Mungkin, tak mudah bagimu memaafkanku. Karena sakit yang menorehkan luka bahkan merobek kalbu. Tak sekadar luka tapi juga kepiluan hati yang mendera. Lantaran kau merasakan pedih yang melanda tersiram air cuka. Hatimu gelap. Maaf pun tak tersedia. Bahkan penuh syarat. Atau bisa jadi ditunda. Tak mudah karena ketulusan tak lagi singgah dihatimu. Kebencian adalah jeruji yang mengekangmu dari ikhlas mengampuni. Butuh lebih dari sekadar permohonan maaf sepenuh hati. Ada harga yang harus dibayar. Ada dendam yang harus terbalas. Manakah diantara kebencian yang mampu hilang selama emosi menguasaimu. Hanya nuranimu barangkali bisa membebaskan, dari belenggu rasa enggan untuk memberi. Rasa legawa dan lapang dada. Menyerahkan rasa sakit pada keikhlasan. Berhenti mengedapankan emosi dan membiarkan jiwa bebas pada kesucian. Bahkan kau menumpahkan segala tangis untuk membayar kesedihan. Untuk meredam kekecewaan. Tapi maaf tak pernah bisa ditawar untuk bisa terbayar. Hanya cinta dan ketulusan hati yang mampu berikan rasa ikhlas tanpa berharap untuk terbalas. Rasa sakit, masa lalu. Kebencian tak akan mendatangkan jiwa dan mengekalkan hati pada kedamaian. Berilah aku cinta. Maafkan aku. Maka kucintaimu dengan ikhlas.
Daun cemara tua kecoklatan akan tertiup angin lalu jatuh terkulai dan luruh ke tanah. Hati siapa pun akan terhempas dan menahan perih. Ada kebencian dan dendam. Tapi ada cinta yang sejuk dan sebening embun pagi. Aku tahu, nuranimu masih luas sejauh langit terbentang. Aku menggenggam erat tanganmu, dengan harap dan getir. Ada lega dan bias haru menitik air mata yang menggantung di ujung. Memelukmu. Meminta dekap yang hangat. Matamu pun berkedip karena aku segera mengecupmu. Mengetuk hatimu. Rasa sayang begitu indah. Aku pun tak kuasa, dengan penuh rasa syukur. Bersamamu, meniti hari dengan penuh asmara. Lembaran hari berganti dan waktu terlambat untuk berhenti. Di antara masa yang terlewati, tak perlu ada penyesalan. Mohon maaf lahir dan bathin. kembali hati menjadi suci menjelang masa depan yang dinanti.
Kau telah permainkan resah dan gelisahku. Ketika rasa harap tak lagi berpangkal pada kenyataan. Menunggu detik-detik yang terasa kabur, jembatan kita telah roboh. Kita masih melihat langit yang sama, sekalipun semalam sempat padam. Masih kulihat bintang menebarkan cinta dan kemilaunya. Seperti pasir putih yang kau simpan dalam botol, maka terpaan cahaya memantulkan bias dan terbitlah pelangi. Dimanakah senja kini, jika yang ada hanya kesendirian. Deru nafas bisa kudengar sendiri. Tak ada lagi riak tawa seperti deru ombak yang menyusul. Hatiku membisu lantaran perasaanku telah membeku. Menatap kosong sejauh mata memandang, tak ada lagi kedamaian. Hatiku selaksa air yang berjelaga kemudian turun menderas, bermuara pada hulu mendambakan ketenangan. Jika kau mampu meredam ombak maka peluklah diriku sesejuk angin sore. Lalu kau boleh tumbuh dimana pun, karena hatiku siap untuk kau tanam, lalu kujadikan taman seperti syurga. Aku menginginkanmu, sayang
Kita masih bisa mengerti ketika bahasa hati kita berbicara. Ketika aku masih bisa mengungkapkan isi hatiku dalam bentuk bahasa. Kau pun bisa menerjemahkan perasaanmu dengan bingkai kata-kata. Sebenarnya hati kita masih sama. perasaanku masih ingin bersama tak sekadar ingin. Kau lebih sekadar cantik untuk kucintai karena kau adalah sesuatu yang sangat berarti bagiku lebih dari sekadar kumiliki untuk selamanya. Bayang wajahmu tak hanya menghiasi ruang kamarku, lebih dari itu bayang-bayang parasmu memenuhi ruang hatiku. Kau jaga selalu hatiku, menuntun jalan ketika terjal dan berliku karena jurang. Kuserahkan semuanya pada waktu apakah cinta bisa kadaluarsa. Apakah semua tentang cinta adalah cerita tanpa sebentuk realita. Garis tangan telah menunjukan bahwa di matamu bisa kulihat permukaan air yang tenang.
