Seharusnya, aku mengelak dari keinginan untuk menempatkan ruang kecil di hatiku, untukmu. Ketika semua keraguanku akan mimpi dan cinta membayangi sekelabat dalam pikiranku. Membuatku, bertanya akan arti pertemuan yang kita lalui selama ini. Selama, mataku masih beradu pandang dan tersenyum kemudian. Siapa yang bisa menjelaskan getaran yang timbul kemudian seiring parasmu hadir dalam bingkai hatiku. Saat itu, aku harusnya tak berani menaruh hati. Sengaja, kupikir aku tak akan terjerat oleh degup jantung di dadaku yang semakin kencang. Nyatanya, aku terjebak pada dilema antara perasaan suka dan luka yang rumit dan menggebu. Ketika masih kukemas rapi berbagai serpihan kenangan di masa lalu dalam sebuah kotak penyimpanan dalam benakku. Sementara, masih begitu jelas terbayang matamu yang sendu saat terpaksa harus melepasku pergi. Berharap, saat ini aku tak jatuh pada luka yang sama. luka yang selalu menawarkan manisnya madu saat awal pertama kali bertemu tanpa tahu masih ada kemungkinan untuk berpisah. Menatapmu, saat ini menjadi awal untuk kukembali mencoba merasakan sejumlah arti. Dilema antara luka dan cinta yang menyatu dalam kehatangan yang tak kupahami.
Kau hanya membisu seakan tak punya kata, menyimpan segenggam kalimat dalam pikiranmu sendiri. Sementara kutahu kau begitu merindukan kehangatan, seperti bulan merindukan pelukan. Mata terbang hingga pada pucuk daun ketika jejak pikiranmu tak kembali dalam lamunan. Ada sepenggal pendirian dalam harap, lalu dada mendadak tergagap. Esok pagi, seperti janji. Kau pikir waktu masih tersisa. Aku akan terbujur kaku tak bernyawa. Kau akan kehilangan arti kemungkinan. Senja, rembulan pun menangis. Malam, seperti halnya kita tetap butuh terang. Menjadikan arti hadirku sebagai anugerah. Kesempatan memenjarakan hasrat yang terbutakan oleh pikiranmu sendiri. Harusnya kuakui mencintaimu adalah kesempatanku, sekali. Aku ingin, bahkan dalam pejaman mata terakhirku masih tersimpan detik-detik yang kita bagi bersama, menari layaknya burung terbang. Di saat kau tahu tak ada lagi yang berarti, hidup tak memberikanku kesempatan. Mencintaimu, untuk memilikimu. Kepada angin kusampaikan jerit kepiluan hati sepenggal kisah terbiaskan relikui kematian. Menjemput, cahaya. Kesempatan untuk hidup baru. Membangun kata-kata yang telah hilang sepanjang waktu kuterlelap dalam tidur panjang. Selamat tidur. Aku berharap tak terbangun.
Untuk sekian lama, aku masih termenung membayangkanmu. Betapa aku tak bisa menghapusnya, karena tak ingin. rasaku telah melebur dalam cinta yang membisu. Aku tak tahu, apakah aku bisa melupakanmu barang sekejap masa. Bahkan, sehari saja. Ketika semua kenangan terkunci dalam hatiku dan kau selalu hadir di suatu malam dalam mimpiku. Menyelinap bahkan menginap untuk satu malam. Aku tak bisa mengelak ketika mataku membanjir saat terjaga tanpamu, kecuali ingatan tentangmu. Memeluk tanganku sendiri, seakan memelukmu. Di atas kasur itu, aku masih sadar. Ketika beberapa kepingan hatiku hancur seketika kau memutuskan untuk berpisah. Denting air mata berguguran membasahi bumi. Aku terpejam untuk bersembunyi dari realita. Sementara, dadaku masih terguncang karena luka hatiku menganga. Kehangatanmu kemudian hilang dalam tragis dan aku kembali menangis. Jika, suatu saat aku bertemu lagi denganmu. Aku tak tahu, harus berkata apa. Bahkan untuk tersenyum, rasanya aku akan berpura-pura bisa bangkit tanpamu. Padahal, aku tak bisa. Menyapamu seakan tak terjadi apa-apa, melihatmu dalam jarak pandang biasa. Menyentuhmu, seakan tak ingin. aku tak bisa menjelaskan arti perpisahan, ketika kutahu ada rencana di balik setiap pertemuan. Mungkin, aku tak yakin. Siapa yang bisa menjelaskan arti pertemuan-pertemuan kita selanjutnya. Sekalipun kau tak ingin.
Sepi menyekapku dalam jejak bisu yang tertuang dalam kepulan asap secangkir kopi. Merenda kesunyian yang terlukiskan di antara sudut bibirku yang kering. Kerinduan akan kecupan basah, mengobati dahagaku akan cinta. Menggenggam jemari kita berpelukan dan saling merapat kemudian mengusir tegang. Hatiku tinggal seseruput lagi. Ditemani lagu yang ramah menyapa telinga sanggup menggetarkan hati. Mataku mulai meremang, malam telah tergenang karena bulan terlihat lelah menggantung di sana. Aku menantimu dalam detik yang hilang. Menit-menit menjadi rumit. Tak ada kabar tentangmu, setelah sekian lama. Bayangmu masih terlihat di cangkirku. Sekejap mengecup bibir gelas dan bayangmu hilang tertelan. Apakah aku lelah menantimu, sementara hatiku terpaut olehmu. Malam demi malam habis kubagi sendiri di antara resah. Bukan saja bayangmu, matamu, lirikanmu, bibirmu kemudian kata-katamu telah mampu membuat mataku terpejam beberapa saat. Aku harap, suatu saat nanti kau datang menyapaku seperti dahulu, bibir merekah senyum seraya memelukku. Penuh kehangatan.
