Mungkin, ini adalah lagu terakhir yang kusenandungkan, seperti lagu gerimis pada bau tanah selepas hujan. Aku ingin kau tidak sekadar mengenangnya seperti bulan yang terkenang pagi. Kau disini, mendekapku seperti kita ingin menyatu, baumu begitu kukenal. Cinta selalu berpihak pada kenyataan, bukan pada perasaan yang selama ini kita nyanyikan. Kau pun mengerti, seberapa kuat kau mempertahankan cinta, maka akan selalu berakhir dengan kehilangan yang menyedihkan. Kau tidak saja menangisinya, kau bahkan menyesalinya. Pernah jatuh cinta. Kau dekap aku seperti dahulu, dan aku bercerita tentang bulan purnama yang ranum di musim kemarau, dan langit tampak temaram sedang kita bercengkrama di kursi taman di bawah sinar lampu kota yang menerpa. Adakah nyanyian ini akan selalu terngiang di telingaku, manakala kutahu pada akhirnya bahwa cinta pun bisa menjadi tuli. Bahkan, tidak bisa mendengarkan isi hatinya sendiri.
Cinta pada akhirnya membuat keputusan menjadi sebuah pilihan sulit untuk dikorbankan, ada sekeping hati yang patah dan setiap orang harus siap mengambil risiko. Realita kehidupan tak memberikan penawaran, karena semua hal selalu terkait dengan kondisinya. Itu tidak seperti cerita keramik yang saling berciuman. Kehidupan nyata tidak mudah untuk membuat hubungan itu tersambung begitu saja, ketika tali itu terputus suatu ketika maka kau akan dapati ukurannya menjadi lebih pendek, dan sayatan yang kau buat tentu menorehkan luka. Maka perpisahan menjadi adegan paling mengharukan di setiap drama. Kemudian dialog cinta menjadi begitu sendu dan ungkapan-ungkapan curahan hati seperti air yang mengalir di tengah kolam. Maka air mata tak sanggup mengembalikan semuanya. Mungkin, akhirnya tidak begitu. Jika kau mampu membuat cerita cinta menjadi kisah yang tak cukup sekadar untuk dikenang. Akan tetapi, membuat segalanya berakhir bahagia bahkan ketika harus terpisah.
Aku belum tersadar. Pikiranku masih tersesat menuju bianglala dan rimba penuh bidadari. Ketika bintang dapat dipetik dan aku bisa berputar mengelilingi bulan. Tiba-tiba kudengar suara pintu digedor paksa. Lalu terjadi kerusakan. Aku terperanjat, mataku pun terjaga. Sepasang pemuda berpakaian biasa mendekatiku. Dia berusaha menyentuhku, aku menolak. Aku menggeleng-geleng, mereka pun memaksa. Aku pun di seret. Hari ini harusnya aku ke sekolah. Masih ada ujian nasional. Tapi kulihat butiran-butiran pil itu berserakan di atas meja. Dua pemuda itu pun mengambil dan mengantonginya ke dalam plastik bening. Aku mengucek-ngucek mata. Apakah kedua orang ini malaikat yang akan mengantarku ke syurga. Kemudian sebuah pukulan mendarat di dahiku, dan aku tidak sadarkan diri.
Sekarang aku baru sadar, semalam aku menelan 2 butir pil berwarna pink, karena kepalaku terasa pening dan berdenyut-denyut sementara besok masih ujian nasional. Seperti yang diceritakan temanku pil itu dapat menghilangkan pusing. Aku pun percaya. Kini dua pemuda itu menginterogasiku, siapakah teman yang memberikan pil itu. Ternyata pil berwarna pink itu adalah sejenis narkotika. Aku pun harus mengerjakan ujian nasional di balik jeruji besi, tentu sambil mengunyah pil berwarna pink, doakan aku semoga bisa menjawabnya dengan baik.
