aku tidak menyangka bakal separah ini, bahkan lebih parah. Aku mulai menjauh dari keramaian dan mengurung diri di kamar. Mematikan lampu. Dan mengumpulkan barang-barang aneh, apa saja. Aku memang tertutup, bahkan mungkin tertekan. Tapi aku tidak pernah benar-benar menyanggupi masalah itu. Bahkan aku bisa memaki-maki orang lewat sebuah surat dan menuduhnya telah menyadap dan memasang kamera cctv sehingga aku merasa selalu diintai. Saat tengah malam aku berjalan sendiri dengan gontai menyusuri jalanan setapak dan lorong-lorong gelap yang becek tergenang air hujan. Kemudian aku pulang hampir pagi dengan mata lesu dan sayu. Aku merasa tidak ada lagi orang yang bisa kupercaya. Sekalinya kubuka rahasia itu pada seseorang, ternyata dia tidak bisa menjaga dan menyimpanya. Aku tidak suka orang lain mengetahuinya, terlebih ikut mencampuri urusanku, peduli apa. Kau tidak perlu bersusah payah membantuku, aku cukup kuat untuk berdiri dan bertahan. Semua orang memang seperti itu, tidak bisa memegang kepercayaan, padahal aku sudah sepenuhnya memberikan hal itu. Ternyata pengkhianatan lebih menyakitkan daripada sekedar tidak menepati janji. Aku merasa kesepian dalam keramaian. Aku tidak tahu pasti, inginku sendiri, dan melenyapkan semua orang yang membuatku seperti ini. Aku mulai akrab dengan kucing dan banyak kuhabiskan waktu bersamanya, kucing itu manis dan manja, dia terkadang menggeliat dan menyandarkan tubuhnya pada kaki dan aku akan merasa kegelian saat ekornya membelai telapak kakiku. Walaupun cakarnya tajam tapi dia tidak benar-benar menggunakannya jika tidak diperlukan. Dia bisa menjadi sangat manis dan manja saat suasana hatinya tenang namun bisa menjadi seekor kucing yang liar dan beringas jika ada makhluk lain yang mengancam termasuk kucing yang lain. Tapi aku bukan kucing, aku tidak punya cakar, dan aku tidak bisa bersandar pada kaki orang lain. Aku harus berdiri dengan kakiku sendiri. Walaupun ada orang lain yang mengancamku aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyembunyikan sebilah pisau di balik punggungku, tapi tidak pernah kulakan. Andai saja aku bisa mengeluarkan cakar dari kesepuluh jariku mungkin aku bisa merobek mukanya dengan senang. Pintu kamar kukunci. Lampu kupadamkan. Kipas angin kubiarkan berputar-putar. Handphone genggam kunyalakan, tapi kubiarkan tergeletak walaupun ada seseorang memanggil-manggil di seberang. Biarkan saja, aku tidak ingin bicara. Aku ingin diam dan menekuri kertas putih yang kosong. Kemudian aku mengambil kuas tipis yang panjang dan beberapa warna cat air yang terbungkus seperti pasta gigi. Kutuangkan warna merah, merah menyala, bukan seperti api, tapi lebih mirip lahar dingin yang meleleh dari kawah gunung, tentunya sangat panas dan mendidih. Aku suka. Kucelupkan saja ujung kuas dengan cepat dan aku mulai membuat garis, asal garis. Tidak lurus, kubuat meliuk-liku. Aku mulai menikmati, tapi mataku semakin buram. Cahaya mentari tidak masuk karena tirai tidak kusibakkan. Biarkan saja kegelapan menyelimuti, karena merah ini akan menyala dan menjadi terang. Tiba-tiba aku kesal, kuas itu kuhentak-hentak menimbulkan cipratan merah yang menawan, kemudian aku coret-coret sembarang, benar-benar berantakan. Tapi ada nuansa abstrak dengan garis tegas dan kuat. Aku lempar kertas itu. Aku seperti melihat bayangan hitam bersayap dilangit-langit, kemudian aku merapat ke belakang menyandar dinding, memeluk lutut dan gemetar. Aku menangis hebat, mataku deras bercucuran, kemudian meraung-raung dan menarik-narik apa saja. Seprai itu hingga sobek dan ujungnya merah tertimpa cat. Noda itu seperti darah. Lalu aku muntah, perutku mual dan seperti dikocok-kocok. Kubuka pintu dan pergi ke wastafel. Air itu kubiarkan mengucur dan sedikitnya kuminum setelah kedua telapak tanganku berimpitan membentuk mangkok. Kepalaku sengaja kucelupkan, otakku berasap, jadi kurendam saja. Tiba-tiba ada tangan yang menahanku, aku