Sejak itu, aku tak lagi menunggu datangnya pelangi. Seberkas harapan yang timbul di dinding hatiku seketika terhapuskan tetesan gerimis hujan. Adakah cinta menuai abadi. Ketika yang kutemukan dalam setiap harapan adalah kosong. Aku tak bisa berpura-pura tegar saat kakiku berdiri. Diantara kerinduan yang tertinggal masih menyisakan bingkai kenangan yang terpajang di sudut hatiku. Lantas, aku tak bisa begitu saja membuangnya. Kau, menepikan impianku selama ini. Hari-hariku bersamamu menjadi indah lalu mendadak situasi membuatku mengalah pada jawaban hatiku. Merampas segala luapan cinta yang terendam. Apakah kini aku bisa berharap cinta datang seperti sedia kala. Ketika kurasakan kepingan-kepingan masa lalu membuatku jatuh pada genangan luka dan sakit hati. Aku tak mau, karena hanyalah dirimu yang mampu membuatku melihat. Diantara sudut kenyataan dalam hidup tak bisa dijelaskan dengan pengertian, kau mampu memberiku alasan tentang arti pertemuan dan cinta.
Ada cinta yang terperangkap kenyataan. Sementara perasaanku telah bertalian sama dengan rasa suka. Entahlah, aku tak ingin berdiri di antara sisi terdekatmu. Hatiku tak lantas berhenti karena degup jantungku benar-benar tergetar. Untuk mengungkapkanya butuh sejuta kesadaran agar kalimatku tak salah terujar. Kini, aku bahagia sekalipun rasa sakit kemudian. Melihatmu tersenyum dan mengungkapkan hal yang sama. seakan, rasa sakit tak terlihat lagi di hatiku. Mencintaimu, tak lantas kumiliki. Sebab, aku tahu tak bisa berharap lebih dari sekadar yang kubayangkan, kuharapkan dan kuimpikan. Di sudut ruang kosong itu aku melihatmu, kudekati. Kita beradu pandang lantas berbincang. Setelah sekian lama banyak hal kuketahui, salah satunya perasaanku. Aku jatuh hati padamu. Untuk pertama kalinya, kurasakan. Gejolak rindu di dada untuk terus bertahan dan bertemu di kemudian hari. Tak pernah ada ragu sementara hati tergenang cinta yang tak kumengerti. Kenyataan, tak selalu sama tergambarkan di bayanganku. Kau, disana. Mencintaku tanpa henti. Aku menunggumu, sementara memastikan datangnya kesempatan lain. Untuk kembali mencintaimu, bahkan memiliki.
Akhirnya aku kembali menyusuri jalanan setapak dengan hati kosong. Kegalauan hati sepanjang hari menyelimuti dan mataku dibanjiri kesedihan yang tak berkesudahan. Aku telah membuatmu kecewa. Sungguh, aku tak bermaksud. Sementara pilihanku telah membuatmu merasa begitu tak dipercaya. Cinta apakah mampu menyelamatkanku di saat-saat aku benar-benar hampir tak percaya cinta. Siapa yang peduli, kegetiran hati. Bahkan, aku telah mengutuk dimana hari itu telah menghancurkan cintaku. Tapi, hal itu tak mengembalikan apa pun. Aku sampai ragu tentang jalan cerita hidupku. Ketika rasa takutku sanggup mengalahkan cintaku. Meniti hari-hari penuh kecemasaan sementara hati ini koyak karena kau telah pergi. Setelah pengorbananmu selama ini demi masa depan cinta. Begitu mudah kuhabiskan barang sekejap masa. Kuabaikan rasa rindu, ketika rasa sakit ini menguasaiku, menjadikan ranting yang basah pun jatuh karena terguyur hujan. Apakah detik ini menjadi berguna lagi. Ketika kau pergi, karena bukan kesalahanku. Dulu, aku pergi karena kesalahanmu. Kau pun kehilangan. Kini aku lebih dari rumput yang merindukan hujan. Kehilanganmu, tak pernah terpikirkan untukku menahan detik ini gugur bersama mataku yang mulai basah. Tak habis kumengerti. Kau mengubur cintaku seperti dulu. Lebih dari bertahun-tahun yang lalu. Untuk menutup masa depan cinta yang pernah kita genggam, tak sempat teraih.
Aku menyesal, entah kepada siapa. Ketika rasa sayangku kembali tumbuh setelah sekian tahun lamanya. Kau pun masih menjaga perasaan itu. Kemudian kita sama-sama punya mimpi tentang cinta yang kita rajut bersama. Tapi, kandas. Bukan karena perasaanku. Sayang, ada orang lain. Aku hanya bisa menangis mengunci pintu kamar dan berbincang dengan dinding-dinding ratapan dan tangis yang tersedu. Aku tak bisa mengembalikan waktu untuk bisa meyakinkan orang tuaku. Apalah arti cinta, ketika cinta harus berakhir tiba-tiba. Aku hanya bisa termangu lantas membisu memandang cermin karena mataku memerah. Kau telah pergi, dan berniat tak kembali. Mungkin menyisakan rasa kesal, aku pun menyesal. Namun apa lagi, cerita sudah cukup sampai di sini. Aku hanya bisa berbagi cinta dengan tepian kamar dan lampu yang masih menyala. Kau, telah membuatku bangkit berdiri dan memahami, sepenggal cinta di masa lalu. Tumbuh kembali dalam hatiku tanpa harus kusiram. Lantas tercerabut begitu saja karena orang tuaku meragukanmu. Aku yakin, tapi tak cukup. Kata maaf telah tertambat hati sebatas bibir terucap. Rasa sakit telah merobek hati dan kau pun pasti sangat kecewa. Maafkan aku, tak mampu membuatmu bertahan dengan cinta kita. Aku salah mengartikanmu. Sebenarnya, kau adalah awal untuk membuatku sadar. Cinta ada karena keraguan, ketika hilang aku pun akhirnya merasa yakin. Cinta yang dulu hilang telah kembali, suatu saat akan hilang jika tak kau simpan. Hati, tak pernah berdiri satu kaki. Masih ada cerita lain. Aku hanya bisa menangis, maafkan aku.
