Ditemani sebotol teh manis. Aku pun menuangkan kegelisahanku. Bosan aku dengan penat. Aku pun lelah hingga menyerah. Pasrah. Tak ada lagi niat kecuali berserah. Dirimu sangat berarti bagiku. Tak ada jalan bagiku untuk berlari. Tak ada lagi tempat untukku bersembunyi. Hatiku telah penuh. Tak ada lagi celah. Kenapa harus berpisah. Seperti cinta yang telah mendesah. Aku pun mengalah. Kau biarkan diriku hanyut dalam kesedihan yang basah. Mata yang dibanjiri oleh duka tak pernah memberiku kesempatan mengecup manisnya cinta. Manisnya rindu. Sebutir gula yang hanyut di tengah samudera. Tak berbekas. Aku lemas. Dimana cinta menjadi dilema. Dimana kenyatan berakhir tanda tanya. Dimana kepastian adalah ujung belati yang kau tusukkan padaku. Aku lebih baik mati. Aku menghargaimu. Tapi rasa ini begitu kuat. Aku tak sanggup mengangkatnya karena berat. Berat bagiku meninggalkanmu. Berat bagiku melupakanmu. Berat bagiku menyadari kau bukanlah kekasihku lagi. Aku hanya duduk terdiam memaku di ujung sudut ruangan melipat kaki dan menundukkan muka. Mata luruh bersama air mata yang mulai menderas seperi hujan. Hujan bulan juni. Hujan di akhir kerinduan. Ketika dinding hatiku mulai runtuh karena keputusanmul. Kita tak bersama lagi. Aku tak percaya.
Malam terbungkus dingin. hatiku terjerat di dua hati. Seandainya malam menjadi sekeping sendu yang menawan. Aku rela kau menahanku. Agar aku tak perlu memilih. Tapi matamu semakin senja dan tepian sungai selalu mengalir seperti mengiba. Aku tak sanggup. Ini tentang aku, kau dan dia. Seperti segitiga yang sama setiap sudutnya. Aku tak pernah tahu kalau perasaanku bisa hanyut diantara dua samudera. Kemanakah pusara ini akan menemukan titiknya sehingga tak perlu lagi ada yang terluka. Seandainya kau tahu bahwa tatapanmu membuatku ragu. Aku tak pernah memilih jatuh cinta untuk kedua kalinya. Tapi kau hadir di setiap sudut pikiranku, di saat keraguan masih mengambang tentang satu cinta. Aku tak menemukan pengertian tentang arti kata setia. Hatiku tak pernah menjawab, sebenarnya cinta tak pernah ada. Kau hanya membuat perasaanku hanyut dalam kesedihan yang sama. Aku harus memilih.
Apakah kau masih percaya cinta itu seputih salju. Tapi aku lebih percaya cinta itu seputih awan. Seperti gumpalan yang terbang di awang lantas tak pernah turun. Cinta bagimu salju yang dingin, kuat dan mampu bertahan. Kini salju tak pernah datang, apakah juga dengan cintamu. Ketika kau lihat awan di atas sana, berarti kau masih melihat cintaku. Salju dan awan sama putihnya. Begitu juga dengan cintaku padamu yang tak pernah ternodai. Putih bersih. Dimanakah hujan dan rinai gerimis yang mampu menjadikannya pelangi di antara tepian awan. Dan kau masih menunggu turunnya salju, mungkin awan bisa membantu. Sehingga cinta kita saling membantu. Ini bukan kiasan. Tapi aku tahu cinta yang bersih tak pernah lelah untuk bertahan. Bahkan ketika kau tak lagi percaya tentang cinta itu sendiri. Cinta mampu membuatmu bertahan meski kau sadar salju tak pernah turun di sini. Perlu kau tahu, aku pernah melihat salju bukan turun dari awan. Tapi turun dari matamu yang bening itu. Sehingga kau tak perlu percaya. Diantara awan dan salju aku masih mencintaimu.