Aku baru tahu, semua kenangan itu tak berarti apa-apa. Semakin kusimpan semakin kugenggam duri. Sakit. Cinta tak bisa menyelamatkanku. Ketika cerita indah itu terhapus begitu saja karena hubungan kita terputus. Aku hanya memandang kosong, mungkin kebahagiaan itu ada saat kita benar-benar merasakan cinta. Ketika cinta itu hilang, kenangan, cerita indah tak lebih dari sekadar bara api yang tak bisa lama disimpan. Kau dengan mudahnya menghapus semuanya. Sementara aku dilanda kegelisahan karena masih terlalu mencintaimu. Semakin kucoba untuk melepasmu semakin aku tahu lebih dekat dengan rasa sakit. Rasa kecewa, lalu dilema. Apa arti kesetiaan jika tak mampu membuatku bertahan, cinta pun hilang karena yang kumiliki hanya sekali. Kau hempaskan aku seperti itu, pecah berkeping-keping. Butuh waktu untuk menata ulang kembali serpihan pecahan-pecahan untuk membentuk bingkai hati yang utuh, siapa tahu ada bagian kecil yang hilang. Aku tak bisa berbuat apa-apa.
Sedekat ini hatiku tak berdetak karena aku tak sanggup mengelak. Ketika kau mulai ragu dan aku tak bisa meyakinkanmu lagi. Cinta adalah secawan anggur yang memabukkan, kemudian kau bagi seteguk denganku. Kita dimabuk asmara. Aku pun menggenggam tanganmu erat, seperti hatiku yang berhasil kau jerat. Aku yang termangu telah terjebak candu sementara hatiku terselimuti samudera rindu. Cinta membiarkanku tenggelam, tak pernah ada kesempatan untuk terpejam. Mimpi hanya sekadar ilusi. Hidup tak lebih dari rangkaian cerita tentang cinta. Bahkan bisa berakhir tragis tanpa henti untuk menumpahkan tangis. Rela ketika sang kekasih harus pergi sementara hatimu hancur karena pikirnmu kehilangan kendali. Romantika hidup. Ada kisah, seperti ciuman panjang tanpa jeda sambil matamu terpejam. Ada gelora dan hasrat untuk hidup bersama tak pernah sama dengan jalan realita. Biarkan ini semua terjadi, memandang sekelilingmu bahkan pernah kau salahkan pencipta. Dimanakah diantara cinta yang ada mampu bertahan abadi. Ketika perasaanmu membutuhkan sandaran bahwa hati tak pernah percaya pada jarak, tapi lebih percaya pada kedekatan. Pada cinta. Ada hati yang patah, ketika kau tak mampu lagi mengarungi samudera. Aku tak berani bersumpah. Cinta bukanlah segalanya. Karena hidup bukan saja tentang cinta, tapi tentangmu sayang.