Awalnya aku merasa, ketika aku jatuh cinta. Semua terpikirkan adalah antara aku dan kamu. Nyatanya cinta bersemi dan berjalan seiring waktu. Kemudian cinta terbagi dan hubungan putus begitu saja seperti daun yang gugur di musim semi. Banyak alasan, banyak cerita. Tapi cinta bertahan karena kesetiaan. Saat itu, aku belajar arti rasa sayang yang tumbuh mengakar layaknya pohon. Ketika semakin lama akarnya semakin tertanam dalam. Cinta tak pernah habis lekang oleh waktu. Selama bertahun-tahun kau pun bertahan dengan rasa setia. Kita kemudian kembali merajut cinta yang sama-sama masih tersimpan. Namun, cinta bukan soal aku dan kamu. Masih ada orang lain. Masih ada alasan lain, cerita lain yang bisa begitu saja menghancurkan segalanya. Bahkan, kau pun tak lagi percaya bahwa cinta mampu menyatukan hati. Cinta pun menyatukan keluarga. Dan kau pikir itu masalah terbesar. Aku tak tahu, apa yang harus kupercaya. Aku begitu kehilangan bukan seperti dulu, rasa sayang yang memudar. Aku kehilangan tentang arti hidupku yang singkat untuk kumengerti. Tentang cinta, tentang keluarga. Terutama tentang kamu. Aku kecewa, kau pun memilih untuk berpisah karena aku terlanjur untuk percaya. Cinta sebenarnya ada bukan untuk kumiliki sendiri. Cinta adalah perasaan yang harus kubagi, antara aku dan kamu. Kita bersama menyatukan keluarga.
Perasaan ini tak bisa terlukiskan. Seuntai mawar layu pun masih kusimpan. Seperti luka hati yang masih kujaga. Terkadang, suatu malam aku hanya terduduk sendiri dan terpikirkan kenangan yang tak bisa kulenyapkan. Seketika mataku menitikan air karena perih kehilangan begitu tak terelakkan. Bunga di hatiku pun layu. Aku masih menjaga, menyimpanya. Tapi bagaimana hatiku, begitu hancur dan remuk sementara mataku tak bisa berhenti dalam tangis. Semakin kujaga, semakin kurasakan sakit. Saat niatku melemparkan bunga, aku tak bisa membiarkan hatiku semakin pecah. Kau, membuatku bertahan saat keadaan semakin tidak memungkinkan. Ketika aku begitu merindukan hujan saat musim kemarau berkepanjangan. Merindukan kehangatan, sementara hujan tak pernah datang. Seperti dongeng, aku menghibur hatiku saat nelangsa. Kerinduan ini seperti dahaga hulu bertemu muara. Aku masih menjaga, karena ada perasaanmu disana. Saat kau memberikanya dengan cinta. Bunga di hatiku, akan terus tumbuh dan mengakar. Bahkan, saat kutahu tak ada air untuk membuatnya subur dan segar. Aku ingin terus memilikimu. Walaupun sakit kurasakan. Menikmati secercah harapan kosong seuntai mawar layu yang berharap tumbuh di tanah gersang. Kerinduan yang tak bertemu tatap, hati yang tak bertemu tepi. Cinta tak bertemu sukma, benih yang tertinggal tak pernah tersiram. Suatu saat, akan tumbuh. Entah seperti apa.
Cukup lama aku terhenyak, seketika sadarku bangkit akan hadirnya kepiluan hati. Aku telah lama mencoba untuk kuat bersandar seperti karang. Tapi aku tak bisa berpura-pura. Aku tak bisa melepasmu pergi. Bibirku berujar iya namun hatiku bungkam layaknya terkunci. Kau tahu, setelah sekian lama aku mencintaimu. Tak mudah bagiku untuk berkunjung ke lain hati. Tak mungkin bagiku melangkah pergi menantikan cinta yang lain. Cinta tak akan kutemukan sama. ketika kurasakan begitu banyak pengertian darimu. Cinta bukan soal rasa semata. Ada kerinduan yang nyaman bersarang melahirkan benih-benih asmara yang subur, menggelora hingga tertanam dalam lubuk hati. Menghitung hari hingga tahun telah berganti terlewati, hatiku masih terpaut olehmu. Seketika menjadi mimpi buruk ketika kau berkata lain. Cukup sudah, kau menyerah. Kau memilih pergi, tali yang tersambung pun putus tanpa tercegah. Layaknya hujan, begitu tiba-tiba. Hatiku pun menangis lantaran kau sama sekali berubah. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Pilihanmu memang menyakitkan, sedang aku harus tegar berdiri, sendiri. Menata kepingan hati yang telah berserak dalam puing-puing yang entah bisa kutemukan. Kau, lebih dari arti sebagai kekasih. Kau, membuatku belajar lebih untuk bisa percaya. Bahwa, cinta tak diciptakan sama.
Pernahkah kau merasa pada titik terendah dalam hidupmu. Nyaris kehilangan seluruh energi dan semangat. Terlebih, hatimu terluka. Atau tak pernah kau temukan cinta dan kau larut dalam kesendirian. Memandangi langit seakan menatap kosong. Bintang menjadi tak menarik. Cerita hidup menjadi datar. Pada titik itu sebenarnya kau merasa tak punya tempat berpijak. Tempat untuk hatimu bersandar. Tempat untuk hatimu berbagi cerita. Tempat dimana gelora asmara berkobar. Tempat menitipkan rindu dan salam cium hangat. Tak ada yang tahu, pada titik dimana aku bertahan. Sejak, aku tahu kehidupan menjadi cerita yang membosankan. Selain dirimu. Aku tak menemukan cerita apa pun. Hatiku patah, ternyata selalu ada orang lain. Hatiku remuk bersama logika yang hilang. Seluruh waktu yang tersisa menjadi hampa. Cinta seakan telah mencuri hatiku dan tak pernah mengembalikanya. Apa yang terjadi, manakala kerinduan ini tidak ditujukan pada siapa pun. Bukan pada angin, bukan pada langit, bukan pula pada bintang. Kau, dahulu yang selalu menghiasi mimpiku, menjadi seberkas bayangan yang memudar dalam ingatanku. Kecuali, kutahu hatiku terukir namamu. Tapi aku telah menumpahkan segala tangisku karena kesedihan, kehilanganmu. Pada titik itu, aku tak yakin menemukan energi untuk bangkit berdiri. Aku hanya membutuhkanmu.