Izinkan aku sejenak memandangmu, sayang. Sebelum kau pejamkan mata dan meninggalkanku. Aku ingin memandangmu barang sebentar, bukan untuk kulihat. Aku akan menyimpan seluruh tentangmu pada pandanganku. Ketika kau terlelap, maka aku bisa menyaksikanmu lebih lama. Tapi aku ingin melihat bola matamu yang indah. Mata teduh yang basah karena sendu. Mata seperti bola kristal yang mengkilat diterpa cahaya. Mata yang ingin kusimpan. Mata yang tak pernah padam karena dendam. Sejak kutemukan, matamu lebih indah dari batu mulia intan. Tapi perlahan matamu mulai mengatup kemudian tertutup. Tak ada lagi celah untuk kulihat, mata yang berkisah tentang cinta. Mata yang utuh karena kesetiaan. Mata yang penuh ketegaran untuk sabar menanti. Aku pun mulai cemas. Apakah kau akan membuka matamu lagi. Sehingga bisa kusaksikan bola matamu yang indah itu, sementara aku tak sanggup untuk memastikan. Matamu tak pernah terbuka lagi. Bahkan dari sudutnya mengalir perlahan. Tetesan air yang berubah menjadi telaga. Berjelaga.
Entahlah, ini mungkin hanya lambaian tangan. Ketika kau mulai melaut dan aku masih terdampar. Separuh jiwaku lepas dan membuatku terkapar. Aku akan menantikanmu kembalil. Ketika hari yang kuhabiskan hanya menunggumu menepi. Malam ini akan kuhabiskan sendiri. Biarkan bulan menjadi hiasan yang kupajang di dinding kamar. Setelah kutuangkan kegelisahanku bersama secangkir coklat. Aku tak bisa menahan perasaanku untuk segera menuntaskannya. Menelannya sehabis tegukan sekali. Mungkin kita punya bulan yang sama sepanjang malam. Tapi bulan malam ini tampak dingin dan pucat pasi. Aku takut bulan sedang sakit dan kau tidak bisa menemukannya lagi di sepertiga malam. Aku akan duduk di tepian dermaga dan menarikan jari. Ketika kulitku bersentuhan tanah dan kuterbangkan pasir di permukaan tanganku. Menyampaikan salam rindu yang terbawa angin. Di sudut kota, aku menantimu pulang.
Semalam, aku baru tahu rasanya cinta. Seperti coklat panas yang terasa hangat di lidah dan manis dikecup bibir. Aroma begitu membelai lembut hidung dan membuatku sedikit terpesona. Coklat itu seperti menatap lekat-lekat. Kau bukan saja membuatku kagum, kau begitu menarik perhatianku. Setelah kau kisahkan ceritamu. Aku tahu rasanya cinta. Melewati berbagai konflik dan tragedi, menyisakan pengertian dan arti kasih sayang. Kau setia menghitung detik untuk terus bersamaku. Menjaga perasaan ini yang terus bersemi dan kadang menggelora. Asmara menjadi seperti selezat coklat. Dan kita habiskan sepotong demi sepotong sampai ujung malam berakhir menjadi kesunyian. Aku ingin sekali memelukmu malam itu, berlari dan menghampirimu. Mendaratkan ciuman terhangat di setiap sudut yang bisa kucapai. Kau membuatku jatuh cinta untuk kesekian kalinya. Karena kau lebih dari sekadar untuk dicintai. Semalam, aku baru tahu rasanya cinta.
