Saat langkahku terhenti di
persimpangan jalan, menatap sekitar. Lalu tak kutemukan arah dimana cahaya itu
datang. Sesaat mataku terpejam dengan gurat kebingungan yang tak bisa
kusembunyikan. Ketika sebuah kerinduan yang tak mampu kucegah, bahkan seperti
tetes hujan di ujung daun. Aku tak mampu meraba tanda-tanda hujan ketika hatiku
diliputi kegelisahan, sebentar panas lalu sebentar dingin. Mengekalkan keraguan
yang datang silih menghampiri, pada setiap detik yang terampas oleh waktu. Aku semalaman
memikirkanmu, entah untuk apa. Tapi aku tahu ketika tiba-tiba dadaku berguncang
karena sesak, aku ingin mencoba bernafas untukmu. Saat diriku merasa terjebak
pada keraguan dan semuanya samar terlihat karena mengabu. Aku hanya tahu
berjalan, meski membuat jarak menjadi lebih jauh, bahkan dari bayanganku
sendiri. Menemukan waktu, menemukan cahaya. Atau mungkin menemukan cinta.
Kadang aku bingung kemana
sebenarnya angin menuju, lantas kemanakah kepergian rindu yang hilang. Aku hanya
terpaku di sudut ruangan penuh ragu, jika cahaya lampu kian meredup dan aku
kehilangan cahaya di malam hari. Mengapa kesedihan ini tak juga pergi ketika
kucoba merangkai satu demi satu bait puisi. Kemudian kudendangkan bersama nada
sendu untuk mengiringi kepergianmu. Aku tak mau secercah harapan ini hanya
melukaimu, karena aku tak yakin. Apakah cinta dapat menghapus air mata,
sedangkan aku tak pernah sebahagia ini karenamu. Menemukan kembali senyumku
yang hilang. Apakah cerita dapat kulanjutkan menjadi memori indah untuk bingkai
mimpi kita. Aku tak tahu, kemana hati ini melangkah. Karena aku takut, bukan
saja kehilangan. Aku takut tak percaya lagi bahwa senyuman ini akan kudapatkan. Sejak,
kau pergi tanpa pertemuan. Tanpa kalimat akhir, tanpa kau tahu telah banyak
derai air mata kuhabiskan. terhenti tanpa kuakhiri.
Hanya waktu yang dapat membagi
celah di antara kesempatan dan penyesalan. Ketika kau tak pernah punya waktu
untuk berharap bahkan sekadar ingin. Tak ada yang bisa mengembalikan waktu
seperti dahulu, seperti kenangan yang telah kau kubur bersama pasir di tengah
pulau. Jarak antara hati dan air mata hanya terbatas pada pejaman mata, saat
mengiringi luka hati yang tak pernah usai. Tapi matahari selalu terbit ketika
matamu mulai terbuka, kemudian hatimu. Biarkan daun-daun basah oleh embun
sementara hangat menyelimuti tubuh selama matahari bersinar. Menebarkan harapan
baru di antara keringat yang tersembul di sekujur tubuhmu, menyambut esok yang
lebih cerah. Meski hujan, badai pasti berlalu. Tak pernah ada waktu di mana jam
berhenti karena detik berguguran bersama air matamu, tidak ada kesedihan yang
abadi. Kecuali kau rindukan. Tidak ada yang tahu kedalaman laut, begitu juga
hatimu.
Pagi yang dingin, aku dibangunkan
deburan ombak dan buih laut yang berkejaran di bibir pantai. Lalu kuhirup aroma
hujan semalam sewangi harum bunga lily. Di ujung dermaga kulihat awak kapal
yang bergoyang mengikuti irama ombak. Aku terduduk di sebuah kursi kayu tua dan
memandang langit. Tak pernah kurasakan setenang ini. Meraba hati yang basah
karena semalam ternyata turun hujan. Indahnya, saat tubuhku menyatu bersama air
laut dan menyaksikan terumbu karang dan ikan yang menakjubkan. Aku begitu dekat,
bahkan ketika tarikan nafasku tercekat. Tak ada hal yang bisa kurindukan selain
senyuman. Bahkan, di kedalaman air yang tak kutahu jantungku masih berdegup
kencang merasakan sisa-sisa kegetiran. Hingga menjelang senja, saat kapal mulai
berlabuh dan aku merapat pada tepian dermaga sambil berjalan, kusaksikan langit
mega yang mulai merona merah jingga. Dan angin membelaiku mesra, tiupan anginya
menerbangkan helai rambutku. Sampai kutahu, waktu tak pernah membawaku pada
perhentian tentang cinta. Dirimu.
Entah, malam itu rasanya seperti
oksigen mulai menipis dan aku rasanya tidak bisa bernafas. Gerimis pun tak
terbendung lagi. Setelah sekian lama akhirnya aku harus merasakan ruang kedap
udara. Pintu yang mulai terbuka itu pun tertutup dan aku tak bisa bernafas
lagi. Aku akan terbangun esok hari tanpa melihat matahari, aku akan berteman
dengan kegelapan. Kesunyian yang kucoba mulai kuakrabi menjadi keheningan alam
yang kurindukan. Dinding-dinding mendengar ketukan hatiku yang menjerit
tertahan, bukankah aku terbiasa dengan kesepian. Pagi akan berubah menjadi
malam dan akan terus seperti itu. Maka, langit menjadi sama ketika mendung
datang dan tak kulihat lagi bintang di sana. Rasanya aku masih merasakan sesak
saat kutulis ulang perasaan ini. Bisikan hati yang mulai terdengar oleh
burung-burung gereja. Aku akan
menantikan sang surya, saat aku benar-benar merindukan hamparan padang hijau
rumput sehabis hujan. Aku terbaring di sana, menghirup udara bebas.
Apa kau sebut itu cinta, ketika
gejolak dalam dadamu tak mampu kau redam. Semenjak langit terlihat indah
padahal masih berwarna biru. Hitungan waktu yang terbuang karena menunggu,
menanti harapan akan cuaca esok hari. Siapa bisa mengira, awan cerah di pagi
hari berubah sendu dan gerimis ketika petang datang. Dan aku hanya terdiam
sendiri di kesunyian malam sambil memikirkanmu, membayangkanmu. Jika suatu hari
aku bertemu denganmu secara kebetulan pada waktu yang tak kuketahui. Ketika cinta
datang menyapa kau tak pernah mengenal waktu. Ketika perasaan rindu datang kau
tak mampu membendung luapan rindu. Jika saja, bahasa cinta mudah
dimengerti dan aku bisa bertemu denganmu. Maka, seluruh anganku tentang
bayangmu yang hilang akan hadir dalam setiap mimpiku, dalam setiap pejaman
mataku. Inikah rasanya cinta.