Tahukah kau, layar di atas perahu yang terbentang menunjuk langit. Kini, kurasakan perasaanku terombang-ambing ombak. Bahtera yang kulayarkan terhadang badai. Seketika dadaku mendadak bergemuruh. Hatiku bimbang. Seperti daun yang diterbangkan angin. Rasaku benar-banar tak mudah kupahami. Terkadang, terbang tak berpijak tanpa arah. Terkadang, aku merasa tersesat dalam labirin yang tak berujung. Kemanakah hatiku berlabuh, sementara tak kutemukan daratan sepanjang mata memandang hanya lautan yang beredar pandang. Kemanakah mata ini jatuh hati merapatkan buih-buih asmara yang selalu kudambakan. Tak ada jejak, tak ada kaki berpijak. Seperti surat dalam botol aku pun terbawa kemana ombak hendak pergi. Tak ada arah dan tujuan. Apakah perasaan sebenarnya tak beralamat. Sehingga terkadang aku merasa hampa dalam kesendirian. Memendam sendiri dan terpaku pada rintik hujan di mataku. Sedih, menuai perih ketika badai di dadaku tak mampu kuredam. Aku begitu merindukan tempat hatiku berlabuh. Tak ada dermaga sementara layarku nyaris tertelan badai. Hatiku benar-benar ingin pelukan. Bibirku kering merindukan cumbu. Ketika bahasa cinta tak lagi mampu diwakili sepanjang kalimat aku hanya ingin pelukan. Seperti halnya ombak kepada buih yang tak mampu bertahan di tepi pantai. Aku tak mampu bertahan dalam kesendirian. Memahami perasaanku yang terombang-ambing ombak. Berharap ada tepian hati kutemukan dermaga. Cintaku tak bertepi.
Malam ini kusendiri. Terjebak pada masa lalu. Hatiku terjerat waktu yang tak mau melepasku pergi. Mataku tak habis meneteskan air mata kerinduan. Sedangkan kesedihanku telah habis karenamu. Kenangan, membuatku merasa haru. Cinta menjadi cerita seutas tali yang tergantung membisu. Aku tak bisa melepaskan ingatan tentangmu. Hatiku masih bersemayam dalam. Ketika perpisahan selalu berhasil membuatku berlutut tak berdaya. Maka kenangan menjadi belati yang cukup tajam menggores masa indah menjadi kesedihan yang berkepanjangan. Di sudut kamar aku bersimpuh, memandang kosong bingkai foto yang berdebu. Antara kita pernah ada cinta. Tapi kini sudah tidak lagi. Aku tahu, semestinya hujan akan berhenti sementara hatiku selalu menangis saat teringat tentangmu. Tentangmu. Bagaimana aku menutup hatiku yang kosong, ketika namamu terukir dalam di jantungku. Rintik hujan mengalunkan dawai indah yang memetik sunyi menjadi bahasa kerinduan. Kita pernah sama, kita saling suka. Tapi cinta tak bertahan lama. Kau pun pergi, meninggalkanku dengan sejuta kenangan yang tak bisa kulupakan. Cerita mungkin mudah kusudahi, sementara perasaanku tak pernah terkubur mati. Aku selalu terluka karena cinta tak pernah kutemukan sama, selain kepadamu. Aku rindu bersamamu.
Sebab, hatiku akan tandus tanpamu ketika cerita cintaku harus berakhir. Aku ingin mengenang segala hal indah bersamamu. Karena esok takkan seindah ini, mengecap bias-bias rona bahagia. Namun kini tak mungkin lagi, katamu sudah tidak artinya. Ketika harapanku semua habis terbilang percuma. Rasa itu pernah hadir mengisi hatiku, mewarnai segala sendu dan hampa hidupku. Jangan berakhir, karena bagiku tak ada hari esok tanpamu. Satu detik saja, kurasakan detak jantungku menyebut namamu. Setiap sudut seakan membisikan kata cinta terdengar lirih. Aku ingin terasa lama, ketika tak ada yang bisa kurasa, selain cinta. Malam yang dingin, angin mulai melambai perlahan menembus kisi-kisi jendela, aku masih terdiam. Membayangkan, tak ada esok. Ketika kutahu, mentari akan terselimuti mendung sepanjang hari, lalu aku harus berlindung ketika gerimis turun. Tapi ketika hatiku bersedih, aku harus berlindung kepada siapa. Sedangkan, kau tak lagi. Memainkan lagu indah yang romantis ditemani api lilin. Menemaniku sepanjang malam, bersama kerlip bintang yang kau bilang lampu abadi. Cintaku tak boleh padam. Jangan berakhir. Aku mohon.
Aku melihatmu dari balik kaca bening. Menatapmu, penuh keraguan. Kau masih tergeletak lemas di atas ranjang. Aku tak mampu menggenggam tanganmu. Dari balik pintu mataku mencarimu, kau disana masih saja terpejam. Sudah beberapa jam yang lalu. Aku hanya duduk menunggu dan termangu. Aku tak tahu apakah cinta masih bisa dilanjutkan. Sementara detik-detik lebih berharga bagimu untuk bisa merampas waktu. Mengembalikan masa dan senyum bahagia di hari yang terlewati. Aku masih disini, menantimu. Di saat kau masih terlelap kulihat ada sendu di mataku. Tak mampu kubendung, seketika air mataku meleleh. Aku baru mendengarnya dan jantungku seakan berhenti berdetak. Apa yang bisa kulakukan selain memanjatkan doa dan merapalkan ayat-ayat untukmu. Ketika aku tak bisa menghentikan waktu. Ketika itu pula aku merasa kau akan pergi. Semakin sesaklah dadaku karena aku tak bisa lagi melihatmu, tersenyum. Aku tak bisa berbuat apa-apa. Dan kau pun tak meninggalkan sedikit pesan maupun kata terakhir untukku. Selamat jalan, sayang. Takdir memisahkan kita.