Aku bingung, selepas bangun. Menggerakkan badan dan menggeliat. Kemudian keluar kamar dan mendapati orang-orang menangis. Padahal aku mau berangkat ke sekolah. Ada ujian nasional. Setelah menguap dan merapikan rambut sebentar, aku kemudian ke ruang makan. Tidak ada makanan yang dihidangkan. Mamaku tidak terlihat di dapur. Aku hanya melihat kerumunan orang di depan rumah dengan pakaian serba hitam. Apa yang terjadi. Kemanakah papaku yang berniat mengantarkanku pagi ini ke sekolah, dengan sepeda motor barunya itu. Mungkin mamaku ke pasar, tapi siapakah orang-orang depan rumahku itu. Aku tidak tahu.
Kuberanikan diri menuju depan rumah, ada banyak orang. Puluhan orang itu tengah terharu dan tersedu sambil menahan tangis, diantaranya kukenal. Sangat kukenal. Dia adalah kekasihku, yang berjanji akan mengajakku makan di kantin seusai ujian. Kenapa dia disini, lantas menangis. Lalu sebagian orang-orang itu adalah guru-guru di sekolah. Bukanya hari ini ujian. Aku masih tidak mengerti. Dan mataku terbelalak manakala kulihat keranda yang ada tertutup kain hijau. Lalu orang-orang mulai merapalkan kalimat suci dan terlihat poto berbingkai yang sangat mirip denganku. Aku mulai panik. Aku tidak percaya nama yang tertulis di sana. Chintya. Itu adalah namaku.
Pagi yang indah, kutarik selimut. Aku masih merasakanya. Hari ini ujian nasional yang kedua. Semalam aku belajar bersama denganya. Aku jadi lebih mengerti matematika. Tapi aku tak tahu gerimis semalam berubah menjadi tangisan langit yang deras. Dan aku bertahan di rumahnya hingga hujan reda. Tapi dia tidak hanya menawarkan kopi panas, dia juga menawarkan pelukan. Sampai kulihat telepon genggam miliknya berdering. Dia berbicara dengan rona cemas dan khawatir, lalu mendadak berubah menjadi sentakan ditutup dengan kata-kata kotor. Saat itu dia hanya terdiam, aku merapat dan membelai wajahnya yang sayu, sepertinya nada sendu terlihat dari matanya yang basah. Aku haru menjadi pohon yang rindang baginya malam ini agar matanya tak turun hujan. Hujan berhenti dan aku pamit pulang. Saat aku berjalan beberapa langkah keluar dari pintu rumahnya. Aku tak tahu ada sepasang mata yang melihatku dari rimbunan pohon yang tampak gelap. Aku tak peduli, aku bahagia malam itu.
Aku pun bergegas mandi, kupersiapkan buku dan catatan seperlunya. Aku ingin melihat dia dan mengucapkan terima kasih. Selang bel berbunyi dan seluruh peserta ujian masuk ruangan. Aku mulai cemas. Aku tak melihatnya. Lalu aku meminjam koran yang ada di meja pengawas. Untuk sekadar mengusir bosan dan menunggunya datang. Mataku terpana dan panas. Aku tak bisa berkata apa-apa. Mendadak dadaku tergagap dan gemuruh di jantungku berderap. Aku masih tak percaya. Tertulis jelas di sana.
Berita.com – sesosok mayat berseragam SMA ditemukan di sebuah kali yang melintas di perumahan Melati, Jakarta Selatan, Selasa (19/4/11) pagi ini. Sampai pukul 07.45, jenazah tak dikenal itu belum diangkat dari sungai. Polisi juga belum datang ke lokasi kejadian.