Aku disini, dia disana. Sebelumnya dia bilang padaku, ingin datang padaku. Aku yang memintanya datang. Karena aku ingin memberikan sesuatu padanya. Sebenarnya aku pun tahu, dia berhalangan. Ada acara yang tak bisa ditinggalkan. Dari situ, menyulut kekesalanku. Aku biarkan dia bertanya-tanya. Aku biarkan dia cemas. Aku biarkan dia khawatir. Awalnya kukira dia batalkan pergi. Karena aku tahu acara itu penting baginya. Tapi selain itu aku tak tahu apakah dia benar-benar membatalkan datang acara karenaku. Karena kesalahanku. Dan semua itu terjadi begitu cepat. Aku tak menyangka. Dia pun pergi, membatalkan janji dan hendak menemuiku. Lantas, di perjalanan. Ketika hujan lebat mengguyur dan jalan basah. Terjadilah kecelakaan. Saat kudengar kabar, hatiku runtuh. Tubuhku jatuh. Aku tak berdaya, dan aku benar-benar tak sanggup. Aku harusnya tak memaksakannya datang. Berita itu baru kudengar sedikit terlambat, dari seorang yang berusaha menyelamatkanya di jalan. Dan aku tak memiliki kesempatan lagi melihatnya untuk terakhir kalinya. Karena dia telah meninggal. Aku tak sanggup berbicara. Aku tak sanggup. Selama berhari-hari aku tak sadarkan diri. Selama berhari-hari hidupku tak normal kembali. Aku kehilangan kesadaranku. Aku kehilangan separuh jiwaku. Tidak ada yang lebih sakit dari penyesalan ini karena telah membuatmu pergi. Aku tak pernah bisa berhenti menangis, karena rasa bersalah. Betapa tidak, ketika itu aku memang kesal padanya, namun tak sepantasnya aku begitu. Aku tahu, aku terlambat untuk menyadarinya dan menyesal sejadi-jadinya setelah semuanya terjadi. Orang yang kusayang, akhirnya pergi. Tanpa pamit. Untuk selamanya. Butiran bening itu menjadi banjir yang melanda dan membasahi pipi. Aku tidak bisa menebusnya dengan apa pun. Aku Cuma bisa berdoa sambil berlinang air mata, orang yang kucintai telah pergi sebelum benar-benar datang. Aku telah membuatnya pergi di saat aku benar-benar menginginkannya datang. Maafkan aku sayang. Aku selalu mencintaimu.
Bunyi denting terasa di telingaku, kau pun berbisik. Semalam, kau begitu mesra. Aku pun suka. Tawa yang terlepas dari jeruji beban dan nestapa, menggelegak canda. Kau pun mengelus-elus penuh kelembutan. Cinta, bisa berbagi. Ada kehangatan. Kau pun semakin ranum. Aku ingin sekali menggigitmu lalu menikmatinya. Senyawa yang basah, kemudian melekat karena tubuh kita merapat menyatukan gemuruh yang tak tertahan. Kau terpejam karena pulas sementara matamu tertutup karena aku tak lepas memandangimu, terpesona. Ada bias tak terurai, semacam rasa bahagia. Rona yang tak pudar di atas selilokui. Pelangi karena jingga. Bahagia karena cinta. Setiap sudut tak menyisakan celah. Jika ini adalah bagian cerita. Aku ingin menjadi bagian akhir yang bahagia. Siapa tak menyangka, semua jalan cerita tak pernah pasti berhenti di titik mana. Sementara kau belum siap menerima kenyatan berbeda. Aku hanya bisa memandang sambil menyunggingkan senyum, diantara kekecewan masih ada harapan. Penantian tak pernah tiba pada kata terserah. Aku adalah milikmu.
Kau tahu, aku tak pernah meminta untuk dilahirkan. Aku tak pernah diberi kesempatan untuk memilih. Dimana aku dilahirkan. Maka, setelah sekian lama hidup. Tentu aku ingin segera mati. Berapa banyak orang sakit hati, merasa terbuang dan percuma. Sekian banyak perasaan terhempaskan takdir. Begitu banyak pasangan pecah dan bercerai. Tak ada yang bisa menyatukan kedua insan kecuali pertemuan. Pun berakhir dengan perpisahan yang tak terelakkan. Dimana cinta, adakah bisa membuat semuanya menjadi bersatu kembali. Ketika dunia menjadi arena sandiwara dan perasaan dengan mudah dipermainkan, diperankan. Hatiku jatuh, kutemukan seonggok kesedihan menggantung di suatu malam, tetesan air mata yang tak terdengar jatuh. Kau pun tahu, berapa banyak kesedihan dan tangis menggema tak pernah terdengar kecuali sayup-sayup angin yang mulai merenda tabir kerinduan menjadi peredam rasa sakit dan kecewa. Disini, aku tak tahu. Bagaimana menghentikan pergantian waktu, semua bergilir dan berputar. Kau campakan aku. Tega. Aku hanya bisa berbincang dengan hatiku, semacam berbisik. Lalu terdengar lirih dan menyentuh. Air mata pun mengalir karena kesendirian. Kenangan menjadi duri yang merobek hati. Ingatan akan kisah yang indah menjadi perih untuk dinikmati, terlalu terluka. Untuk apa, lebih baik dilupakan. Akan tetapi semakin kau paksa diriku lenyap dari ingatanmu, hatiku telah bersemayam lama. Kau tak pernah menemukan tempat, kecuali mati. Ragaku terpasung luka akan cinta yang telah membunuhku, perlahan.