Tanganku selalu berusaha meraih ketinggian. Selalu tak sampai. Menggapai pun tak sampai. Ketika hatiku seakan terhimpit oleh dinding dan aku tak melihat cahaya. Aku terjebak pada perasaanku sendiri. Cinta tapi dipendam. Suka tapi Cuma disimpan saja. Saat aku tahu, aku tak bisa berterus terang. Bahkan, kepada langit pun aku tak berani menunjuk. Kepada siapa aku harus ungkapkan. Selain dinding-dinding kamarku yang mendengarkan rintihan bisikan hatiku lirih. Kadang merintih. Sendiri membuatku merasa tak berarti. Bukan karena aku tak punya rasa. Tapi rasa selalu menuntut balas. Maka, selama ini aku hanya tangan yang menggapai pun tak sampai. Menggapai hatimu. Apalagi menyentuhmu, lebih dari sekadar angan. menjemputmu dalam mimpi dan kubawa pergi habis semalam meneguk secawan anggur cinta. Dan aku bisa mabuk karena begitu menikmatinya. Sesaat, sadarku akan rasa. Dadaku mendadak tergagap. Akalku mendadak membekap. Arti hadirku tak selalu berikan warna dalam hidup. Di kejauhan aku melambai, tak juga sampai. Kau, hanya jendela untuk membuka mataku. Hidup, tak lebih dari jarak tak bersudut. Lelahku, menggapaimu.
Kau pikir, aku adalah persinggahan dimana kau berlabuh tanpa jejak. Sementara kau lemparkan jangkar dan tepat mengenai jantungku. Cincin yang kulihat melingkar di jari manismu, membuatku terhunus pedang dan meremukkan seluruh harapanku. Kau datang, seperti mentari tampak bercahaya. Memberikan harapan dan kehangatan yang menyinari jiwaku. Lalu kau pergi, tanpa tanda bahwa kau telah melempar janji. Di sini, aku terhenyak dengan hatiku yang terkoyak. Sementara kau tak tahu, jangkar yang kau lempar tepat di dada. Kita pernah sama menggenggam tangan saling menyapa. Bersentuhan dan bibirku melumat segala kenangan. Kau telah mempermainkan perasaanku. Kau datang di saat kau ingin jiwaku yang malang, kau pergi di saat hatiku tak lagi bisa berdiri. Lemas rasanya persendianku tanpa tulang. Seketika tubuhku lumpuh karena cinta telah mencabut jiwaku. Kosong. Kabar yang kuterima seperti tersambar angin manakala kutunggu dirimu di dermaga, membisu dengan hatiku yang kering. Aku tak tahu, kau berlabuh di hatiku karena ingin, atau sekadar menyapa. Sementara senja kian melepaskan bias jingganya. Kemudian lebur berserta permukaan laut yang berwarna keemasan memantulkan cahaya. Saat itulah, aku tahu tidak ada harapan lagi. Tidak perlu ada persinggahan lagi. Kau telah cukup membuatku jatuh, bahkan tenggelam. Di dasar hatiku, bahkan aku mati. Tak ada api kecil yang bergoyang seperti pertama kali kukenal dirimu. Kecuali, kau lemparkan cincin itu untuk melingkar di hatiku. Tapi aku tak ingin.
Kau tahu, ketika rasa nyeri dalam dadaku begitu menyesakkan dada sementara aku ingin menangis. Aku tak bisa menangis. Kepalaku kemudian serasa terbentur tanah karena pening merajaiku. Aku percaya cintaku sama. Kututup pintu, bersembunyi di bawah selimut. Sementara hatiku tak pernah bisa sembunyi. Cinta tak pernah kusesali, entah mengapa rasa sakit seperti bagian dari cerita cinta yang tak terpisahkan. Maka ketika jantungku kau hujamkan belati, aku rela. Bukan karena sakit, tapi cinta telah mencuri sadarku. Bahkan, tak pernah kutahu. Cinta akan selalu jatuh pada awalnya, kau jatuh cinta. Lantas, aku tak pernah tahu cinta akan berakhir dengan rasa sakit. Aku jatuh untuk kedua kalinya. Menahan segala kegetiran dan luka, untuk menyembuhkan diri. Bersembunyi, menutup hati. Bahkan seperti tak mengenali. Kau pun membuang muka, tidak bertegur sapa. Bahkan tak ada kabar lagi. Cinta seakan hilang bersama arti kedekatan. Siapakah yang bisa menjelaskan arti takdir bahwa kita bisa bersama. Sementara kenyataan tak pernah membuatku yakin apakah jalan kita akan tetap sama. garis orbit beredar dan mengelilingi putaran yang sama, bertemu dalam titik kordinat dan terjadi pertemuan. Maka, tak ada yang bisa mengelak dari kata berpisah selama apa pun kau berusaha menjaga diri untuk bersama. Karena cinta sebentuk rasa bukan cerita.
Harusnya aku sadar, selama ini aku hanya berlindung pada kesendirianku. Meratapi dedaunan kecil yang gugur dan jatuh. Entah mengapa, aku ragu untuk menyadari. Apakah aku diciptakan untuk berpasangan. Sementara aku sendiri. Ketika malam semakin gelap, aku tak menemukan bayangan lain selain diriku. Tersimpuh dan duduk memandang jendela. Ada bulan di sana. Seakan melambai dengan kedipan mata manja. Kapankah kutemui sang pangeran seperti dalam cerita. Ketika sebenarnya hidup tidak lagi berjalan seperti dalam cerita. Realita membuatku menatap hidup tanpa sekejap mata. Memandang, betapa aku sangat ingin dicintai. Bukan hanya setiap malam, seperti bulan. Aku ingin hatiku yang tandus kembali hijau karena embun pagi telah menitikan basah dari ujung daun setiap hari. Tapi siapa tahu, ketika pasanganku sebenarnya tak ada. Atau mungkinkah, aku sengaja diciptakan sendiri. Mati pun terkubur sendiri. Pasangan hanya ada dalam cerita kehidupan. Maka kupendam saja cinta ini menjadi kepingan cerita kosong. Ketika semua yang kuketahui tentang cinta adalah semu. Ketika rasa yang begitu menyesakkan dada pun akhirnya kusimpan sendiri. Luka dalam hati.
