Menahan getir, membuang rasa khawatir memikirkanmu. Meski,
hujan belum reda. Aku masih menunggumu di bawah payung merah di sudut kantin
sebelah gerobak bakso. Iya, bakso kesukaan kamu. Setiap kali musim hujan, kita
akan betah berlama-lama menikmati daging bulat yang empuk itu. Meski dingin,
bersebelahan denganmu terasa hangat. Pernah, suatu kali kamu kesal karena
semangkok bakso yang telah dipesan tidak ada kucainya. Kamu suka sayuran, aku
suka daging. Kita jelas berbeda tapi bersatu dalam mangkuk yang sama.
Tukang bakso itu adalah kenangan. Sesendok teh sambel bisa
membuatku kepedesan, berkeringat dingin. Kamu tertawa melihat ekspresi mukaku
yang merah padam. Bahkan, cerita romantis kita ada di tukang bakso. Kamu pernah
menitipkan surat ketika tukang bakso lagi mencacah sawi sebelum dicampurkan ke
dalam kuali yang panas. Surat itu aku ambil sepulang dari sekolah begitu
memesan satu porsi dibungkus.
Kamu, lebih menikmati bakso selagi hujan. Kupikir, apa
bedanya? Aku lebih menikmati semangkok bakso ketika bersamamu. Meski aku
membeli baksonya saja, tanpa kuah dan sayur. Kemudian seperti anak kecil, aku
membeli biji baso yang kecil ditusuk ke lidil. Tukang bakso punya resep sendiri
ketika memberi bumbu sate bakso milikku. Biar tidak terasa pedas, mang bakso
memberikan lada. Lalu dguyur kecap manis dan sedikit air cuka.
Apa yang kamu pikirkan dengan semangkuk bakso. Ketika mang
bakso sibuk melayani pembeli lalu aku menunggu giliran sambil menantikan
kedatanganmu. Semangkok bakso lebih dari sekadar kenangan untuk memikirkanmu.
Hujan belum reda, tukang bakso pun sibuk mengaduk-aduk
kuali. Biasanya, kamu memesan semangkok bakso bening tanpa sayur dan bihun. Kamu
menyebutnya bakso polos. Aku lebih suka menyebutnya bakso kesepian. Hanya biji
baso berendam di kuah bening tanpa kecap maupun sambel. Hanya sedikit terasa
asin dan gurih berkat taburan bawang goreng.
Saat itu, kamu mengomentari gambar ayam di mangkok yang tak
pernah berkokok. Padahal, dia sendiri dan selalu kesepian. Kataku, mereka tak
pernah kesepian karena selalu ditemani tukang bakso. Bahkan, sampai sekarang kamu
tak pernah mau menyebut nama tukang bakso itu. Kita hanya menyebutnya, Mang
Bakso. Selain karena tipikal mukanya yang bulat, sikapnya pun sehangat kuahnya.
Aku pun kurang lebih banyak memiliki kemiripan dengannya.
Menantikan hujan reda berdiri di sebelah gerobak bakso,
jelas membangkitkan kemesraan kita saat berlari menghindari hujan. Berdiam diri
menunggu jemputan sambil duduk memesan semangkok bakso. Bahkan, pernah suatu
hari kita berbagi bakso dalam satu mangkok. Itu rasanya lebih romantis saat aku
menikmati bihun di salah satu ujungnya, dan kamu menyeruput ujung bihun
lainnnya. Mata kita bertemu dan berkedip-kedip karena asap bening panas kuah
bakso. Lalu, kita tertawa. Tertawa bahagia.
Caramu memakan bakso, kedipan matamu saat menahan panas
sebelum sesuap kuah bakso masuk ke dalam mulut. Membuatku merinding
mengenangmu. Biasanya, ketika musim hujan kamu lebih rela basah karena tak
sempat berteduh untuk mengejar tukang bakso sebelum pergi. Tukang bakso favorit
kita akan berkeliling jika jam sekolah habis.
Tapi, perasaanku tak pernah habis. Semangkok bakso bisa jadi
cara bagiku untuk mengekalkan bayangmu dalam kerinduanku.
Ada saat merindukanmu begitu menyenangkan sambil menunggu
hujan reda di sebelah gerobak tukang bakso, sambil membayangkan kehadiranmu. Lantas
aku tersenyum bukan karena mengingat tempat favorit kita, tapi obrolan kita. Tentang
filosofi bakso. Bedanya bakso urat dan bakso daging. Bedanya pakai bihun dan mi
kuning. Bedanya, bakso berkuah dan bertusuk kayak sate. Kita bicara banyak,
bakso bukan sekadar makanan. Bakso adalah kenangan.
Jika hal sederhana mengingatmu menyunggingkan senyum, kamu
berhasil membuat garis lurus bibirku melengkung menerbitkan seulas senyum yang
menawan. Aku di sini, tepat di sebelah gerobak tukang bakso akan selalu berusaha
membuatmu senang. Seandainya, kau di sini masih menyukai semangkok bakso
kenangan. Meski kau tak bisa kumiliki. Meski kau hanya berkas asap bening yang
mengepul ketika tutup kuali dibuka dan diterbangkan angin, tak mampu kugapai.
Aku akan selalu di sini, membantu mang bakso mencacah sayur
kucai dan menaburkan serpihan perasaanku untuk semangkok bakso yang kamu pesan.
Persembahan dariku, ketulusan hati untuk terus membuatmu tersenyum menikmati
hidangan bakso. Bakso jualan aku dan ayahku.