Di sini, sepiku sendiri. Kubungkus selaput duka dengan secarik tisu yang kemudian basah kuusap saja membasuh luka. Cinta tidak seperti pisau, tapi tajam mampu menorehkan luka. Bukan lantaran kau nyanyikan senandung sendu dan rapalan doa, melainkan bait-bait titian sunyi yang teriris kepiluan hati. Di sini, hatiku terbagi. Antara cinta dan benci. Dua keping rasa yang bersatu dalam sebongkah hati yang mulai karat karena debu dan dosa. Ketika matamu seperti bola lampu yang berpijar menyala api. Aku ingin menebus dosa. Mungkin dengan secawan anggur merah, atau barangkali sekalian saja dengan darah. Aku tak tahu arti keabadian. Ketika semuanya bisa terjadi oleh keniscayaan. Disini, sunyi menyepi. Tak ada riuh tawa memecah telinga di tengah malam kota. Hanya rinai gerimis yang menepis kerinduanku tentang pelangi yang tak pernah datang lagi. Di antara tepian sungai yang kutemukan seuntai selendang sutra. Kemanakah harus kukembalikan rindu. Ketika kau titipkan cahaya senja di setiap pejaman mataku. Memanjakanku. Di sini, mataku merapi.
Akhirnya aku rindu pada angin dan belain lembut yang mesra serupa kain sutra yang tersulur dari benang emas. Aku rindu pada rintik air yang gemercik menerpa batu-batu kali yang menganak mengalir tepian mengantarku pada kesunyian yang tak kuketahui. Aku rindu pada deretan huruf mati yang berderet panjang terpajang di lembaran-lemabaran cerita kisah perjalanan hidupmu. Aku rindu padamu. tak bisa kutepis perasaan ini, hingga tetes terakhir di gelas menyisakan aroma yang membuatku lupa tentang waktu. Kini, aku hanya bisa pasrah memandang kosong tentang bulan yang terpasung luka. Apakah kau juga merindukanku, seperti tarian ilalang yang tak sempat memeluk bulan, bahkan sekadar mencumbu. Aku ingin desahmu, seperti rintihan yang tertahan karena cinta. Tapi cinta tinggal sepotong, aku tak bisa membaginya.
Benar saja, kau tidak hanya membuatku buta. Kau juga membuatku tidak percaya lagi tentang cinta. Kau masih saja menyembunyikan rahasia. Setelah ujung belati yang kau simpan menusuk jantungku. Kau membuatku tak berdaya hingga melumpuhkan akalku. Meruntuhkan seluruh persendianku, aku tak bisa apa-apa, sembari bersimbah air mata dan aku tak bisa memejamkan mata. Lantaran darah telah menetes. Aku lemas, kau tega membuatku tak hanya menderita, tapi tersiksa. Setiap yang kulakukan hanya untukmu, tapi kau mengacuhkanku seakan tiada berarti apa-apa. Kau tidak saja menembakan peluru timah panas itu ke dadaku, tapi kau juga tembakkan tepat di kepalaku. Aku terkapar dan berlumuran darah. Kau yang kukenal selama ini, lenyap bersama seluruh kenangan yang tak bisa lagi kuingat. Kau mendustakanku dan membuatku ragu, apakah sebenarnya cinta. Ketika rasa itu hanya bisa tergenggam dalam jarak yang terhitung. Aku tidak cukup punya angka untuk menebusnya dan berjalan tanpa arah. Aku tak percaya, kau bisa berbuat begitu padaku. Sekali, tapi menyakitkan dan selalu kuingat.
Kau bisa saja berkilah, atau beralasan. Cukup sudah kebohonganmu, aku tak suka. Kau membuatku berpikir menjadi berputar terhadap kebalikan fakta, atau menganalisa kemungkinan dan prasangka, itu membuatku nyaris putus asa. Kau bisa bicarakan hal ini pun sambil berbisik-bisik, jangan kau kubur dalam hatimu. Lelah kakiku melangkah, karena kau adalah telapak yang menahanku selama ini dari kata menyerah. Kemanakah angin harus berpulang, tiada rumah berteduh untuk sejenak singgah. Ketika rasaku bercampur menjadi arah angin yang tak menentu aku ingin bertemu kamu, menjadikannya garis senyum mengulas indah di bibirmu. Kau mampu mewarnai bibirku. Karena aku tidak bisa mengarang bahwa takdir telah mengikatku bersamamu. Aku hanya mencoba mengiringi kisah hidupku hanya bersamamu. Menjadikanmu kisah yang mungkin indah terdengar, manis dan penuh mesra. Jangan kau pergi.