Rasa nyeri tak pernah sanggup kulepas. Apalagi luka pedih yang kau torehkan merobek hatiku. Aku tak mengerti. Setelah sekian janji dan ucapan manismu, aku begitu terlena. Hatiku hancur, berserakan. Entah tercecer dimana, barangkali sebagian terkoyak dan termakan anjing. Aku limbung, setelah perceraian kedua orang tuaku. Aku lebih mengenal murka dan teriakan. Ketika mereka berdua beradu mulut dan bertengkar dengan kasar, aku melihat Ibuku terpelanting ke lantai bersimbah air mata lalu kepalanya terbentur tembok dan cairan kental itu menghiasi dinding. Aku hanya bisa menatap dari kejauhan dengan nanar dan berurai air mata. Bahasa kesedihan ini tak mampu meredam emosi Ayah. Aku menangis. Tapi kau datang dengan penuh cinta, belaian manismu dan sentuhan manjamu. Membuat aku nyaman. Sampai suatu ketika aku lari dari rumah, karena tak tahan dengan pertengkaran. Lebih baik aku menemuimu, bersembunyi di balik selimutmu. Tapi aku lupa bahwa malam itu aku kira tidak akan bertemu purnama, ketika bulan begitu ranum dan kita bercinta layaknya sepasang serigala yang mengaum di ujung bukit. Aku lupa mematikan lampu karena begitu bergairah. Aku lupa bagian akibat dari perbuatanmu, kau tidak hanya membuatku bergelora, kau juga seperti secawan anggur yang tak habis sekali teguk. Kau membuatku begitu menginginkan hal itu. Tapi aku lupa bahwa kau tidak hanya memberikan cinta, kau juga memberikan sperma. Aku lupa pelajaran biologi. Akhirnya rasa pedih itu bercampur darah. Ketika beberapa bulan berikutnya badanku semakin membesar. Aku lupa kalau aku perempuan, dan berpotensi hamil. Tingga beberapa hari lagi aku harus mengikuti ujian nasional. Dan tiba-tiba aku tidak hanya lupa pelajaran biologi, tetapi aku juga lupa pelajaran kimia. Kubeli beberapa macam zat kimia di toko seberang jalan rumahmu, tempat kita memadu asmara, dan kau tinggalkan selimutku karena bercak darahku dan kucuci sendiri tengah malam. Esok menjadi tak penting lagi. Kau menghilang dan ditelan angin. Kau seperti manusia bertopeng yang dicari polisi. Sedangkan aku hanya bisa menyimpan murkaku disini, di dalam rahimku. Semoga aku tak ditemukan kedua orang tuaku.
Pagi hari pelaksanaan ujian, aku datang. Penuh percaya diri, membawa majalah mode dan koran, untuk pengawas ujian, tidak lupa kubawa roti untukku sendiri. Untuk sarapan pagi. Semuanya begitu tenang mengerjakan. Tak kulihat dirimu di bangku yang seharusnya kau tempati, nomer dua dari depan sebelah jendela, biasa kau lirikan matamu padaku dengan tatapan sendu. Kemudian kubuka tas dan mengambilnya. Aku lupa sarapan, roti yang kubawa pun ingin segera kutelan. Dan aku ingat semalam aku tidak belajar lantaran sibuk mencampurkan zat kimia ke dalam roti. Berharap aku cepat mati. Tentu saja, pengawas tak melihatku terkapar karena sibuk membaca koran, terlebih teman-temanku. Mereka tidak ada yang curiga busa yang keluar dari mulutku, dan darah yang menetes dari balik celana dalamku.
Suatu malam yang dingin dan udara masih berhembus sama, aku mulai berpikir tentang kesejatian dan makna. Selama ini tak dapat kutemukan arti dan makna yang selama ini kucari; puisi.
Untuk apa menulis puisi, ketika tidak ada secercah cahaya makna yang mudah untuk dimengerti. Ketika harus meraba untuk memahami, puisi tak sekadar kata. Bahkan puisi tak sekadar ungkapan. Banyak pujangga dan penyair melahirkan puisi. Bahkan dari rahimnya. Aku tak mengerti ketika puisi dianggap sebagai ekspresi jiwa, pengalaman bathin, kegelisahan dan pergolakan jiwa, pertanyaan dan tanda tanya, cerminan dari akar masalah, realita. Puisi tidak lebih dari kata-kata. Kata-kata yang tidak mudah untuk diterjemahkan.