tersedak. Tangan itu memaksa kepalaku semakin masuk ke dalam air. Air memenuhi rongga dadaku, lubang hidungku. Nafasku mulai tersengal, kemudian rasa perih menjalari mataku. Kupejam tapi air telah memenuhi saluran hidung. Pusing mulai terasa. Kemudian aku berteriak, sekencang-kencangnya. Suaraku parau terendam air. Pita suaraku pecah terbelah sendiri. Air mulai membasahi gendang telinga, aku tidak bisa mendengar kecuali riak air dari kran yang terbuka. Kuangkat wajahku memaksa, tak ada tangan yang memegang. Aku mulai mengatur nafas, mataku berair. Aku pergi dari kamar dan menuju halaman bebas. Aku seperti terperangkap dalam ruangan dan memilih keluar. Menghirup udara bebas dan membuka mata selebar-lebarnya. Barangkali aku harus pergi jauh. Bayang-bayang bersayap itu mulai mengikutiku. Entahlah, aku hanya ingin menjauh, menjauh dari sekat-sekat yang membatasi gerakku. Andai saja tidak ada yang melingkupi diriku dan bisa mengabaikan ocehan semua orang, aku akan bertelanjang dada dan menari, aku suka menari karena akan sangat terasa bebas. Bahwa secara alamiah aku mampu bergerak dan meliuk-liuk kemudian berputar. Lalu tanpa malu berguling-guling di taman dan kubayangkan adalah kasur empuk yang terhampar. Sangat nyaman dan terik matahari itu akan memaksa keringatku bercucuran. Seluruh tubuhku mandi keringat dan kulit mulai terbakar kecoklatan, lama-lama orang lain tidak mengenaliku. Aku berlari sejauh kakiku terbentang. Aku melompat seperti katak yang baru belajar melompat. Kaki menghempas jalan dan debu beterbangan. Kini tubuhku penuh dengan debu karena jalanan begitu berdebu. Aku ingin menjadi debu yang diterbangkan angin sehingga dengan mudah hinggap di tempat yang kusukai, kemudian aku melekat dengan permukaan dan aku menjadi bagian darinya. Aku bisa berkembang biak dengan mudah dan bersembunyi sesukaku. Jalanan berbatu menghambat jalanku, aku tidak bisa menari dengan keadaan tanah seperti ini. Aku tidak melihat pohon tapi aku ingin memanjat, meraih dahan dan ranting lalu kutunggangi seperti kuda dan kubangun rumah di atasnya. Aku tidak bisa berjalan jauh lagi karena tenagaku mulai habis, persediaan makanan dalam tubuhku mulai menipis dan aku merasakan lapar yang melilit. aku bisa menahan pikiranku tapi tidak untuk masalah yang satu ini. Aku meronta-ronta sambil memegangi perut. Lambungku bergetar. Mungkin gara-gara muntah sehingga perutku kosong. Aku tidak suka muntah, karena muntahannya sangat menjijikan. Tidak sampai hati aku membuang isi perutku, tapi untuk melihat saja aku tidak ingin, karena aku akan muntah lagi dan perutku semakin mual. Aku tidak ingin menghisap darah seperti pemakai narkotika yang kecanduan. Kemudian mengikat lengan dengan ikat pinggang dan menariknya dengan gigi kuat-kuat, satu sayatan pisau tipis mengucurkan darah dan diisap dengan penuh nafsu, kemudian tubuh menggelepar seperti ikan terdampar. Aku menemukan rerumputan, tapi tidak berselera kumakan, karena itu makanan kambing dan aku tidak setega itu memakan jatah makan kambing. Dalam lapangan terbuka seperti ini bayang-bayang bersayap tidak akan menampakkan dirinya. Karena sinar matahari bisa melepuhkan seluruh tubuhnya. Melewati jembatan yang tinggi membuatku berfikir untuk meloncat, dan terjun dengan penuh semangat. Air sungai dibawahnya jernih dan aku bisa minum sepuasnya. Aku bisa mencari ikan disana. Menuruni tangga dan batu-batu sungai itu membuatku berhati-hati berjalan, sedikit saja lengah aku akan terjatuh dan sekujur tubuh akan basah dan bisa-bisa terbawa arus yang deras. Aku tidak melihat ikan, aku ingin sekali melihatnya. Ikan tawar sangat bergairah sehingga berenang dengan cepat dan menghilang. Aku berani bertaruh jika seseorang bisa menangkapnya dengan tangan maka aku akan mencoba ratusan kali untuk itu. Aku tidak tahan lagi karena ingin pingsan, dan seluruh tubuhku lemas. Aku harus memilih tempat yang nyaman untuk pingsan, kalau aku pingsan