Terakhir kali kutatap matamu, ada bias yang tergambarkan seperti langit berubah mendung. Kemudian mataku sendu. Setelah pandanganku berbalik arah, maka kita berpisah. Seperti inikah rasanya ketika rasaku terhalang oleh alasan. Ketika cintaku harus menyerah bukan pada pilihan, tapi karena kenyataan. Aku harus terima, kau lebih memilihnya. Sungguh, rasa cintaku tak berubah benci. Akan tetapi, entah mengapa yang kurasakan adalah luka. Bukan tergores, tapi tercabik-cabik perasaanku semakin remuk dan mataku sedu sedan karena menahan tangis. Tidak ada keniscayaan selama aku tahu alasan bisa mengubah segalanya. Aku hanya menatapmu berpaling. Maka, rasa sakit adalah ketika kau menggenggam tanganya, bukan tanganku. Kau pun menyimpan hatinya, bukan hatiku. Kita masih bisa dekat, tapi hanya sedekat ini. Tak sampai masuk ke dalam hati, barangkali tempatku hanyalah beranda. Seperti aku merenda cintaku untuk membingkai permukaan hatimu. Lalu, aku hanya ranting basah setelah hujan. Aku rapuh lantaran cinta membuatku jatuh. Tak ada lagi bunga, ketika daun-daun yang kumiliki berguguran. Terhempas, jatuh ke tanah. Kau pergi. Bukan lagi kekasih. Kau begitu dekat tapi tak mampu kuraih. Bulan, seperti hujan bulan ini. Jatuh, hatiku luruh bersama musim kemarau yang berganti hujan. Mataku basah. Apakah harus kukatakan selamat tinggal kekasihku? Kau selalu kutemui, bukan menjadi belahan jiwaku lagi. Apalah arti kita begitu dekat.
Menatapmu, tersenyum. Bagiku cukup melukiskan selaksa bahagia yang menitikan haru. Ketika cinta seperti derap langkah yang membisu, sementara hatiku menjejak pada pasir gurun. Aku tak sanggup, sementara kuingin. Tanganku tak pernah singgah menyalam rindu, tapi hatiku telah jauh memasuki halaman hatimu. Mengetuk perlahan, adakah suara memanggil. Kini, dalam dekapku terdiam. Tulus cinta tak selalu memiliki. Berada di dekatmu saja, layaknya hatiku terguyur telaga. Aku mencintaimu dalam diam. Sementara hatiku selalu berbisik untuk mengungkapkan. Namun telingamu seakan jauh memisahkan resonansi bunyi menjadi bahasa kalbu yang tak terjamah makna. Kata-kata, menjadi usang. Cinta terlalu resmi diungkap dalam tiga kata. Terlalu singkat untuk diraba. Menjadi titian hati yang mengendap-endap perih dalam sukma. Aku cukup bahagia, bukan mengenangmu. Ketika dalam dekat menatapmu lekat. Mataku tenggelam. Kau tak harus tahu, pada suatu hari aku pernah sampaikan rindu. Kutitipkan seberkas cintaku, pada pintu yang terkunci rapat untuk kau buka. Menanti, bukan lantas menunggu. Berharap, tidak selamanya bertahan pada satu hati. Cinta, kau menjadi arti karena bagiku kau adalah kunci. Membuka kebahagiaanku.
Pagi yang dingin. Rintik hujan masih mengeja pagi yang basah. Sementara dalam gelap ruangan itu kudengar desah. Sebagian pikiranku masih terbungkus resah. Matamu terpejam. Kupeluk dirimu dan membenamkan kehangatan. Cinta menjadi bahasa tubuh yang menyatu dalam diam. Tak perlu ada kata-kata. Kita saling menikmati kesunyian dan bahasa resah. Jauh di dalam hatimu, kutahu ada seberkas perasaan yang menggelora. Aku sungguh merindukan, kemesraan ini.
Aku tidak mengerti, memandang kosong mata menatap jauh pandangan. Tak ada senyum, parasku datar tak membentuk cuaca. Perlahan, permukaan mata menjadi basah. Cairan bening pun terasa hangat mengalir di pipiku. Sungguh, aku masih cinta. Perasaanku tak terlukiskan tinta. Mataku seperti langit berubah merah. Dadaku terguncang karena deburan ombak terlalu kuat menabrak tepi mataku. Kau tahu, begitu sakit. Seperti sia-sia. Karena tiba-tiba saja seseorang bisa melupakan cinta. Seperti hujan, mataku menurunkan gerimis. Apakah aku bisa percaya, suatu saat cinta menjadi luka. Dan aku menangis karenanya. Apa yang salah, ketika akhirnya kau pun menyerah. Tak perlu lagi alasan jika kau akhirnya merasa bosan. Apakah masih ada harapan, aku tak tahu. Karena rasa sakit itu seperti bertepuk tanpa tangan. Menjadikan kekecewaan sebagai akhir dari cerita yang tak pernah usai. Semalam, kau pun selalu diam. Aku bertanya baru kau bersuara. Kau tampak dingin, atau mungkin tak ingin. Setelah percakapan itu berakhir yang tersisa hanya senyap karena tak ada lagi suara di seberang sana, hening. Kepalaku pening, aku berusaha menyapamu. Mengungkapkan rasa rindu yang terjebak pada jarak. Tapi kau seakan ingin segera mengakhirinya. Aku tak mengerti, bagaimana cinta menjadi solusi.