Untuk apa menulis puisi jika tidak mengubah apa pun. Ribuan puisi lahir setiap hari, tumbuh berkembang dan beranak. Bermunculan dan berkeliaran. Puisi menjelma seperti deretan huruf kaku yang mati karena tidak lagi disenandungkan di atas panggung. Puisi hanya teronggok busuk di atas koran, di kumpulan lembar antologi. Sebenarnya untuk apa puisi lahir.
Terkadang aku juga membuat puisi, ketika kubaca terkadang aku juga sama tidak mengerti. Apakah dengan begitu adanya puisi lahir untuk tidak diketahui. Ketika puisi menjadi asing bagi penulis sendiri, bahkan untuk pembacanya. Puisi seperti narasi yang habis dibaca satu tarikan nafas, kemudian diulang, dicermati, bahkan dibedah. Banyak metode dan teori analisis puisi. Untuk mengupas dan menemukan kandungan makna puisi. Mengapa hal yang tampak sederhana menjadi rumit untuk dimengerti. kemanakah puisi bermuara, berteman, dan mencari pijakan. Seperti perasaan yang tak mudah untuk dijamah dan diterjemahkan dalam bahasa. Puisi terkadang tidak menemukan teman, kosa kata, bahasa yang mampu mewakili luapan perasaan sang penyair.
Apakah puisi itu? Sejenis ungkapan-ungkapan asing yang jarang dituturkan. Kembali kubertanya, aku mencari kesejatian dan kebermaknaan dalam setiap catatan dan episode kehidupan. Aku hanya mengajakmu berpikir dan bercanda. Disini, kita bisa duduk dan bersantai sambil berbincang mengenai puisi. Terkadang datang dari kekalutan dan badai dalam diri. Dada bergemuruh dan pikiran koyak lantaran hati terhempas oleh kebencian. Ada bulan dan purnama yang selalu kau puja lirih seperti semilir angin di tepi pantai yang menerpamu. Kedamaian hati yang kau temukan saat arus sungai kembali tenang dan binar matamu terpancar pelangi.
Puisi begitu memabukkan dengan kata-kata. Kata-kata berduyun-duyun dan berlarian di kepalamu. Satu persatu kau pilih manakah kata yang sesuai dan kau rasa perlu. Mempertimbangakn urutan dan rima sehingga terdengar merdu. Puisi terlihat mudah tapi tak mudah untuk kau nikmati, banyak kata yang menegaskan arti kata yang lain. Semiotik, simbol, gaya bahasa, konotasi, bahkan termasuk dalam makna-makna tertentu. Maka perlukan untuk mengutarakannya dalam bentuk yang lebih sederhana.
Jika dimungkinkan, aku malah berpikir kenapa harus menyulitkan diri. Puisi terasa ekslusif dan istimewa terselimuti oleh hijab dan kerudung. Tak mudah tersentuh bahkan kau raba. Puisi punya cita rasa dan gaya yang berbeda. Sedikit nakal, manja. Bahkan ada yang cenderung verbal dan vulgar. Puisi menentukan identitasnya sendiri oleh penulis. Maka dimanakah kutemukan makna dalam puisi yang mampu mengubah hidupku. Bahkan menginspirasiku. Bukan sekadar menuntaskan dahaga bathin dan kekosongan jiwa. Puisi tak lagi seperti bayang-bayang asing yang menggelayut di pikiranku.
Siapa yang bisa menjelaskan kepadaku tentang puisi. Tentang senandung lirih para penyair, tentang gejolak perlawanan, tentang eksistensi diri. Tentang arti yang mencari definisinya sendiri. Ketika kata mencari makna di balik setiap hubungan antarunsur, leksikal, gramatikal, derivasi. Kata-kata berdiri sendiri mengungkap arti yang tersembunyi. Kau mampu menjelajah makna dalam samudera luas pikiranmu. Aku tak mampu kembali dan tak kutemukan jalan pulang. Aku tersesat. Adakah yang seseorang yang mampu mengantarku pulang.