di tepi sungai maka aku akan tercebur dan tenggelam bersama ikan-ikan yang mengerumuniku. Matahari semakin terik dan aku kehilangan keseimbangan. Aku roboh di tanah kering. Bunyinya berdebam sehingga menerbangkan debu di sekitarnya. Semoga ada yang menemukanku. Oh tidak, aku tidak ingin ditemukan, aku ingin bangkit dengan sendirinya dengan keadaan pusing dan lemas. Tidak ingin disangka mayat yang terbuang. Semua akan mengira bahwa aku korban tindak kriminal. Atau orang gila yang tidak menemukan jalan pulang. aku harus kuat, mataku mulai terlihat gelap untuk terbuka. Meraba-raba sesuatu yang bisa kupegang dan membantuku berdiri. Tapi tidak ada, aku melihat kaki, kaki seseorang dengan banyak bulu di betisnya memakai celana pendek yang lebar. Aku tidak sempat melihat mukanya karena terlalu tinggi. Dan aku diangkatnya perlahan sambil mengulurkan dengan susu ditanganya. Menawarkan. Tapi lebih tepat memberikannya padaku dengan cuma-cuma. Padahal aku tidak ingin, tapi kukira cukup untuk mengganjal perutku. Kuterima, terpaksa. Benar-benar terpaksa sambil memalingkan muka, kuminum susunya dan aku mulai membersihkan debu-debu yang menempel. Dia memegang tanganku, tentu aku sangat tidak suka. Aku melawan dan memberontak. Tapi dia malah mengenggamku sangat kuat seakan tidak ingin aku mengambil kesempatan untuk berlari. Semakin aku meronta semakin kuat cengkeramannya, apa yag dia pikirkan. Jelas-jelas aku tidak suka dengan tindakannya padaku. Ternyata kebaikan hatinya mempunyai niat buruk yang tersembunyi. Dia mau melukaiku, atau jangan-jangan mendoaiku. Pikiran buruk mulai menyesaki otakku, bayang-bayang mengerikan menjejali isi kepalaku dan tentu aku sangat ketakutan. Mataku melotot dan aku melolong seperti serigala kesakitan. Aku mulai menarik-narik dan memaksa melepaskan genggamannya. Aku terpaksa menggigitnya, sampai biru bahkan sedikit berdarah. Kesempatan itu kuambil untuk berlari dan melemparkan botol kosong bekas susu tepat mengenai dadanya. Aku berlari sebisa mungkin menghilang dari pandangannya jika bersembunyi mungkin aroma tubuhku masih bisa tercium dan dengan mudah aku bisa ditemukan. Dia akan sangat senang menganiayaku, aku tidak ingin. Pelarian sungguh melelahkan dan aku tidak mau lagi berlari. Lebih baik berjalan dan sesekali duduk di tepi jalan. Aku ingin pulang dan segera tidur setelah menghabiskan makan. Semoga makanan masih tersisa di meja dan aku bisa melahapnya dengan puas. Tapi langkahku terasa berat dan aku tida bisa menahannya lagi lebih lama. Persendianku sakit dan lapar itu mulai mengancam. Aku kehabisan akal untuk mengalihkan perhatianku menuju pandangan yang lain. Karena tetap saja lapar itu menderaku habis-habisan.
Aku ingin mati saja. Mengakhiri hidup. Ini pilihanku dan tolong hargai aku. Aku tidak perlu kau kasihani. Aku sudah terlalu menderita dan aku sudah cukup merasa bahagia. Kematian adalah tujuan hidup dan aku ingin segera menjemputnya. Malaikat maut itu akan senang karena aku meringankan tugasnya. Dia tidak perlu datang mencabut nyawaku. Aku sendiri yang datang dengan nyawa yang telah menghilang. Biarkan ini terjadi menjadi sebuah akhir dari sejarah hidupku. Ini adalah garis akhir yang menentukan takdirku. Seperti mencapai garis finish, aku akan bahagia dan tersenyum bangga. Apa yang harus kutunggu. Bola harus dijemput dan aku ingin mati segera. Ini bukan lantaran aku tersiksa, atau tak kuat menanggung pedih luka. Karena aku hanya ingin segera mencium angin surga. Aku merindukan wajah malaikat yang berseri-seri sambil tersenyum tipis melambaikan tangan padaku. Sesungguhnya kematian adalah awal kehidupan dan aku ingin menjalani hidupku yang baru. Cukup sudah bagiku menutup lembaran hari ini yang telah usang dan berdebu. Hatiku terpenggal dan mataku buta oleh pesona dunia. Dan aku tertipu pada kenyataan palsu ini. Percuma saja aku berusaha meyakinkanku. Karena aku hanya ingin mati. Jantungku berhenti dan