Kalau suatu saat aku merasa lelah. Merasa semuanya tidak bisa bertahan lebih lama lagi. Tak ada jalan dan kulihat hanya kegelapan di sepanjang jalan. Aku pun merasa lelah membahas cinta. Ketika cinta tak mampu berjalan searah dengan takdirku. Aku tak tahu harus berkata apa. Apa aku bisa mengucapkan sepatah kata lagi tentang cinta. Bahkan hanya sekadar mengeja. Aku tak yakin bisa meraba ataupun menyentuhnya. Apa aku akan melupakanmu, atau bisa mengusirnya dari ingatanku. Aku tak begitu yakin. Ketika aku menyerah dan kau menjadi orang lain. Mungkin semua tampak tidak menarik lagi bagiku. Tidak ada aroma yang membangkitkan gairahku, seperti peluh yang menempel tubuh. Aku kehilangan energiku. Seperti kehilangan daya untuk menyalakan lampu, atau listik untuk membangkitkan kota. Mendadak langit padam dan kota menjadi mati. Gelap. Mungkin pikiranku kalut dan tampak suram. Mukaku berubah muram dan aku semakin tenggelam. Entah, tidak ada kerinduan dan kehangatan pagi. Atau seperti kehabisan mimpi dan setiap malam hanya terlihat gelap. Tak ada riak tawa dan senyum mengembang yang terbentuk karena bibirku menjadi datar seperti garis lurus horisontal. Mataku pun sendu seperti sembab karena terlalu banyak membendung air. Bahkan, air mataku menyurut dan dangkal seperti air laut tertelan bumi. Kemudian tidak ada jabat tangan ombak kepada pasir memberi salam. Tak kecupan hangat dan lambaian tangan. Kehidupan seperti daun yang tertiup angin, bergoyang dan jatuh. Terbuang, kemudian terhempas. Entah, siapa yang akan memungut dan menyimpannya. Atau sekedar jatuh dan terlupakan. Seperti sebuah surat yang diantarkan ke tengah lautan tanpa alamat. Sisa hidup mudah terombang-ambing, timbul lalu tenggelam. Aku tak mau itu terjadi.