Puisi, bait dan bait, kemudian larik dan baris. Bersama-sama tersusun. Aku tak tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh puisi. Apakah letupan, ketika ujaran yang dihasilkan oleh daerah artikulasi yang sama melahirkan fonem-fonem yang berbeda dan secara fonetis menentukan hubunganya dengan unsur yang sejenis. Aku berkenalan dengan konsonan dan vokal. Grup vokal ini terpecah dan berteman dengan huruf-huruf konsonan, bahkan tidak sedikit diantara mereka yang berhubungan intim.
Aku masih tak menemukan inti dari persoalan ini, ketika puisi kuanggap menjadi hal yang tak perlu kupersoalkan lagi. Aku perlu jawaban.
Ketika juragan turun dari mobil dan memasuki gedung pengadilan, sang supir tersenyum. Kemudian dia menelpon seseorang, tampak begitu mesra. Beberapa menit kemudian mobil yang ia kendarai telah meninggalkan gedung dan lenyap di balik keramaian jalan. Dia tahu, daripada menunggu juragan pulang, lebih baik dia memenuhi janji. Tentu dia tahu janji adalah hutang, dan harus dibayar. Karena dia tidak ingin seperti anggota dewan yang hanya pandai merangkai janji. Tidak begitu lama untuk sampai ke hotel mewah yang dijanjikan. Dia ingat betul kamar yang dipesan, karena seseorang telah menunggu.
Lalu kubuka pintu perlahan, tampak terlihat ruang kamar begitu megah. Dinding dilapisi cat yang berwarna elegan, hiasan dinding dan lukisan yang begitu memesona. Tidak kulihat seorang pun di sana, meja masih tertata rapi dengan bunga dan vas di atasnya. Aku tahu, vas itu dibeli bulan lalu dengan pesan singkat di dalamnya. Khusus untukku.
Dari balik pintu kamar mandi, kudengar gemericik air yang menitik terdengar begitu jelas di telingaku. Kurasa ada seseorang. Tapi aku tidak berani mendekat, aku takut seseorang di dalamnya sedang tidak memakai baju. Kemudian aku duduk di atas ranjang kesukaanmu. Aku lebih baik menunggu, siapa tahu kau adalah hawa yang kucari.
Edisi catatan helda dan ardi
Seutas mimpi dan aku terjaga merindukanmu. Sungguh, tak ada lagi harapan. Kau merajuk dan aku mengiba. Tapi tak ada pertemuan abadi dan selalu terpisah lagi. Mendambakan kemesraan dan menjalin mimpi bersama sambil terus tergenggam penuh cinta. Saat mentari pagi bersinar maka kau pun berbinar-binar mengharapkanku. Aku pun tersenyum manja menatapmu, sekian lama. Akankah cerita kita yang terus terangkai menjadi nyata. Dan kerinduan ini menemukan telaga menemukan muara tempat kita menyuarakan janji suci di altar bahtera. Kau akan menantikan itu sayang.
Kepada angin yang berhembus, kusampaikan salam dan kutitipkan rindu karena tak lagi mampu kutahan. Kau yang merasuk ke dalam jiwaku dan bersemayam di hatiku. Aku tak bisa menyentuhnya. Daun-daun yang melambaikan tangan itu pertanda. Aku hanya bisa menyaksikan tiupan angin di ujung senja, seperti yang kau ceritakan. Kau berdiri di dermaga menantiku. Merapatkan tangan dan kita menggengam jemari, di pelabuhan yang ingin segera kau temui. Tapi apakah angin telah sampai padamu. Saat kulihat badai telah memporak-porandakannya sepanjang jalan dan tepian. Akankah rinduku tercecer di tengah jalan dan terinjak-injak oleh kendaraan. Aku takut kerinduanku tak sampai padamu.