tubuhku kaku seperti patung lilin. Tidak ada yang perlu dipertahankan, dan segalanya tak tersisa. Tak ada yang kumiliki selain keinginan. Bahkan kenangan pun tak perlu diingat lagi. Karena ketika kumati seluruh kenangan akan sirna bersama aliran darahku yang terhenti seketika. Tak ada lagi cerita dan aku akan tenang tanpa perlu menyimpan rahasia. Masalah hidup akan selesai, karena hidup adalah masalah dan mati bukanlah masalah. Mati bukan penyelesaian tapi masalah harus diselesaikan. Dan karena hiduplah yang menjadi masalah dan mati bisa menjadi pilihan dan solusi. Memang bukan satu-satunya cara tapi aku menginginkannya. Ini bukan menyangkut harga diri karena sebenarnya manusia sungguh tidak berharga. Harga manusia adalah mati. Jika manusia selalu mempertahankan diri maka selalu ada pertikaian. Jika manusia punya harga maka dengan mudah akan terbeli. Keyakinanku runtuh bersama kenyataan ini dan aku tidak ingin apa-apa lagi selain mati. Setiap nafas dalam hitungan detik akan tergerus waktu. Dan aku tidak punya waktu lagi. Ini bukan kesia-siaan. Karena aku sungguh ingin merasakannya. Bagaimanakah caraku mati, aku punya cara sendiri tidak perlu kau risaukan. Aku tidak perlu jauh-jauh pergi. Cukup disini, asalkan siap dan hati mantap. Setiap orang pasti akan mati. Jadi apa yang kutakutkan, sakitkah. Aku sudah terlalu sering merasakan sakit, tubuhku tertusuk-tusuk, dadaku terguncang bahkan terjerembab pada tanah yang lembab. Perlahan atau cepat itu hanya masalah waktu, usia kita tentu terbatas. Batasnya adalah saat ini, tidak perlu banyak berpikir. Karena pikiran kadang menyesatkan. Kalaupun bertindak dengan hati tetap saja hati bisa dibohongi. Sekaranglah saatnya, jika hidup yang kurasa cukup sampai disini, tidak perlu wasiat. Aku tentu banyak kesalahan dan dosa, biarlah menjadi dosa dan kesalahan. Karena maaf yang telah menemukan di-kan selalu melahirkan kesalahan baru. Dan maaf tidak semestinya dipermainkan. Tidak perlu menyesal karena setelah dilahirkan aku telah menyesalinya dengan menangis. Aku tidak perlu menangis lagi. Cukup saat bayi saja, karena kupikir penyesalan selalu ada di akhir, tapi aku menyesali semuanya di awal. Sehingga akhir menjadi ending yang bahagia. Seperti air terjun yang terhempas di batu cadas, percikannya menyejukkan. Tolong jangan ceritakan ini pada siapa pun. Kematianku bukan berita hangat di koran, bahkan klise. Bunuh diri. Daripada membunuh orang, jahat sekali. Tidak perlu menjadi pembicaraan setelah aku mati. Cukup dilihat saja namanya di batu nisan. Kau akan tau kalau itu namaku. Dan perlahan-lahan terlupakan. Tidak perlu dikenal. Karena aku tidak memasangkan foto disana. Ini adalah keinginan dan hasrat terdalamku, setelah sekian lama aku memendam banyak niat. Kali ini aku harus menuntaskannya, seperti hasrat melepas dahaga, hasrat melepas nafsu, cukup hanya dilakukan saja. Dan semuanya akan berakhir. Ini akan menjadi akhir yang begitu singkat dalam ceritaku. Tapi cukup menyentak. Karena aku tidak ingin lebih berkesan dan menegangkan. Aku takut terlalu mengejutkan. Sehingga niat ini tidak perlu diberitakan kepada yang lain. Perlahan-lahan aku mulai menahan nafas, sesekali memang tersengal. Tapi untuk tahap awal selama menahan pernapasan harus sedikit kuat. Sehingga udara yang masuk tidak begitu saja keluar. Nikmati sisa udara di dalam tubuh untuk oksidasi terakhir kalinya, maka detak jantung itu tidak keberatan mengalirkan darah. Aku pejamkan mata. Dan mulai mentutup mata rapat-rapat, karena kesan akan dunia ini bisa lenyap begitu saja. Kau bisa merasakannya. Ketinggian ini selalu menjadi hasrat setiap manusia. Seperti keinginan menduduki jabatan tinggi. Aku telah berada di sini. Pijakan ini begitu kuat walaupun terpaan angin begitu kencang. nikmati sekeliling itu dan rasakan hembusannya. Tidak perlu kau tatap pemandangan, itu kamuflase. Keindahan yang terbentang tidak lain telah mengelabuimu dan mengurungkan