Aku terjatuh dan tak bisa bangun
lagi. Ketika air mata mulai mengering di dasar hatiku. Tak ada yang tersisa
kecuali dahaga dan rindu yang tak menentu. Tak ada arah jalan pulang. Tersesat dalam
ruang hampa tak bersudut. Jika nanti, ada kesempatan membawaku kembali pada
cinta yang sama. aku ingin kembali pada keyakinanku. Karena cinta telah
menghabiskan percayaku tentang kesetiaan. Tentang waktu yang membuatku
bertahan. Suatu ketika terkenang kembali aroma tubuhmu yang tercium samar-samar
tak bisa kucegah dan berlari menutup mata, hatiku masih mengejarmu. Ada bayangmu
yang tertinggal membekas jejak kebisuan hatiku yang bungkam karena kesepian. Menatap
langit-langit kosong serta merta cahaya lampu begitu menyilaukan. Malam itu,
aku memelukmu dalam dingin. mengunci rapat pintu, agar kau tak pergi. Tapi kau
tetap pergi, meninggalkanku.
Aku tahu, di sudut kecil hatimu masih
kulihat pelita kecil yang menyala bergoyang. Aku tahu, diam-diam kutitipkan
salam rindu yang kuhembuskan bersama angin setiap hela nafasku. Menyebut bilangan
angka yang tak terhitung sejak pertemuan denganmu. Seketika perpisahan menjadi
jawaban setiap keraguanku. Mataku menghangat dan bulir bening melelehi pipi. Dari
bibir kering yang kemudian basah saat kukecup mengalirkan hangatnya debur dada
dan jantung yang menyatu dengan perasaan cinta yang meletup. Letupan itu kini
tak terasa lagi sejak lava hangat menyembur dari mataku. Setiap malam kulirik
bintang yang enggan menatap lampu. Kamarku sekejap menjadi gulita dan hatiku
mulai meremang. Merindukanmu, sendiri. Apakah aku bisa menawar luka dengan
cinta yang mulai hilang sementara rindu telah menjebakku pada perasaan
bersalah. Menyalahkan waktu dan pertemuan yang tak pernah abadi.
Tak kutunggu senja kembali,
secercah harapan kosong mulai sirna. Lampu kota mulai temaram dan petang kini
semakin muram. Jika aku menjadi orang lain untuk belajar mencari cara bagaimana
menjadi diri sendiri. Seringkali aku tersesat di antara pertanyaan yang tak
kutemui jawabnya. Setelah sekian lama meniti lembar bersama, aku masih ingat
untuk pertama kalinya jantungku berdetak lebih cepat. Saat aku berniat untuk
memanggilmu, dari seberang gagang telpon. Bertanya padamu, tentang kabar,
tentang kamu. Kini, aku harus bertanya pada siapa. Ketika rindu tak bertemu
alamatnya. Ketika dahaga tak bertemu telaga. Sendiri, mencari celah di
sudut-sudut kota. Untuk sekadar membunuh waktu dan melewatkan masa. Membuang segala
keresahan di antara bibir cangkir yang mulai dingin. aku ingin sekali, menghilang.
Tak terhitung berapa kali
terbersit bayang wajahmu melintas di benakku, tak terukur jauh jarak untuk
menggapaimu lagi. Aku kehilanganmu, itu cukup membuatku sedih menumpahkan air
mata. Bukan saja semalam, waktu-waktu berganti dalam sekejap mata dan aku tidak
bisa lari dari kesedihan. Selalu saja, kenangan seperti memutar waktu dan
menampilkan seluruh adegan bersamamu. Saat itu, aku hanya bisa tersenyum. Kemudian
waktu kembali merampas menjadi kepedihan hati yang tak terelakkan. Kau pergi,
tak mampu membuat mataku melihat. Tidur tak mampu lagi kumendekap bayang dalam
pelukmu selain mimpi buruk yang menghantuiku. Adakah cinta membawamu kembali,
seketika jantungku berhenti saat nafasku mulai tertahan. Seperti isak tangis
yang tertawan saat aku mulai merindukanmu. Dari balik tirai keresahan yang
selalu menyelimuti, aku selalu bertanya. Adakah kau kan kembali dengan
senyuman.
Semalam, aku jatuh terkulai
bersimbah air mata. Memimpikanmu bersama orang lain dan aku tak bisa berbuat
apa-apa selain merasakan mimpi seperti nyata. Waktu berjalan lambat dan aku tak
bisa mempercepatnya seperti tiupan angin. Sementara, tetes embun dimataku basah
mengalir cepat tak terhadang. Aku tak bisa membedakannya lagi. Bagiku mimpi dan
nyata sama terasa menyakitkan. Kau pun pergi, bukan saja dalam hidupku. Kau juga
pergi bahkan dari mimpiku, menghapus segala kenangan yang tersisa. Aku tak tahu
lagi cara mengumpulkan waktu bersamamu, aku tak tahu lagi cara menghabiskan
kenangan bersamamu. Ketika kau pun pergi dari sisa waktu hidupku, aku tak
menemukanmu lagi bahkan dalam tidurku. Aku ingin kamu. Kembali mengisi sudut
ruang hatiku yang kosong, dan menguncinya.
Menunggu pagi. Akankah hujan
masih terasa sama, miris diantara gerimis. Aku tak bisa mengabaikan keresahanku
karena terbangun memimpikanmu. Sesaat, masa dapat terhapus. Akan tetapi
kenangan begitu kuat tergambar di setiap malamku. Kemana harus kupergi jauh
melangkahkan kaki, sedang jejak bayangmu masih tercetak jelas di sepanjang
jalan. Menantikan pagi, yang habis perlahan bersama sisa keresahan. Aku hanya
bisa bercumbu dengan bibir cangkir segelas kopi. Membayangkanmu, menikmati
kehangatan yang tak bisa terulang. Seteguk, lalu habis. Tak ada malam-malam
bersamamu merindukan pagi yang datang terlambat sebelum kau terlelap. Aku ingin
bukan sekadar kenangan, aku ingin bersamamu menunggu pagi, terulang.