Segelas kegelisahan telah dihidangkan mengepulkan resah dan kecemasan yang membubung hingga ke langit hitam. Aku tak tahu, dengan bahasa apa aku harus meminta, secangkir petaka ini telah ada di depan mata. Kucoba untuk melawan hati atas getir dan sedih yang menuai perih, ketika dawai-dawai rindu telah karam pada ujung kelopak mata membanjiri kepiluan hati yang teriris. Hati terburai menjadi semburat titik titik bekerlipan di angkasa menemanimu. Aku ingin mengecup bibirmu dan membiarkan segala isinya tertelan bersama kepedihan
Mama, aku akan berusaha semampuku membuatmu bangga. Melihatku berkaca-kaca dan ingin segera berhambur memelukku penuh roha haru dan bahagia. Aku akan memberikan yang terbaik sebaik yang aku bisa, dan kau akan mengecup pipiku beberapa kali. Berikanlah doa dan restumu, aku tidak bisa bertahan tanpa itu, kasih dan cinta mama begitu besar sehingga aku terkadang tak mampu menampungnya dalam pengertianku. Aku selalu ingin berjumpa dan mencium tanganmu, membuatmu tertawa dan kita berdua saling berbagi cerita. Sepanjang malam, kau akan terus memanjakanku dengan cerita-cerita yang berbeda. Setiap kali aku melihatmu, aku khawatir bahwa kau akan berhenti mencintaiku dan aku membuatmu kecewa. Mama, aku sangat mencintaimu. Aku akan berusaha sekuat tenaga dan mengerahkan segalanya. Hanya untuk membuatmu bangga, Mama. Do'aku mengalir untukmu sepanjang tarikan nafasku, agar kau tetap menjadi sumber kekuatanku.
Aku tidak tahu, bagaimana membuat terkadang itu menjadi tidak selalu. Karena kupikir bahwa aku tidak menghindari itu untuk melarikan diri. Aku hanya ingin bersamamu. Kenapa hal sederhana ini bisa menjadi teramat sulit untuk dihubungkan. Dan banyak keterkaitan yang membuatku semakin jauh darimu. Ketika sejauh ini aku berlari hanya untuk bisa membuat jarak menjadi lebih singkat. Aku tidak bisa membawamu ke sini. Aku tidak mengerti apa yang salah tentang keinginanku. Ketika orang harus memandang sesuatu di luar diriku. Sehingga aku tidak berdaya. Apa setiap orang punya hubungan dari jalan masing-masing. Sementara jalan yang kupilih begitu berbeda. Padahal, aku mengharapkan akhir dari perjalanan ini hanya untuk bertemu denganmu, melepas seluruh kekhawatiran ini bersamamu. Tapi kenapa kau tak menatapku lagi. Bahkan kau membuang muka, dan aku tidak bisa melihat matamu yang indah. Setelah sekian lama aku membangun perasaan ini untuk percaya pada satu hal. Kau meruntuhkanya dalam sekejap pandangan mata. Aku tidak bisa bertahan lagi karena aku membutuhkanmu. Aku membutuhkanmu untuk mengalahkan ketakutan ini, please!.
Kau tidak perlu bicara, aku memahami isi hatimu dan mengerti kerinduanmu selama ini. Cinta tak perlu dirumuskan dengan kata-kata. Cinta adalah bahasa yang mampu dituangkan dalam bentuk sentuhan dan bahasa kalbu. Ketika aku tak bisa melihatmu karena jarakmu terlalu dekat. Kemudian kelopak matamu mengatup dan bibirmu merekah seperti bunga. Aku menyambutnya dengan bibirku yang basah. Dan aku menyentuhmu dengan lidah. Membasahi kekeringanmu selama ini. Cinta tak terkatakan telah teruntai indah bersama kecupan dan bibir yang menyatu mesra. Aku tahu bahwa sepanjang apa pun kata yang ingin kau ungkapkan, tak perlu lagi. Aku telah memahaminya sepenuh hati, ketika tanpa sengaja lidahmu menyentuh lidahku seperti berpelukan. Aku tahu bahwa kau sangat mencintaiku, tanpa perlu bicara.