Mataku belum sempat benar-benar terbuka, lalu kudengar teriakan. Tapi aku tak bisa melihat apapun. Nampak kabut tebal menyelimuti. Hawa panas mulai terasa membakar kulitku. Aku melihat reruntuhan. Lalu suara batuk di seberang kamarku. Itu adalah kamar Ibuku. Aku tak bisa bangkit karena terhalang sesuatu yang berat menimpa pahaku. Bahkan untuk melihat telapak tanganku sendiri mataku sangat perih. Apa yang terjadi. Aku tak bisa mengingat apa pun tentang semalam. Kecuali kita saling bersenggama dan bergumul di atas ranjang. Lalu kau pun memberiku minum, yang mampu membuatku terkantuk, lalu terlelap. Tapi kau tidak di sini, kemanakah dirimu. Kemudian yang kutahu kobaran api di atas itu ambruk bersama reruntuhan puing dan kayu besar menghantam kepalaku, selebihnya aku tak tahu.
Mungkin, aku akan membiarkan diriku tersesat untuk menemukan sebuah jalan. Ketika setiap kesempatan dan jalan yang ada tampak di depan mata, masih ragu untuk kujejaki. Langkahku selama ini mungkin menjauhkanku pada alur cerita. Namun apakah kau merasakan bahwa setiap ujung gang aku selalu menunggumu, aku bahkan rela berbelok dan berkorban untukmu. Tapi kau selalu mencari jalan yang lebih jauh dari tempatku berdiri. Apalah arti jarak jika hatimu sebenarnya pun tak berjarak dan kita sedemikian dekat lebih dari skala. Tapi mungkin jarak pandangku yang membayangimu. Karena ketika kulihat bulan yang sama masih terhalang dinding. Aku bahkan harus melompat, memanjat dan terjun dengan segala keberanianku. Hanya untuk bisa menemukanmu dari titik kordinat yang berbeda. Dari setiap kekhawatiranku pada alasan, aku takut kau pun menjauh dariku lebih dari sekadar jarak.
Malam itu, aku ingin sekali menyentuhmu. Kau begitu dingin, seperti salju. Bukan, kau lebih seperti eskrim, dingin tapi lembut di dalam. Manis di lidah, dan terasa hangat bila tersentuh. Kau sama sekali mudah tersentuh, ketika emosi melandamu. Aku hanya bisa menunggu dan mengecup jari, mengulumnya seperti permen. Kapan malam bisa menjadi hangat bagimu. Ketika masa aku benar-benar ingin, sekedar menyapa. Atau cuma mendengar suaramu seperti nyanyian burung cemara. Aku mencintaimu, seperti dingin eskrim di dalam kulkas. Aku mampu membuatmu bertahan walaupun dingin, tapi tetap lembut di dalam.
Gelombang udara masih dingin terasa. Kau pun masih dingin. aku bisa saja menghangatkanmu. Tapi tubuhku masih terbalut kain. Aku malu, untuk melepas baju. Tapi raut mukamu masih nampak dingin. kubelai saja, mungkin akan terasa hangat. Walaupun hujan turun di hati kita, kau masih akan merasakan kehangatan dariku. Sehangat uap. Walaupun tanpa asap, seperti sketsa udara di atas cangkir kopi. Segelas saja sungguh terasa nikmat, bukan saja hangat. Tapi cukup nikmat. Masihkah kau mau melayaniku seperti secangkir kopi. Bukan karena warnanya yang hitam. Karena kau mampu melepaskan dingin.