niatmu. Lepaskan saja seluruh raga ini terbang bersama terpaan angin yang menggoyang-goyang. Bentangkan tanganmu dan irama detak jantung akan semakin samar terdengar. Aku mulai menghitung mundur. Melenyapkan segala ketakutan dan kengerian, bayang-bayang semu segera kutepis dan ingatan akan cinta, benci, dendam, suka, perih, luka, ambisi, cita-cita, impian, obsesi segera kuremuk bersama hentakan kaki yang kuinjak. Sedikit saja perlu melangkah. Selamat tinggal, aku akan meninggalkanmu semua. Kau akan terbang seperti elang dan menukik tajam seperti menyambar mangsa. Tapi ada kelegaan yang mencapai titik sehingga tidak perlu dilukiskan. Kau bisa melakukan apa yang tidak dilakukan orang lain, bahkan seluruh manusia. Kau terbang bersama angin dan membelai udara. Aroma kematian akan semakin dekat datang padamu. Aku telah siap. Dan aku akan membuka gerbang kematianku dengan kesungguhan hati, kau akan melihat cahaya putih yang berkilauan, sangat indah. Hanya kau yang bisa melihatnya, cukup sekali kau melihatnya. Dan setelah itu kau memiliki banyak cara untuk bicara, tanpa memiliki nafsu yang mengikatmu dan menyesatkanmu. Kau hanya merasakanya saja. Tapi setelah keinginan mati kau bisa mengajukan ratusan bahkan ribuan keinginan. Karena untuk mencapai itu hanya perlu mati. Sebuah imbalan yang menurutku cukup memuaskan. Orang yang kau sayangi, temanmu, keluargamu, sahabatmu, siapa pun itu pasti tidak akan mengira kalau kau sangat puas setelah mati. Hapuslah semua ingatan tentangku, karena aku akan pergi untuk selamanya. Tidak ada kerumitan disini, tidak ada yang meledak-ledak. Semua terjadi seperti tersedak. Sebentar dan hanya cukup diketahui. Mati juga sebagian dari cerita. Dan mati adalah obat hidup, ketika sakit sepertinya tak tersemubuhkan. Maka datanglah kesini. Dunia yang lebih abadi. Tanpa kekhawatiran, tanpa kecurigaan. Hidup penuh ketenangan. Tanpa beban dan masalah. Aku masih memejamkan mata, dan kurasakan darahku berdesir, ini permulaan sebelum mati. Hanya belum terbiasa. Dan aku begitu menikmatinya. Daripada menyuntikkan lenganmu dan memasukkanya dengan cairan yang membuat pikiranmu terbalik, tersiksa dan ketergantungan. Pilihanku tidak bergantung apa-apa. Kau tidak merasakan dua kali. Hanya mati dan selesai. Seperti kisah yang tinggal menemukan titik, jelas tinggal menuliskan mati. Lelah hati ini bersandar pada kepalsuan. Ketidakpastiaan ini menjadi kanker yang menyiksaku. Tak perlu mencari identias karena nama hanya tertuliskan di batu nisan, kita sungguh tidak diharapkan hidup lama-lama jika hanya menimbulkan kerusakan. Dan alam sungguh teraniaya, saatnya pulang. Perbuatanmu sungguh keji dan berlaku kejam. Cukupkan sampai di sini. Kau bisa menentukan caramu sendiri untuk mati. Kau bebas melakukan banyak aksi dan gaya dalam mengakhiri hidup sebelum kau pergi. Tidak akan ada lagi kritikan, sanggahan dan bantahan yang menyesakkan itu. Kecurigaanmu tidak akan lagi menuduhmu berkonspirasi busuk. Tubuhku melayang diterbangkan angin dan burung-burung melihatku tersenyum. Kicauannya memanggilmu dan mengabarkan selamat tinggal. Salamnya hangat dan tatapannya teduh merelakanmu. Aku mulai merasakan dingin dalam jantungku, karena angin seperti lebih kencang menampar wajahku. Tidak perlu banyak persiapan, dan aku tidak menyisakan apa-apa, tidak ada yang berharga. Kau akan tersadar kalau kau ingin secepatnya mati. Semua yang tercipta akan sirna, mengapa harus menunggu. Lebih cepat lebih baik. Tidak ada kelebihan yang kau rindukan selain mati. Karena hidup tidak akan sempurna tanpa mati. Dua sisi itu memang melekat seperti mata uang. Kau tinggal membaliknnya dan kau temukan dunia baru. Kau datang dan saatnya pergi. Kau sungguh berani memutuskan mati. Dan aku berani, karena hidup tidak perlu keberanian, hidup hanya perlu dijalani. Tapi aku berani menjemput matiku dan menghilangkan semua ketakutanku akan mati. Hidup adalah sementara dan mati