Tiba-tiba, aku ingin sekali mati. Lelah, untuk bertahan pada suatu arti yang tak bisa kuyakini. Semua cerita indah hanya bisa kusaksikan dalam cerita film, atau cerita indah romantika dalam novel. Atau bahkan bualan-bualan penyair yang merayu hingga mendayu-dayu. Hidup tak seperti itu. Kenyataan membuatku berdiri pada satu titik dalam waktu yang sama. tidak ada yang menarik. Selebihnya konflik. Atau Cuma intrik. Hidup penuh kepalsuan. Fana. Tak ada keabadian. Petunjuk selalu mengarah pada benar dan salah. Kemudian berkilah. Setiap orang percaya pada kebohongan, pada cerita. Tidak ada yang percaya. Semuanya tenggelam pada dunia maya. Dunia nyata tampak semu dan membosankan. Aku tak bisa mengisi kepalaku lagi dengan hal-hal lain. Penuh sandiwara. Kepribadian pun kini menjadi ganda. Terkadang seseorang bisa menyulap dirinya menjadi sangat baik dan memesona. Terlihat cantik dan menawan. Tidak ada ketulusan dan kemurnian. Semuanya mencari nilai. Ada materi. Bahkan berlomba-lomba meraih kesempurnaan. Setelah semua yang kau peroleh dalam pencapaian hidupmu, lantas apa lagi. Kemudian kau bangga-banggakan. Mendadak kau bisa menertawakanku karena mengganggap tidak sepadan. Lemah. Tidakkah kau ingat perbincangan kita tentang kematian, kelamu. Keranda dan kain putih yang mengantarkan kita pada keabadian. Ketika kehidupan hanya sebentuk perwujudan. Sebenaranya tidak ada kematian. Mati untuk hidup. Siklus reinkarnasi. Ketika manusia hidup setelah dibangkitkan. Dan bersama-sama satu sama lain tidak perlu saling mengenal. Tidak ada kekecewaan. Tidak ada dendam. Tidak ada permusukan. Damai. Kenapa pada akahirnya manusia saling mengenal kemudian bermusuhan. Kenapa pada akhirnya semua ajaran baik malah membuat manusia saling menyalahkan. Kenapa pada akhirnya semua kekayaan membuat manusia saling menjatuhkan. Aku jadi lupa. Bahwa sebenarnya aku hanya ingin mati. Tidak perlu membahas cinta. Kerena sebenarnya tidak ada cinta sejati. Cinta ada sebentuk tumbuhan. Bisa kau tanam dimana saja, asal bisa tumbuh. Maka cinta tumbuh layaknya benih yang menemukan unsur hara dalam tanah. Bahkan bisa mendua. Bercabang. Selingkuh. Kehidupan manusia tanpa cinta seperti kehidupan tanpa tumbuhan. Kering. Tak ada makanan. Mati. Kau menikah, lalu bercerai. Jodoh, siapa tahu. Aku dan kau sering mempertanyakannya. Tak cukup dalil menguaknya menjadi jawaban. Tak cukup bukti. Jodoh bisa bertemu di syurga. Setelah aku mati. Kau pun tak perlu tahu. Dimana aku dikuburkan. Tak perlu kau datangi makamku. Kau boleh mendoakanku, tidak juga tidak apa-apa. Biarkan aku istirahat dengan tenang. Aku bisa melihatmu dari jauh. Kau mungkin tak percaya. Sejauh apa pun kau mengenalku, kau tak lebih mengenaliku daripada mengenali dirimu sendiri. Kau bisa melanjutkan hidupmu. Aku juga.
Saat mataku terpejam. Lalu kubuka dan kulihat seluruhnya adalah hitam. Saat itu aku sadar. Aku buta. Aku buta karena aku tak melihat kebaikanmu. Aku buta karena aku tak memandang sosok indahmu. Aku buta karena aku terlalu mencintaimu. Aku buta karena aku tak berhenti merindukanmu. Aku buta karena aku bertahan dengan cinta. Aku buta karena aku tak lagi bisa membedakan realita. Aku buta karena bukan saja mataku, tapi juga hatiku. Aku tak bisa berdiri dan menuntun jalanku sendiri. Akalku hilang dan kesadaranku tak kembali. Kau telah merebut segalanya. Bukan saja mataku, hatiku dan pikiranku. Kau mencuri hidupku. Dawai-dawai nada terputus karena gerimis perlahan berhenti dan ritme hujan tak terdengar lagi. Di sudut kursi aku terduduk sendiri. Memikirkanmu. Kau tak pernah ada. Kau bagiku cahaya. Tanpamu tak ada yang lebih berarti. Cahaya menemukan segala keindahan karena pertemuan berbagai warna. Ketika cahaya padam, aku lebih dari sekadar buta. Aku tak menemukan terang. Aku tak menemukan surya. Aku bisa terjatuh dan menabrak apa saja. Bisakah kau kembalikan semuanya padaku. Aku mohon. Karena tidak mungkin kutemukan cinta yang lain. Kau telah merampasnya dariku. Kau berjanji untuk menyimpannya sementara di belakangku kau berdusta. Karena cintaku yang kupunya hanya satu. Tak pernah terbagi.