Kepulan asap putih cappuccino terhidang bersama guratan
cemas menunggu. Memang, menanti selalu dekat dengan ketidakpastian. Kedai kopi
yang biasa ramai, sore ini tampak lengang. Hanya satu dua orang saja yang
terlihat memenuhi kursi. Bahkan, tak ada gelak tawa dari barista yang biasa dia
temui kala memesan green tea latte seminggu yang lalu.
“Katanya, akhirnya kamu putus sama Bram. Gimana perasaanmu?”
tanya Kinna khawatir.
“Iya, cowok brengsek jangan pernah dikasih hati, pake alasan nggak kuat LDR. Lagian aku
mudah melupakannya.”
“Ya sudah kamu nanti ceritakan gebetan baru kamu ya,”
Kinna, menyesap bibir cangkir dengan pelan. Hatinya begitu
cemas karena Melani tak kunjung datang. Dari waktu yang dijanjikan, bahkan dia sudah telat sekitar setengah jam. Hari ini adalah keputusan, tapi juga bercampur
dengan keraguan. Melani mengabarkan baru pulang dari Australia dan membawa
oleh-oleh. Sahabatnya itu bercerita telah menyelesaikan studi.
“Aku akan pulang ke Jakarta, melanjutkan mimpiku yang
terunda,” ungkap Melani setibanya di bandara.
“Kamu tidak perlu banyak bicara, kita lanjutkan di kedai
kopi langganan,” kataku
“Baiklah, aku pastikan datang di sana tepat waktu.”
Di antara detik yang mulai gugur dan daun-daun di sekitar
kedai bahkan tak pernah layu karena terbuat dari plastik. Kinna menatap kosong
kaca yang mulai berdebu. Di antara waktu yang terlewati selama ini bersama
Melani, malam ini dia akan memutuskan sesuatu.
“Aku kangen kamu, kangen kekonyolan kita bersama,”
“Iya, di Australia nggak seru, temen-temen pada serius
semua.”
Kinna kembali teringat perbincangan telepon bersama Melani. Sudut
matanya terlihat mengkilat karena berkas bening membasahi. Pramusaji yang
mengenakan seragam berwarna abu itu datang menghampiri. Dengan senyum ramahnya pramusaji
menuangkan gula cair kemudian berlalu pergi. Secangkir kopi, angin sore, dan
kenangan selalu dekat dengan ingatan yang menayangkan kejadian-kejadian di masa
lalu.
Lalu pintu kedai terbuka disusul dengan Melani yang datang
dengan memakai dress berwarna merah panjang dan belahan di bagian paha. Rambutnya
yang terikat cepol membuatnya terlihat manis. Sepatu high heels hitam dan tas
kecil itu digenggamnya erat. Tampak rautnya ceria dan menahan kerinduan yang
teramat sangat.
Kinna bangkit berdiri. Melani semakin mendekat. Mereka larut
dalam pelukan panjang. Kinna mengusap bahu Melani dan dibalas dengan guncangan
pelan olehnya. Kini, dua sahabat yang terpisah dua negara akhirnya kembali
dipertemukan.
“Akhirnya kita bertemu,”
“Iya, aku kangen sekali.”
Lalu Kinna mengacungkan tangan memanggil pramusaji dan
memesan green tea latte kesukaan Melani. Terlihat Kinna menarik napas panjang.
Telapak tangan terasa lebih dingin. Guratan cemas kembali tercetak jelas di
keningnya. Melani hanya tersenyum puas memandang sahabatnya itu.
“Kamu kelihatan lebih kurus,” ungkap Melani.
“Kamu kelihatan jauh lebih cantik,” balas Kinna
Pramusaji datang dengan nampan dan gelas berisi minuman
hijau. Sementara Kinna berusaha sibuk memutar cangkir karena cappuccino tinggal
seteguk lagi. Melihat air muka Melani, Kinna jadi menahan diri. Dia membiarkan
sahabatnya itu mengambil jeda untuk menuntaskan dahaga dan rasa lelah.
Waktu semakin gugur dan bunga plastik akan selalu terlihat
sama. Tak ada yang bisa mengelak dari perubahan, termasuk bergulirnya waktu.
“Aku tidak punya banyak waktu,” Kinna membuka kalimat.
Lalu disingkapnya tangan sebelah kanan untuk memperlihatkan
jemari sebelah kiri. Berkilau ujung batu berlian yang memantul oleh sinar lampu
tersemat cincin di jari manis Kinna. Tak perlu waktu lama Melani mampu
menangkap wujud benda itu. Sangat mencolok dan indah. Tak sadar Melani
menyambut tangan kanan Kinna dan mengusapnya lembut. Disentuhnya cincin yang
melingkar itu dan ditatapnya dengan nanar.
Kinna semakin cemas, tapi berusaha menyembunyikannya.
“Selamat ya, akhirnya kamu akan menikah,” kata Melani.
“Iya, terima kasih.”
Seolah Melani tak bisa membaca keresahan Kinna malah fokus
pada jemarinya. Melani begitu terpesonanya dengan batu berlian di tangan
sahabatnya itu. Angin sore semakin senyap. Bunga plastik di tepi meja tak
sanggup menandingi indahnya cincin Kinna. Satu tegukan terakhir berharap mampu
membasuh kebimbangannya.
Kinna menarik kursi mundur ke belakang. Mata berusaha tajam
menatap sahabatnya. Sudut mata Kinna terbit seberkas bulir bening.
“Tapi, aku masih harus meminta restu.”
“Dari siapa?” tiba-tiba Melani tersentak
“Dari kamu,”
Melani masih menggenggam jari manis Kinna. Tangannya memutar
cincin dengan hati-hati. Terukir nama, “Bram.” Langit seketika runtuh.