adalah keabadian. Semua yang telah meninggalkan kita abadi sepanjang masa. Bahkan berabad-abad lamanya. Bagaimana jasadmu tak perlu cemas, karena itu bukan lagi tugasmu. Cukup mati, kau tinggalkan jasadmu yang kusam dan masa lalumu yang silam. Orang yang masih hidup akan mengurusnya, mungkin menguburnya, membakarnya atau memasukannya kedalam peti. Sama saja. Jasad itu akan membusuk dan habis perlahan-lahan. Sedangkan jiwamu kekal menuju ke haribaan. Ruhmu akan terbang dan melambaikan tangan meninggalkan tubuhmu yang hina dan nista penuh noda. Mati sungguh nikmat, seperti menyesapi sisa minuman yang kau suka terasa sekali di lidah. Namun tercekat di tenggorokan. Sedangkan mati rasanya seperti sekujur tubuh, dan semua organ dalam tubuhmu merasakan nikmat seperti tersengat. Secepat kilat jika kau menghitung waktu melepaskan raga. Dan kau tidak perlu berbusana karena mati adalah mati. Tidak ada lagi yang terkait dengan urusan dunia. Dunia penuh kepalsuan dan kemunafikan. Semua hal bisa direkayasa, dan kepentingan bisa dimanipulasi menjadi keinginan. Sedangkan mati tidak perlu bersusah payah. Tinggal mengakhiri hidup. Tubuhku mulai menukik tajam dan darahku seperti terangkat ke atas. Ubun-ubunku terbalik dan aku merasakan pusing. Tapi bukan lantaran memikirkan hutang dan krisis ekonomi yang mengkhawatirkan, aku hanya sedikit merasa pusing karena kepalaku berada di bawah. Sehingga tidak ada yang merasa selalu di atas, bahkan kepalaku sekarang berada di bawah. Kepala negara selalu ingin menjadi kepala, kepala perusahaan tidak mau menjadi kaki. Tapi kepalaku berada di bawah seperti kaki. Dunia terbalik dan kepalaku ikut terbalik. Aku senang. Aku tidak menyombongkan diri dengan mendongak kepala, tapi aku bersujud terlampau menunduk sehingga seperti menjungkir balik. Aku siap menerima ajalku. Aku rela mati. Ini adalah keinginan terbesarku. Biarkan maut merengkuh jiwaku, biarkan ini menjadi akhir dari sebuah masaku. Waktuku telah habis dan aku menghabiskannya dengan penuh selera. Kepalaku membentur aspal. Darah seperti memuntahkan. Aku tidak merasakan sakit. Pandangan mataku memudar. Seketika seluruh penglihatanku gelap. Aku tidak sadarkan diri. Lebih tepatnya mati. Good bye
tentang airmata
malam yang berbeda, awan menyelimuti
dan mendung tebal memenuhi.
seketika gerimis turun perlahan
aku mendekap sunyi menyandar kepala ke kaca dan merebahkan tubuh pada kursi
bus bergerak perlahan dan pandanganku kosong menatap suasana di balik kaca
kesepian memelukku dan kerinduan membuncahku
tak ada yang bisa mengantarku pada sebuah perhentian
ketika bus sepertinya tidak mengetahui tempat berhenti
aku tidak bergeming dan mengabaikan pikiranku
malam semakin gelap dan hujan masih menetes-netes
betapa mataku tersaput oleh air
dan hatiku terenyuh manakalah rasa itu datang dan mengguncangku
menatap jalan ke depan yang jauh dan terbentang
seakan tak terhalang namun mataku tak mampu melihat
jika kenyataan semakin membuatku perlahan bergerak
badanku terasa dingin dan jaket tidak bisa membendungnya
angin yang tipis selalu menusuk hingga kulit ari
tak ada suara lain selain gemercik hujan yang merdu
seperti nyanyian angin yang menampar-nampar daun hingga terdengar telinga
aku masih di sini
terduduk sendiri dalam keheningan malam
dan roda berputar tak pernah berhenti
menatap jauh jarak hingga tak terpandang
seketika mataku terendam air
kemudian lamat-lamat menjadi basah
airmata mengkristal dan menggenang
alunan hujan menyertai dan pandanganku semakin samar
denting-denting tetesan menerpa kaca
hingga lapisan terluar terbungkus embun
dan aku tidak bisa melihat lagi
jalanan kota yang lengang
lampu-lampu yang berkelipan
tak ada lagi pilihan, saat aku terpaksa mengedipkan mata
airmata luruh membasahi pipi
tersadarku saat terisak pedih
menahan sisa kegetiran hati yang menyiksa
aku tak pernah memahami
arti airmata
malam yang berbeda, awan menyelimuti
dan mendung tebal memenuhi.