Dia hanya duduk di sudut gelap. Tanpa cahaya. Angin terasa dingin. Lelaki itu hanya memandang kosong. Kemudian dia ambil sepuntung rokok dari balik saku. Dia ragu. Ini rokok terakhirnya malam ini. Malam masih panjang. Dia tidak bisa menghabiskan sisa malam ini sendirian dengan sebatang rokok yang tersisa. Apa yang harus dilakukannya. Tak ada pilihan. Api pun menyala bergoyang ketika ujung rokok terbakar dan api tersambar angin. Lalu padam. Dihisapnya dalam-dalam sepanjang tarikan nafasnya menelannya jauh ke dalam. Asap pun menyembul keluar dari rahang dan mulutnya. Sisanya membubung terbawa angin setelah keluar dari kedua lobang hidungnya. Tiba-tiba dia terbatuk. Apa yang bisa dinikmati ketika malam terasa dingin dan tak ada kepastian. Serpihan-serpihan tembakau tua mulai berubah menjadi abu dan asap yang lenyap diterpa angin. Begitu asap mulai membentuk sketsa dan semuanya hilang begitu saja. Inikah akhir dari cerita cinta. Ketika kau hisap dalam kemudian kau hembuskan asap seperti membuang angin dan lenyap tanpa bekas karena abu yang tersisa pun tak begitu berharga sementara kau akan sangat menyesalinya, bukan lantas karena api yang membakarnya, tapi karena kau pun lenyap meninggalkanku seperti angin. Selintas berhembus kemudian hilang. Dia masih duduk, seperti menunggu. Rokoknya tinggal setengah. Dia tidak bisa menahan diri untuk menghisap. Sementara malam semakin dingin. Menanti detik-detik waktu yang berguguran seperti daun di musim kemarau telah membuat rokok pun tak terasa berbeda. Berkali-kali dia merokok, berkali-kali juga dia telah menyesalinya. Api telah membawanya hilang dan terbakar habis. Sedang dia tak pernah mendapatkan apa pun selain penyesalan. Sudut yang gelap, tak ada cahaya. Asap putih terbang menari gemulai dan penuh gairah. Bibir kering yang penuh dahaga. Mata pun mulai padam karena gelap telah membutakannya. Mungkin, dia akan menyerah pada akhirnya. Membuang puntung kemudian menginjaknnya. Mencampakkannya seperti tisu yang ternoda. Bukan saja tak berharga, setelah kau hisap habis kenikmatannya. Dia melepahkanya seperti sepah. Padahal, tanpanya dia pikir bisa menahan dendam. Dia bangkit dan berdiri, memandang jauh ke depan. Terkadang, cinta bisa begitu bergairah terbakar api, kemudian kau hisap dalam, semakin terbakar habis lalu kau buang, tidak saja kau campakkan kemudian kau injak-injak seperti sampah bahkan kau tak sempat memalingkan muka. Menatapnya barang sejenak. Dia pun pergi mencari yang lain, karena malam tentu semakin dingin. di sudut yang paling gelap. Puntung itu terabaikan. Bahkan oleh pemiliknya sendiri.
Sejak mama menemukan foto seorang perempuan di dalam saku ayah, mama tak pernah terlihat tenang berhadapannya. Sesekali mama bertanya dengan nada tinggi, kemudian membentak dan marah. Tapi ayah selalu mengelak dan tidak mengakui wanita yang ada di dalam sakunya. Mama menyebutnya wanita jalang. Ayah pun tak menerima, dia mengatakan wanita itu adalah temannya. Lantas kenapa ada foto di dalam saku. Sungguh mencurigakan, untuk apa foto itu. Ayah pun tak bisa menjawab. Dia hanya mendengus kesal dan mengatakan mama terlalu ikut campur. Aku pun hanya diam sambil terduduk mendengarkan mereka beradu mulut. Suaranya tentu terdengar hingga ke luar, terlebih saat ayah marah dan mulai memaki-maki, menurutku tak pantas.
Mama masih berkabung, matanya tampak masuk ke dalam. Mungkin, semalam mama tak bisa memejamkan mata lantaran terus memikirkannya. Aku tahu ma, kau masih mencintai ayah. Tapi apakah kau tak cukup sadar akan luka yang telah merobekkan hatimu. Dan dia pergi begitu saja tanpa memalingkan muka. Dia tak lebih dari sekedar belati bagimu. Semakin kau memikirkannya maka luka yang kau rasakan semakin dalam. Aku ingin mama tahu, aku lebih mendukungmu. Ayah memang tidak berperasaan.
Aku coba menenangkan Mama, sapu tanganya basah penuh air mata. Mama hanya terduduk di ranjang tempat mereka berdua memadu cinta. Akan tetapi tak ada cinta lagi di sini, sorot pandangan mama pun kosong. Matanya sembab, aku hanya bisa memeluk Mama. Mama tak berbicara sepatah kata pun, memandangi foto pernikahan itu dengan sesunggukan. Aku pun larut dalam kesedihan, Mama aku akan selalu bersamamu. Aku sadar bahwa perceraian tidak membawa kebahagiaan bagiku. Mungkin bagi Ayah, aku tidak tahu. Aku mulai membencinya.
Mungkin kau akan setuju dengan pendapatku. Sejak Ayah pergi, mama pun meraung-raung di kamarnya. Aku bingung, apa yang tengah terjadi. Kau tahu, Ayah menceraikan mama. Aku lemas dan tak kuasa berdiri. Malam itu, yang terdengar di telingaku hanya pertengkaran, ditutup dengan pintu yang terbanting dan mama sesunggukan di dalam kamarnya. Aku hanya terdiam. Tiba-tiba mataku pun terluka. Aku ketuk pintu kamar mama, tak ada jawaban. Aku benci perceraian. Apakah kau pikir perceraian tidak berpengaruh apa-apa terhadapaku. Kau sama sekali tidak memikirkannya.