Sebenarnya apa kisah kehidupanmu yang membuatku terpukau. Kembali kubertanya, hidup adalah sejarah, cerita dan kisah. Sejauh mana alur itu berjalan dan menuai konflik. Dimana titik balik untuk berdiri di puncak dan lupa akan daratan, atau diterbangkan angin karena tak pernah kembali berpijak di tanah. Dalam setiap detik kita bergerak dan melakukan perubahan pada garis linear atau secara variabel, di setiap titik itu ada kemungkinan dan kesempatan. Untuk berubah maju berkembang, atau tidak sama sekali, bahkan terpuruk jatuh mundur jauh ke belakang. Sejenak, pikirkan mengenai perubahan dalam hidupmu. Semuanya tentu ada bayaranya, kau harus berkorban banyak. Buatlah keputusanmu untuk mengambil sikap. Ini bukan kisah dalam film, yang mungkin membuatmu bertepuk tangan karena kagum, tapi film hanya berdurasi. Hidupmu jauh lebih berjangka, untuk mencapai apa yang menjadi impianmu. Mungkin suatu saat aku akan mengakuinya, dan menyesal, bahkan ketika kau tak sadar. Bahwa jalan yang kupilih saat ini hanya untuk membuat garis linear pada hubungan kordinat bertemu pada titik simpul denganmu.
Aku masih merasakan nafasmu. Ketika semua darah mengalir menjadi begitu cepat. Deru nafasmu yang terasa di telingaku. Bahkan, belenggu itu mampu merengkuh bibirku. Aku ingin terus di sini, menemanimu. Ketika setiap gerakanmu mampu terlihat, dan aku tidak bisa bersembunyi, apalagi perasaanku. Aku tidak bisa lepas darimu, merindukanmu. Kau pun tak banyak bicara, hanya sesekali tertawa, atau tersenyum. Tapi aku suka, bukan dari caramu tersenyum tapi caramu menatapku, lekat, penuh cinta. Masih adakah ketidakmengertian diantara kita, ketika rasa ini bercampur ke dalam gelas. Kau pun dengan seketika menuntaskannya dalam satu tegukan dan tarikan nafas. Aku pun mengerti, lebih dari sekadar arti pelukan hanya untuk menerjemahkan arti kedekatan. Kau mampu menyatukan semunya bahkan di saat matamu terpejam.
Malam ini aku mulai bisa tersenyum. Kau tahu, bagiku kau adalah jelaga jernih layaknya danau di musim kemarau yang menghempaskan dahagaku. Ketika kurasa kalut dan resah jiwa, aku hanya ingin menemui dan sedikit membagi kisah denganmu. Kuakui, pengertianmu adalah kesabaranmu. Kurasa kau mampu melampauinya. Langit tetap hitam, tapi bintang tak pernah padam. Aku pun selalu senang bahkan hanya mendapat pesan atau sapaan darimu. Bahkan ketika tak bisa kulihat matamu, aku selalu mengikuti ucapanmu. Bahkan, ketika kau tak sadar. Aku tak pernah habis mencintaimu. Karena kau lebih dari sekadar alasan. Untuk tetap kucintai.
Sepasang merpati merapatkan cengkeraman di atas ranting dan dahan. Gerimis masih turun perlahan dan bias kaca membekas menyamarkan padangan mata. Aku menatap kosong. Lampu-lampu jalanan seperti kunang-kunang di musim hujan. Adakah kau memikirkan bulan malam ini. Ketika tak kulihat lagi sinarnya tertutup mendung. Dan aku di sini masih menunggumu. Aku ingin menemuimu, tapi kau tak ingin. Aku ingin menemanimu, tapi kau bilang tak usah. Aku pun resah. Hadirku hanya untuk membuatmu sekadar melepas tawa. Mungkin, kau masih menunggu bulan itu datang agar aku bisa menemuimu