seketika gerimis turun perlahan
aku mendekap sunyi menyandar kepala ke kaca dan merebahkan tubuh pada kursi
bus bergerak perlahan dan pandanganku kosong menatap suasana di balik kaca
kesepian memelukku dan kerinduan membuncahku
tak ada yang bisa mengantarku pada sebuah perhentian
ketika bus sepertinya tidak mengetahui tempat berhenti
aku tidak bergeming dan mengabaikan pikiranku
malam semakin gelap dan hujan masih menetes-netes
betapa mataku tersaput oleh air
dan hatiku terenyuh manakalah rasa itu datang dan mengguncangku
menatap jalan ke depan yang jauh dan terbentang
seakan tak terhalang namun mataku tak mampu melihat
jika kenyataan semakin membuatku perlahan bergerak
badanku terasa dingin dan jaket tidak bisa membendungnya
angin yang tipis selalu menusuk hingga kulit ari
tak ada suara lain selain gemercik hujan yang merdu
seperti nyanyian angin yang menampar-nampar daun hingga terdengar telinga
aku masih di sini
terduduk sendiri dalam keheningan malam
dan roda berputar tak pernah berhenti
menatap jauh jarak hingga tak terpandang
seketika mataku terendam air
kemudian lamat-lamat menjadi basah
airmata mengkristal dan menggenang
alunan hujan menyertai dan pandanganku semakin samar
denting-denting tetesan menerpa kaca
hingga lapisan terluar terbungkus embun
dan aku tidak bisa melihat lagi
jalanan kota yang lengang
lampu-lampu yang berkelipan
tak ada lagi pilihan, saat aku terpaksa mengedipkan mata
airmata luruh membasahi pipi
tersadarku saat terisak pedih
menahan sisa kegetiran hati yang menyiksa
aku tak pernah memahami
arti airmata
Aku terpeleset dan menyenggol vas bunga. Pecahannya berserakan dan sekeping kaca tertancap di dadaku. Ada darah yang menetes-netes seperti sisa hujan yang turun dari atap. Bunga aglomeria pun terhempas dan ternodai darahku. Aku tidak bisa bangkit karena kaca itu menusuk tepat di jantungku. Seketika darahku berhenti mengalir dan sisanya menetes-netes membasahi lantai. Aku tidak sempat mengerang. Hanya desahan nafas terakhir yang sempat bergulir bersama serpihan kaca yang terpelanting. Tusukan itu tepat merobek saraf jantung dan denyutan terakhir belum sempurna sehingga sisa darah memuntahkan seperti lahar yang dingin. Tak ada gigil dan gemerutuk gigi karena hanya bunyi berdebam yang ada saat kepalaku membentur lantai dan mataku menatap kosong ke langit-langit yang putih. Bajuku basah oleh percikan darah yang terlempar bersama angin dan membuat warna bajuku tampak lebih gelap. Pembuluh darah yang lain ikut berhenti dan membeku perlahan-lahan sehingga bibirku membiru seperti kedinginan. Kukuku mulai berwarna ungu karena darah telah terenggut oleh pembuluh yang lain. Aku tidak bisa menggapai-gapai karena seketika seluruh tubuhku lumpuh. Air mataku luruh sampai memudarkan darah yang membekas di pipi. Kakiku mengejang dan urat leherku mengeras menahan tarikan dada yang kian sesak dan dalam beberapa detik seperti terguncang hebat. Hatiku tak sempat berkata apa-apa karena kata-kata sepertinya tidak berguna diucapkan sekalipun. Tak ada yang bisa mengubah kenyataan ini. Tak ada maaf yang bisa menyembuhkan luka. Karena perihnya pun tak kan mau memberikan kesempatan kedua. Inikah yang dinamakan mati. Saat seluruh nadi tertarik seperti kawat yang menegang terserang listrik dan seketika padam. Kemudian mataku dipenuh kilatan cahaya putih dan menutup seluruh pandanganku. Aku tak mampu mengedipkan mata. Karena seluruh saraf dan otot tidak berfungsi dan aku tidak memiliki energi cadangan seperti mesin yang bisa dihidupkan secara otomatis. Sakitnya seperti duri mawar beracun yang tak pernah menawarkan luka. Tusukannya membuat mata tiba-tiba perih dan berair seperti bola lampu tersiram hujan. Pedih. Tak ada yang bisa menolongku. Karena aku menghendaki ini terjadi pada diriku, sehingga orang lain tidak perlu tahu dan aku tidak akan dibawa ke rumah sakit untuk diobati. Buat apa ketika kepedulian hanya menimbulkan masalah bagi orang lain. Aku tidak ingin menyusahkan siapa pun. Sehingga aglomeria mahal pun tak berharga jika hanya disimpan di dalam vas bunga. Keindahannya menawan dan harum membelai lembut udara. Namun tak ada lagi yang tersisa. Jika vas bunga itu jatuh dan terbanting dilantai. Dadaku pun tertusuk