Semua hal akan tampak terlihat lebih indah pada waktunya. Pada waktu yang telah ditetapkan dan kenyataan pun berjalan sebagaimana mestinya. Ada waktu untuk menunggu dan menanti penuh harapan. Ada waktu untuk menangis karena kesedihan dan penyesalan yang begitu dalam. Ada waktu untuk tertawa pada hal yang lucu. Ada waktu untuk diam dan menatap kosong tentang jalan hidup yang tak pasti. Ada waktu untuk berserah diri dan merelakan semuanya dengan penuh keikhlasan membiarkan segalanya terjadi. Ada waktu untuk melepaskan diri dan menyadari sepenuhnya kehidupan harus terus berjalan. Masih ada waktu untuk membuatmu bertahan, tentang cinta, masa depan dan kehidupan yang sebenarnya. Kau hanya perlu waktu untuk membuktikannya terjadi. Atau tidak sama sekali.
Apakah selama ini kita hanya bersandiwara, dan berpura-pura tampak lebih nyata. Bertemu denganmu, kemudian tersenyum. Menyapa, kemudian saling bicara. Bercerita kemudian saling bertegur sapa. Aku dan kamu, kita. Menggenggam tangan dan saling menatap dalam. Kemudian mengedip dan senyum kembali merekah. Aku menyentuhmu, membelaimu. Kau pun menatapku, kemudian menyentuhku. Lalu aku hanya mempunyai bahasa tubuh yang tak perlu dikisahkan. Karena kita sama-sama tahu. Waktu berjalan begitu cepat, sehingga aku tak bisa menghentikannya barang sejenak. Bahkan untuk menghela nafas. Karena kau seperti terburu-buru. Dan aku tidak memberikan kesempatan padamu untuk jeda. Aku lebih suka waktu berjalan lebih lambat, atau terhenti saja. Tapi kau seperti tak mempedulikannya, kau hanya lebih memerhatikanku. Aku suka, barangkali ini lebih dari sandiwara. Karena dengan atau tidak sekalipun, kau bersamaku. Mendekapku sedekat ini. Tak berjarak dan kutahu, kau sangat menyukainya. Saat kisah ini tampak lebih nyata, untuk kau rasakan. Kau sentuh, membekas.
Sebentar lagi pernikahanku. Apakah kau tahu, aku masih memikirkannya. Maafkan aku, aku tak bisa membohongi perasaanku. Aku masih mencintainya, bisakah kau mengerti posisiku. Kau melamarku tiba-tiba di saat aku bimbang. Dan kuterima saja niat baikmu lantaran hatiku hampa. Akan tetapi, detik-detik menjelang pernikahan begitu menyiksa. Dia pun mendadak datang dan mengiba, mengumbar janji dan bersumpah cinta. Apa yang harus kulakukan, antara tetap menikahimu dan meninggalkanmu untuknya. Sungguh, bukan maksudku mempermainkanmu. Aku tahu, cinta kadang datang pada saat yang tidak tepat. Sementara ini, apakah masih perlu membahas cinta. Membahas perasaan dan kisah klasik untuk masa depan. Ini pilihan sulit bagiku. Aku terus memikirkannya, karena sesungguhnya aku lebih mencintainya. Aku mulai putus asa, antara keduanya untuk tidak memilih sama sekali. Aku tidak ingin menyakitimu, apakah ini masalah waktu. Aku harap kau mengerti. Semoga pernikahan ini akan tetap terjadi. Entah antara kau atau dia yang akhirnya menjadi pasanganku pada hari pernikahan, berikan aku waktu. Untuk sejenak berpikir.