Malam ini terasa perlahan gerimis turun membasahi bumi. Tetesan hujan itu kemudian menerpa hatiku. Dingin. Sesaat, pikiranku tersesat pada labirin tak menentu. Meresapi kegelisahan yang selalu datang menyapa. Lalu kunikmati kerinduan itu menjadi bayangan yang tampak nyata di dalam mimpi. Sungguh, saat terbangun memimpikanmu. Aku tak berdaya, kau begitu dekat seperti sangat menginginkanku. Lagi-lagi aku harus kecewa, Cuma sekadar mimpi. Apakah cinta adalah ilusi. Seperti bentuk imajinasi. Menghabiskan malam menantikan detik-detik berguguran hingga waktu cepat berlalu. Sehingga tak perlu ada tangis memecah kesunyian. Aku akan selalu memelukmu di kala rindu. Tak perlu ada orang lain. Menantikanmu datang merapat dan menatapmu lekat. Bulan seperti berkisah tentang cinta yang terbingkai indah saat temaram. Menyalakan kehangatan di antara api lilin yang bergoyang. Cinta adalah perasaan hati. Tak sekadar bertemu dalam wujud nyata. Cinta bahkan tumbuh di dalam hati, di dalam pikiranku. Mencintaimu tak sekadar bertemu raga. Tapi hatimu membuatku percaya bahwa kau akan selalu hadir di saat mataku terpejam, selalu. Hatiku terpaut olehmu. Aku hanya ingin mencintaimu seorang, untuk terakhir kalinya.
Aku selalu suka hujan dan mendung, seperti duka yang berkabung. Abu-abu hati seperti tersiram warna tanah. Kesedihan menjadi gerimis yang tak terdengar bisikan petir. Ada getir. Tapi hujan tak datang lagi. Kulihat hanya mendung menggantung di langit. Maka kulihat air mata pun menggantung di sana. Seketika gemuruh awan menjadi terdengar mengerikan. Aku ingin kau datang tak sekadar mimpi. Jika pun hatimu telah jauh pergi, aku tak bisa mengelak masih mengharapkanmu datang. Memelukku dalam dekapan kehangatan. Sehingga aku tak perlu cemburu, pada udara yang bisa masuk dalam dirimu. Merasuk ke dalam jiwamu. Entah, apakah namaku masih terukir di sana. Aku tak pernah tahu, karena cinta semakin tak nyata.
Apalah arti cinta jika berakhir tak bersama. Ketika kau hanya mampu menatapnya bersanding dengan orang lain. Melihatnya tersenyum bukan kepadamu melainkan kepadanya sambil merajuk manja. Kau hanya bisa tulus, bukan karena tak percaya. Tapi takdir terkadang tak berpihak padamu. Mungkin, tidak ada lagi yang tersisa. Kau hanya mampu mengusap pipimu karena basah saat terbangun memimpikannya. Sungguh, rasa sakit itu bukan karena dia tak lagi cinta padamu. Tetapi ketika cinta seperti tak ada artinya lagi. Dan kau sama sekali tak bisa membayangkan cinta yang lain. Cintamu yang hilang takkan terganti cinta yang sama. Bertemu orang lain, tak mampu sembuhkan luka. Barangkali hanya menutupi kenangan atau sekedar mengalihkan rasa sakit yang suatu saat akan terbuka kembali. Bahkan, di saat-saat mimpi yang tak pernah bisa kau kendalikan. Dia hadir, bahkan masih seperti cinta. Maka saat itu yang ada hanya duka yang mengalir seperti hujan di tengah terik mentari. Aku selalu memimpikanmu.
Akhirnya, aku mengerti. Apa yang ada di pikiranmu saat ini. Aku tahu, ketika raga tak lagi bersama. Hati saling bertaut tapi jarak begitu terbentang memisahkan kita. Ketika yang kau inginkan adalah ragaku, sementara aku hanya bisa menatap bulan. Entah, sampai kapan aku bisa sampai ke bulan. Apakah aku telah merasa lelah karena kerinduan yang menyiksa. Ketika kau mungkin punya rasa terhadap orang lain. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kupasrahkan saja semua pada waktu. Bagaimana cinta menguatkanku. Aku percaya sepenuhnya, padamu. Aku selalu memikirkanmu, di antara mimpi-mimpi yang terlelap ketika malam. Berharap hatimu tak berubah. Untukku.
Kapan terakhir kali kau merasa bahagia karena cinta. Bahagia dengan luapan perasaan tak tertuliskan. Bahkan tak mampu terjamah kata-kata. Saat itulah kau merasa, betapa berharganya dicintai. Menjadikan gelap malam penuh bintang. Sekelumit masalah menerpa kemudian lenyap dari pandangan mata. Hidup terasa ringan. Tapi seketika kau rasakan jatuh. Bahkan saat perasaanmu masih penuh dengan bunga. Seketika bunga-bunga kering lantas mati. Bukan saja layu tapi juga sendu. Bahkan bunga pun butuh cinta. Maka apakah hatimu kering karena cinta telah hilang. Sementara kemudian hatimu terkunci karena tak kau temukan cinta yang sama.
Hatiku berbunga. Ketika kusapa dirimu dan kau sambut tawa lepas dan berhasil merampas keresahanku. Kutahu, dengan suaramu saja. Bahkan seketika langit pun menyala. Aku senang sekali. Karena bukan saja harapan yang membuatku tegak berdiri. Senyummu, dalam mimpiku. Bukan sekadar maya, mimpi bukan sekadar janji. Mungkin sekeping cerita menjadi sajian hangat di pagi hari melepas rindu dan sendu. Aku suka walaupun hanya sekejap masa. Berbagi kisah saat mentari sedang tersenyum menari-nari. Aku suka, ketika dirimu bahagia. Selalu berharap begitu. Bahkan jika saat terpisah nanti, kudengar kau bahagia. Bisa-bisa aku menitikan mata haru. Arti dari cinta tak harus memiliki. Ternyata, aku masih memilikimu. Di hatiku, kau selalu ada. Merasakan betapa kebahagiaan terlepas dari arti bersama, di antara air mataku yang jatuh. Bersembunyi dari kesedihan.
