aku pun ragu, untuk tetap menjagamu. Di antara deru ombak dan hempasan karang, kau selalu tak terlihat seperti tenggelam. Di balik cemara kau pun memanggil sambil berlari dan melambaikan tangan padaku. Maka, aku tak bisa berkedip. Karena air mataku akan berjatuhan. Aku tak ingin semuanya lenyap sampai tak tersisa. Seperti belaian ombak kepada pasir hanya berjabat tangan dan terpisah tak berbekas karena buih pun hanyut bersama kilau pasir yang mulai mengering diterpa surya. Aku tak mau mataku kering karena kehilanganmu. Ketika pusara air di hatiku selalu bermuara pada hatimu. Aku ingin dirimu.
Sadarkah, ketika hamparan langit yang membentang dan awan berarak beriringan. Perlahan sang surya perlahan kembali ke peraduan. Aku masih menunggumu. Untuk kesekian kalinya secangkir gelas tak mampu meredam kegelisahanku. Bahkan ketika segalanya berhasil kuabaikan. Aku tak bisa menghapus jejakmu. Di balik gerimis aku bersembunyi. Di balik hujan aku mencari. Kau selalu pergi. Aku masih saja menunggu senja yang telah habis. Kau, telah mencuri hatiku. Membawaku pergi jauh. Menitipkan sejuta rindu yang kau tanam jauh di dasar hatiku. Kemudian tumbuh bunga-bunga mawar putih yang indah. Menyapa langit dan membawa kehangatan cinta yang terselip di antara celah celah ventilasi. Aku bisa melihatmu, disana. Duduk menggenggam jari dan sabar menanti. Di antara kerinduan butir butir pasir pada lautan, ombak telah menghapus jejakmu. Tapi di hatiku, kau selalu ada.
Mungkin, kau tidak punya cukup waktu untuk memperbaikinya. Kau pun tak berdaya untuk mengikat kenangan itu terus dalam mimpi dan bayanganmu menjadi nyata. Terakhir kali kau ingat, kau menggenggam tanganku. Tapi kini semua telah berubah. Bahkan dari hal terburuk, kau telah terpisah. Tak ada lagi kesempatan. Hati yang terkoyak berkeping-keping. Sakit hati yang penuh kepiluan. Aku lebih dari sekadar mencintaimu. Namun apa daya. Kau tak bisa mengubah waktu menjadi kutukan untuk memperolehnya kembali. Cinta begitu kuat. Kau pun tak sanggup kehilangan. Beberapa hari matamu berderai air mata. Kau melupakan senyuman. Kau bahkan lupa bagaimana caranya tertawa. Hatimu telah tertutup kabut kesedihan dan matamu buta karena duka. Aku mencintaimu tidak sedikit. Bagaimana caranya agar kau kembali. Aku lemah tanpamu. Ini bukan tentang kesendirian. Aku tahu, ini lebih dari sekadar angan. Tapi aku mohon, jangan kau pergi dari ingatanku. Apa yang kuingat adalah harta terakhir yang bisa kusimpan mengenaimu. Tentangmu, wajahmu, senyummu bahkan kedipan matamu. Aku hanya ingin kau selalu berada di sini, di dasar hatiku. Selalu kuingat.