Tanpa kau tahu, hari-hari telah tertutup usang dan selalu terganti. Tapi hatiku selalu terlihat baru dan menarik untukmu. Takkan terganti. Aku tidak membual. Apa yang sebenarnya dinyanyikan para penyair untuk merayu kekasihnya. Apakah semacam puisi dan sajak-sajak penuh cinta. Puisi akan tampak tidak berharga karena selalu penuh dengan kiasan. Ada hal yang lebih sederhana untuk diungkapkan. Ketika kau mungkin merasa harus membacanya, kau takkan perlu berpikir. Hanya terlintas dan setiap deret huruf mudah terbaca, juga mudah untuk kau pahami. Kau bayangkan saja, seperti selembar kertas, aku adalah kertas. Itu tampak terdengar jelas. Tidak rumit seperti warna senja keemasan yang berubah jingga ketika matahari mulai karam dan hatimu temaram manakala nyanyian di ujung musim tak lagi terdengar. Daun pun mulai berguguran, seperti pahlawan. Aku pun bisa gugur, menjadi satu dari jutaan daun yang jatuh. Terhempas, kemudian terinjak. Lalu usang, ada yang mudah diterbangkan angin. Mungkin, aku adalah bagian yang mudah terbakar oleh api. Tiba-tiba aku berada di tumpukan sampah, aku terbuang. Aku tahu, kau tidak akan membuangku, membuang setiap kesempatanku untuk percaya. Bahwa kau satu-satunya yang kucintai. Aku sedang tidak merayu. Percayalah.
Ini kisah sedihku. Aku pecundang. Mungkin aku lebih pantas disebut bodoh. Benar saja, aku meninggalkannya. Aku sudah tak sanggup lagi, menjalani cinta ini. Dia pun tersiksa, karena begitu mencintaiku. Apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak punya pilihan, daripada menyesal nanti. Aku ingin kau tahu bahwa aku tidak pantas untukmu, apa yang bisa kuberikan. Semua ini bukan tentang cinta. Semua ini tentang kenyataan. Aku tahu bahwa aku sangat mencintaimu, dan kau juga merasakan hal yang sama. Tapi aku tak tahu, bahwa cinta bukan kisah antara aku dan kamu semata. Cinta lebih pada kisah antara keluargaku dan keluargamu. Sungguh, aku tak bisa. Aku tidak bisa memaksa. Karena aku tak ingin merusak keluargamu. Aku lebih baik mengalah, atau lebih tepat menyerah. Maafkan aku, kau begitu bersedih dan sungguh menyayangkan hal ini terjadi. Tapi aku juga sangat kehilangan. Apakah ini demi kebaikan. Salahkan saja aku, aku memang pecundang.
Aku tahu, dia memang sengaja menyembunyikannya dariku. Saat kutanya, dia selalu berkilah dan menutup mulut. Matanya yang sendu terbingkai kaca mata sehingga tak mudah ketemukan kebohongan dalam setiap mimiknya. Dia hanya tersenyum, atau mungkin lebih tepat menyeringai. Setelah lama kucari, dia memang selalu bungkam. Sesekali hanya memandang dan tak banyak bicara. Ketika kutemui pun dia hanya bisa menggelengkan kepala dan terdiam kembali. Aku menunggu reaksinya, tapi dia tetap bergeming. Apa yang dia khawatirkan, aku hanya ingin mengetahui, itu saja. Ketika kutahu namanya, aku tidak akan memaksamu untuk bicara. Aku akan sangat berterima kasih padamu. Namun, lagi-lagi kau hanya mengulas senyum di bibirmu, dan tak kudapatkan sepatah kata pun yang keluar dari lidahmu yang kelu. Apakah ini tentang nistamu. Aku tidak menuntut apa pun sekiranya kutahu dia bersalah atas itu. Aku hanya ingin kau mengatakannya sekali saja, sebutkan namanya. Aku tidak ingin memaksa, mungkin harus lebih bersabar menunggu dan menantikan saat yang tepat bagimu untuk bercerita. Kenapa kau lebih memilih diam, di antara jutaan nama yang terlintas di kepalamu. Sebutkan satu saja untuk mengakhiri segala penderitaanku ini. Aku sangat menyayangimu, tapi aku mohon bicaralah padaku. Siapakah dia, aku bisa lebih dewasa untuk menyikapinya, walaupun kutahu perbuatannya sangat menyakitkanmu. Aku punya cara tersendiri untuk menuntaskan dendammu. Aku tahu, ketika kebencian yang kulihat di matamu terhalang kaca, akan tetapi senyum yang terkembang di bibirmu kurasa palsu. Kesakitan yang kau dera selama ini terasa di ujung mataku, kau hanya diam. Sesekali menggeleng, lalu tersenyum. Jika kutanya kau hanya mematung tak berkata apa-apa. Aku tak lelah menunggumu bicara, sampai kapan pun aku akan menantikan jawaban