Kita tak lagi bersama, bukan
karena jarak yang memisahkan kita. Bukan pula rentang waktu yang membedakan
kita. Entah, semacam batas bening tak berbayang jelas menjauhkan kita. Aku tak
mengerti saat alasan bisa sangat memukul perasaanku. Ketika kau ungkapkan pada
pagi hari itu saja, aku tak mampu berdiri untuk melihat bayanganku sendiri. Kupikir,
jarak bukan lagi masalah karena kau akan segera pindah. Aku bisa bertemu
denganmu kapan saja, seketika itu menjadi sia-sia karena kau menyerah pada
perasaanmu sendiri. Aku pun tak sanggup menyelamatkan bulir bening yang jatuh
saat namaku disebutkan. Sampai setiap malam aku takut lagi untuk menatapmu. Waktu
tak lagi berharga ketika bertahun-tahun menjadi sia-sia karena kau hancurkan
dalam sehari. Dimanakah kucari hati yang hilang. Menjelang pagi kutemukan
diriku terbangun bersimbah air mata, memimpikanmu. Bayang-bayangmu memudar,
tapi perasaan itu masih kuat. Justru bertambah sakit.
Menjelang pagi, aku tak sanggup
membangun mimpi. Kenyataan yang memaksaku pergi karena malam adalah mimpi buruk
yang selalu menghantui. Ketika mentari bersembunyi di balik selimut. Aku tak
pernah menemukan cahaya di wajahku. Tidak seberkas senyum, tidak juga pandangan
mata yang berbinar. Melainkan garis hitam melingkar di bawah mata, karena
semalam tak mampu terpejam. Aku takut untuk membuka mata, terlebih hati. Setelah
kutahu kau hujamkan belati tepat menusuk jantungku. Apa salahku, tak pernah kau
tawarkan pilihan. Hingga remuk sedu sedan yang tertahan di dalam dada. Kau tak
pernah tahu masih ada bayangmu dalam mimpiku, setelah kupadamkan lampu
sekalipun. Aku tak bisa membalut luka yang kutahan meski perih terasa. Jika nanti,
kucoba berlari untuk menemukan cahaya. Lebih baik aku terbakar daripada
tertusuk tanpa alasan.
Aku tak menyangka, sekiranya
matahari tak pernah bersinar lagi. Tiba-tiba saja suatu hari laksana bencana,
datang tanpa tiupan sangkakala. Kini, daun mengering selama mentari tak terbit
lagi di ufuk sana. Rerumputan kian merindukaan terpaan cahaya. Sejak, langit
berubah pekat dan mendung sepanjang musim. Bukan saja angin tak punya alamat
untuk berteduh, nyanyian sepi kian menyapa di bawah rindang pohon cemara. Saat itu,
aku terbangun menahan getir yang timbul di sudut mata. Memimpikan layarmu terkembang
dan menjauh pergi menghapuskan namaku yang tertulis di pasir pantai. Nada sendu
mengalun mengiringi pejaman mataku, berharap menjadi akhir dari segala cerita. Tak
ada lagi lambaian tangan di ujung dermaga. Selain luka yang kubalut dengan
senyum paksa. Mengeja gerimis yang jatuh menerpa wajahku. Hatiku tenggelam jauh
ke dasar lautan.
Suatu pagi yang biasa, hadir semacam cahaya kembali menyapa. Tak ada yang berubah manakala rindu pun tak kunjung pulang. Seketika bagian dirimu larut dan hilang. Senyawa cinta yang kini lenyap dalam sekejap lantaran benci yang perlahan tumbuh. Tanpa kutahu ada benih-benih lain yang mengakar perih. Luka masih saja meneteskan darah sejak kau lupa akan janji manismu yang tak terucap kata. Lebih dari sekadar ungkapan bahwa janjimu telah terukir di dalam dada. Entah, apakah benci dapat tersapu angin. Seperti kenangan yang dapat terlupakan begitu saja, ingatan juga album manusia. Suatu waktu dan lupa datang silih berganti. Aku tak menemukan cinta itu kembali. Telah kurantau bilangan kota, kudaki pencakar langit gedung tinggi, kulewati lembah dalam keresahan. Di sudut hatiku masih saja kutemukan namamu, tak pernah hilang.
Di lorong sepi hati aku mulai
menemukan titik-titik nyala lilin yang bergoyang, ketika bisikan hatiku lirih
terdengar. Aku mulai menguping dinding menyimak kata-kata yang tersapu angin. Bahkan,
ada senyum di balik kepiluan hati yang tak terselimuti. Jejak-jejakmu masih
membekas di pikiranku, aku harap akan tersapu masa. Kau telah merampas hatiku,
maka kucari kembali di setiap sudut. Aku tak akan menyerah untuk tetap bertahan
melangkah pergi, menjauh. Ketika kau telah menghancurkan menara di hatiku. Maka,
aku tak berusaha kembali membangunya. Aku akan berusaha pergi untuk menemukan
kembali nyala api yang padam. Entah, di sudut kota, bibir pantai, dermaga
sunyi, kaki langit, celah angin, dedaunan kering. Akan kucari rindu yang tak
kembali pulang. Untuk kudendangkan bersama nyanyian bisu dan keremangan lampu
kamar. Mengisahkan arti kepedihan hati yang terluka karena cinta telah mati.
aku tak berucap kata, ketika ungkapan menari-nari dalam bayangmu. sejak kau diam membisu, di sudut dermaga. aku tak mampu menahan gejolak rindu kala mata pun hujan. gerimis kian menderas kepiluan hati. bibirku menyungging senyum, namun hatiku menangis tanpa suara. selembar ikatan janji yang terbang tersapu angin. membiarkan ombak menggulung kenangan ini. saat hatiku runtuh bersama kepingan luka yang kau beri. aku tak bermaksud memutuskan tali janji suci kita. namun, hadirmu tak pernah wujud nyata. selain, mimpi-mimpi yang terbagi oleh api cemburu, kadang, jauh membutakan mata karena langit tak pernah terlihat sama. terlebih, ketika hatiku terendam benci manakala kau bersama cinta yang lain. apakah harus kuhapus jejak langkah yang tercetak di atas pasir bibir pantai. tempat kita mengadu hati lantas bibir menari memeluk dingin. di sudut gelap hatiku masih membisikan kerinduan yang lirih terdengar samar menggema dalam dada. jika, mungkin akhir menjadi perpisahan yang tak terelakan. lebih baik aku tak menemukanmu, dimana pun. terutama sudut hatiku.
malam ini, kau pun terdiam dengen bibir mengatup. sedang bibirku menahan getir dan getar-getar dalam rongga yang tertutup. keheningan ini tak pula diselimuti kesenyapan. sebab, angin tak mau kembali jika purnama tak menampakkan muka. haruskah kucari bibir yang lain. karena tanpamu aku tak mampu berdenting untuk bersulang dengan teriakan di tengah petang. janji, selalu kau ingkari. cinta, selalu kau dustai. manakah diantara hatiku yang tak tulus menjulurkan kasih sayang. jika, kesetiaanku selama ini masih kau ragukan. mataku tak pernah mampu terpejam jika perih hati ini kau balaskan. dimana rindu adalah anggur yang nikmat memabukkan. kapan kau membelai angin selembut kau membelai dedaunan. semilir angin yang tertiup tak tertangkap telingaku tentang suara-suara bisikan serupa desahan. aku ingin mengecup bibirmu dan kita berciuman untuk mengalirkan cairan dalam tubuh kita. gelas, kukecup dalam keheningan.