Secepat itukah rasa cinta itu pergi, ketika aku masih berdiri menanti. Sedangkan semalam aku masih memimpikanmu. Secepat itukah rasa sayang itu hilang, ketika sampai detik ini pun wajahmu masih terbayang. Aku pun tak mengerti. Ketika garis lurus bertemu pada satu titik dan aku berusaha untuk menjauh, pada titik lain aku pasti bertemu denganmu. Bagaimana kalau kau tak ingin. Rasa galau kembali menghampiri. Sesaat, cinta pun berjarak. Memandang jauh bintang bekerlipan indah, tapi selamanya tak kan pernah kuraih. Kau indah disana, sedangkan hatiku di sini. Bahkan, kenangan pun tak sanggup mengembalikannya. Cinta kemudian perlahan pergi. Tapi bintang tetap indah disana. Biarlah, ketika cinta pergi sekalipun. Masih ada cerita bintang jatuh. Aku mencintaimu, entah sampai kapan. Atau haruskah kukubur untuk selamanya. Bersama jasadku dan perasaanku. Kau menjadi begitu diam, bukan lagi tak mesra. Kau pun tak bertanya. Ternyata, apa yang selama ini kutakuti benar. Cinta akan berakhir dengan kehilangan yang tak terelakkan. Meski, perasaanku masih sangat mencintainya.
Barangkali cinta tak seharusnya ada. Ketika rasaku tak menemukan tepian lagi karena hatiku jatuh berserakan pecah hingga berkeping. Mencintaimu tak terukur masa dan waktu. Kurindu, memandang bingkai parasmu yang lucu sambil tersenyum menatap manja padaku. Malam itu, aku benar-benar tak bisa menahan bendungan air di mataku. Karena tiba-tiba mataku meleleh. Air pun menerjang dan dadaku terguncang. Hatiku sakit karena kelemahanku. Tak pernah bisa lepas darimu. Apakah kenangan menjadi tak berarti lagi di kemudian hari. Sementara selalu ada perasaanmu di setiap benda-benda. Di setiap mimpi-mimpi. Maka di setiap gambar dirimu, aku selalu ingin. Memelukmu dari belakang. Sesaat hembusan nafasmu tertahan karena kudengar isak tangis. Dan pelukanmu merenggang karena tak rela. Matamu basah. Aku tahu bukan saja matamu, hatimu pun menangis. Karena kita tak pernah rela cinta menyakiti. Sedang aku masih cinta.
Mengapa, kau tak semesra dahulu memelukku karena ingin. Ketika kau berbisik karena cinta. Dan hembusan nafasmu terasa mengalir di dada. Aku ragu, ketika kebisuan ini menjelma resah dan gelisah. Tak ada yang bisa mengobati selain kerinduan yang bertemu karena harap. Lalu aku memelukmu karena dingin. mencumbumu karena bunga telah merekah merebakkan wangi nan candu. Alunan rindu menjadi syahdu. Aku ingin. Karena semalam mendung kembali datang karena kau tak juga membalas kerinduanku. Sementara buah ranum di pucuk randu. Aku bisa sangat menangis karena pesanku tak terbalas. Ketika hasratku tak bertemu puas. Ketika sebagian ragaku terlepas. Dan perasaanku diliputi kegalauan yang terlalu. Bahwa sampai detik ini aku masih berusaha. Untuk bisa berdiri pada satu keyakinan. Cinta selalu mengobati. Meski rindu semacam pisau belati yang mampu menusukku. Hingga berdarah.
Saat kau tahu bahwa hidupmu tinggal sejengkal tangan, menyadari bahwa hidup tak lepas dari kesalahan. Ketika kau rasa rindu juga berlaku sama seperti luka. Ketika daun diterbangkan angin pun terhempas jatuh, begitu juga perasaanku. Ketika hatiku ini kuserahkan padamu. Segala yang kuketahui adalah tentangmu. Kebahagianku adalah senyum terindahmu. Aku seperti tak punya waktu lagi. Sikapmu berubah, aku pun bersedih. Entah, kenapa cinta tak membawaku pada ketenangan. Sementara resah dan gelisah selalu mengganggu. Kupikir cinta tak akan pernah luluh. Tapi rasanya hatiku mencair manakala kau pun menemukan tautan yang lain. Tak kuasa kubendung rasa sedih ini menjadi luapan sungai yang membanjir diantara sisinya, aku masih sayang.
Getir hati yang teriris karena pedih sementara turun perlahan gerimis, malamku kini kembali ranum bersama segelas resahku yang mengepulkan kerinduan. Di antara purnama dan selimut hitam di angkasa, aku bisa melihat binar matamu yang memudar. Kemudian perlahan-lahan lenyap. Meresap ke dalam ronngga-rongga perih hati yang terbalut luka. Cintamu adalah pujaan, seperti perhiasan. Kau begitu berharga, melebihi kata berarti. Kemudian mengalun nada-nada sendu dari bias permukaan mataku. Mengalir lagu kesedihan. Rintik-rintik hujan seakan bercengkerama sangat akrab melewati percakapan mesra, berbincang mengenai romantika cinta. Menangis, memiliki sejuta arti. Sedih, melewati jutaan rasa pelik yang menguras hati. Kini, dalam sendiri kuharap. Dalam sepi kudekap. Sisa cinta yang masih tersisa di antara puing-puing runtuhnya keyakinanku, di antara kepingan-kepingan rindu yang pecah. Aku memintal sebagian benang asmara untuk selalu terkait denganmu, membentuk lembaran kisah cinta selembut sutra. Kemudian kuselimuti dirimu penuh kehangatan. Kepada segelas resah yang basah karena tercampur gerimis. Aku ingin dicinta.