pecahan kaca. Dan tusukannya menembus daging. Hingga menohok tulang rasa sakit sampai tidak terperikan. Kaca itu sangat tipis dan tajam sehingga mengkilat diterpa cahaya lampu. Tapi aku bahkan tidak bisa berkaca karena mataku tertuju pada objek yang lain. Tapi nafasku masih tersisa sehingga rasa sakit tertinggal di ujung tarikan nafas. Cabutlah sekarang. Jangan kau tunda lagi sehingga kau bebas tersenyum sambil meringis didepan mataku. Sehingga tidak sakit yang tak tertahankan lagi. Biarkan nyawa ini melayang bersama kekecewaan dan kau bebas membawaku pergi. Sehingga tak ada tangis yang menderas seperti hujan lagi karena tubuhku kaku seperti membeku dan aku tidak berharga lagi. Tidak ada lagi harapan ketika pecahannya tak terelakkan dan seketika kepercayaan runtuh bersamanya. Siapa yang kejam antara aku yang membanting vas bunga, kaca yang menusukku atau malaikat yang mencabut nyawaku. Ini terjadi begitu saja dan kadang aku tak bisa mengelak pada kesalahan yang tak perlu karena kenyataan terjadi seperti angin yang menghampiri begitu saja. Ketika aku menyesal dan vas bunga terlanjur pecah maka aglomeria akan selamanya membenciku terlebih darah menodainya tidak akan mengubah apa pun. Aku telah menodai kemurnian. Apa aku masih percaya pada ketulusan jika kaca itu menusuk dadaku dan aku sampai tak mampu mengucap maaf padanya yang balik menyerangku. Maafkan aku. Karena salahku kau tikamkan kaca padaku. Biarkan darah ini habis hingga memenuhi lantai. Saat ingin kuraih bunga mataku hanya mampu berkaca-kaca dan kau tak akan mengerti bahasa itu. Kepalaku membentur lantai dan sisa darah di dalam tempurung bercucuran pelan sehingga otakku kehabisan darah. Aku tak mampu berpikir apa-apa, lebih baik aku menikmatinya saja. Karena aku tak memiliki apa-apa lagi. Harapan dan keyakinan yang bertahan selama ini hancur seperti mesiu yang meledak, serpihanya berhamburan diterbangkan angin dan hilang. Aku tak mengerti kenapa bisa terjadi tapi aku menyadari kesalahanku dan memohon maaf atasnya. Jika tak ada maaf yang tersisa kau boleh hujamkan pecahan kaca yang lain pada mataku. Sehingga aku tak perlu mengenal luka, melihat nestapa, menatap duka, menyimpan isak tangis. Kau bisa keluarkan mataku dan mengirisnya terbelah dua sampai kau memerasnya menjadi darah segar yang bisa kau minum. Cabutlah nyawaku seperti pohon toge yang tercabut tak pernah sempat menjadi pohon. Tak perlu ragu. Karena keraguan akan mengelabuimu dan aku tersiksa pedih. Aku telah memecahkanmu dan kau bebas melakukan apa pun padaku. Terserah saja. Jika aku hanya menyakiti dan tak perlu ada maaf. Hatiku hancur bersama kata yang tak sempat kuucapkan. Karena lidahku membeku bersamaan dengan aliran darahku yang terhenti dan aku kehabisan nafas. Seolah kedipan mata tak berharga dan aku rubuh dengan kepingan kaca yang jatuh. Bawalah aku pergi untuk selamanya. Karena waktu tak pernah memberiku janji seperti apa peristiwa ini terjadi. Dan aku hanya kehilangan waktu sebelum hidupku berakhir. Tak perlu berpikir karena otak bisa mendustaimu dan aku hilang kesabaran karena menunggumu menyelesaikan penderitaan ini. Tak perlu menarik nafas karena tubuhku terlanjur terhempas. Saat kata maaf hanya terdiri dari empat huruf yang bersatu tak kan berhaga jika tidak pernah ditambah di-kan karena maaf seperti kehilangan jiwanya. Seperti dahaga tak pernah sembuh oleh airmata. Aku bersalah tapi kau malah memenjarakanku pada sakit yang membelenggu. Tak pernah ada vonis. Dan kasus ini menggantung seperti terabaikan. Aku tak lain terdakwa yang menunggu eksekusi jika tak kau segera ambil jiwaku. Lebih baik kau rengkuh jantungku agar kepedihan ini tak menjadi lama. Sungguh maafkan aku. Aku memilihmu karena suka. Tapi cinta tak pernah bisa terbeli. Dan kau bebas menawarkan harga mati. Ketika tanganku tersentuh adenium tak berarti perhatianku lebih padanya karena aglomeria tak pernah tergantikan. Dan ketulusanku jatuh pada dirimu. Jika malaikat memberiku nyawa maka kugantikan vas bunga kaca menjadi besi yang bertahan saat terbanting sekalipun. Kubeli berapa pun harganya. Jika tak ada pilihan maka hunuskan kaca itu lebih dalam sehingga menjadi erangan terakhir. Dan aku bisa menjadi tanah untukmu.