Sebaris air yang menetes dari
embun di kaca, aku mengamati lampu-lampu kota yang mulai padam. Bahkan, aku tak
pernah tahu kenapa bisa berada di sini. Menunggumu tak pasti. Haruskah aku
mengurai rasa sakit ini seorang diri dan meneguknya perlahan hingga habis. Sementara
kamu bersembunyi dan tak pernah muncul lagi, seakan aku hanya tempatmu berlari.
Tempat menyampaikan keluh kesahmu selama ini. Harusnya aku sadar, kamu tak
pernah mau berjanji agar aku tak pernah menanti. Nyatanya, aku selalu
menunggumu, meski tak pernah kau anggap peduli.
Gerimis akhirnya mereda, saat aku
merasa telah menunggu terlalu lama. Menanti kehadiranmu setelah habis secangkir
kopi dan menanti balasan pesanku. Tahukah kamu, aku telah membatalkan janji
untuk bertemu denganmu dan memberanikan diri bersembunyi dari keresahanku. Bersembunyi
dari degup jantung yang tak kumengerti, bersembunyi dari luka yang mungkin
telah kulupakan. Adakah kamu mengerti, aku menunggumu untuk kali terakhir. Sebelum
aku menyadari, bahwa kamu memang tak seharusnya kutunggu. Seperti kabar yang
tak pernah jelas, simpang-siur. Adakah perasaanmu layaknya kabar burung?