darimu. Ketika kutahu yang sebenarnya terjadi aku pun tak percaya dan sungguh tak menyangka. Kau begitu baik di mataku, dia telah membuatmu menderita. Aku akan menjagamu. Ketika kau butuh, aku selalu siap dan bersedia melayanimu. Tapi aku mohon kau harus bicara, agar segala tanda tanya di benaku tak lagi menghantuiku, dan rasa bersalah ini akan terobati. Kemudian aku akan membawamu dari sini. Berharap aku bisa memulihkanmu. Kurasa, kau pun merasakan itu, dimana rasa diam adalah kunci untuk menyembunyikannya. Aku akan gali sedalam apa pun tanah yang kau timbun dalam benakmu, kutahu kau hanya tak siap untuk bercerita. Perlu kau tahu, aku siap mendengarkan curahan hatimu kapan pun kau mau. Aku selalu di sini menantikanmu, berkisah tentang siapa penyebab dari semua masalah ini. Bebaskanlah hatimu, buka matamu. Aku begitu menyayangimu dan aku rela berkorban apa pun untukmu. Untuk kali ini saja, biarkanlah luka itu kubuka sejenak untuk kutemukan jejak pelaku yang menorehkannya padamu. Bukankah telah kukatakan bahwa tak baik untuk memendam sekam yang kemudian bisa membara dan membakar perasaanmu sendiri. Ceritakanlah padaku sayang, aku akan berusaha untuk mengakhiri penderitaanmu. Aku tahu, kau hanya perlu waktu untuk membuka kembali luka lama di masa lalu untuk kututup kembali selamanya. Aku perlu namanya, bisakah kau sebutkan saja. Aku ingin membebaskanmu dari belengggu ini, ketika kenistaan yang kau alami akan segera kusembuhkan. Tak perlu menyesal, semua telah terjadi. Di sini, aku menerimamu dengan pendirianku, bahwa kata pun lebih mudah dimengerti dalam bahasa yang sederhana. Perasaanku pun sebenarnya adalah sebuah kata yang tidak membuat dadamu berdegup kencang ketika memikirkannya. Aku menerimamu dengan segala kesungguhanku apa adanya. Tapi aku ingin kau menyebutkan namanya. Berjanjilah padaku, akan kusimpan baik-baik. Seperti aku menjaga perasaan ini agar tak mudah tergoyahkan badai. Dimana celah yang membuatmu ragu, bahwa aku sangat peduli padamu. Aku ingin kau berjanji padaku untuk mengungkapkan namanya padaku, sekali saja.
Gerimis kembali menghujani tanah, kemudian basah. Aroma tanah selepas hujan selalu memberikan kenyamanan, mengingatkanku padamu. Pada kisah malam yang kian temaram berganti menjadi tetesan hujan. Lalu kau menarikku untuk bernaung di beranda, tanpa kusadari deru nafasmu terdengar dekat. Lalu rasa dingin yang menjalar membuatku semakin merapat. Kau hanya tersenyum, di bawah rintik hujan yang terdengar merdu. Kita bercumbu pada desah yang berubah menjadi basah. Gerimis menjadi bahasa hujan yang membisikkan kata rindu lebih dekat ke telinga terasa meniupkan udara dingin. Lalu kau bersembunyi di balik jaketku, dan badanmu terasa hangat, bahkan saat aku masih memelukmu erat, tak ingin kulepaskan sampai gerimis reda. Kau pun tersenyum tanpa jeda.
Aku merintih, tetap kupaksa. Keringat pun mengucur, dadaku terguncang. Aku takut ini adalah akhir dari segalanya. Setelah kutelan beberapa pil semalam, aku harap ini akan bekerja. Ketakutanku menghantui pikiranku untuk tenang. Tak perlu risau, kau juga tidak peduli. Awalnya memang cinta, selepas benci dan aku mulai mengutukmu. Kau telah menanam benih di rahimku. Padahal aku tahu ini belum saatnya. Aku memang menyukaimu dan sangat mencintaimu. Tapi bisakah kau lebih bertanggung jawab dan menyadari perbuatanmu. Aku tak bisa berbuat apa-apa manakala kutahu bulan tak datang lagi padaku. Ini adalah hari ujian, aku tak bisa fokus mengerjakan karena perutku mual sekali. Setelah meminta izin aku pun masuk ke dalam toilet, tempat dimana aku besembunyi dari rasa malu. Tiba-tiba darah menetes dari balik celanaku, kemudian mengucur. Obatnya mulai bereaksi, apa yang harus kulakukan. Desahan dan rintihan tak lagi bisa kutahan, karena sesuatu yang mendorong alat vitalku begitu memaksa keluar. Kepalaku mulai limbung dan terasa pusing. Mataku berkunang-kunang. Kudengar seseorang mengetuk pintu kamar mandi, aku hanya merintih. Dan aku lupa lagi apa yang terjadi selanjutnya, tentang berita kehamilanku.