Hari telah kembali kelabu, seperti usang dan lapuk karena waktu. Hati pun menepi enggan untuk berbagi bersembunyi di antara mimpi-mimpi. Sejuta angan tergantung di langit, sejuta rindu terbang tak tergapai. Hidup menjadi lebih kosong karena cinta hanya senyawa kimia. Di antara kepingan rasa benci yang mulai tumbuh menjadi duri. Aku tak berani untuk melangkah bersama sisa luka yang tertinggal. Sisa cinta yang masih tersimpan, menyuburkan rindu yang kembali tumbuh dalam setiap waktu. Kenangan, tak memberiku pilihan untuk berjanji menghapusnya dari memori. Kini, cinta yang telah membeku tak pernah mencair. Selepas angin yang mulai menerpa badai di akhir senja. Berharap, aku bisa menatapmu sesekali dalam mimpi. Memelukmu dalam bayangan.
Seperti yang kau janjikan, aku datang malam ini. Di tempat yang kau suka dan kurasa tampak lebih sepi dari biasanya. Hatiku begitu ramai karena jantungku sedari tadi berdugem kencang. Aku tak tahu, apa yang akan terjadi. Perasaanku mengatakan kau akan datang sembari menyembunyikan setangkai bunga di balik punggung, kau tersipu malu memberikannya padaku. Di tempat ini, tempat aku jatuh hati padamu, lirih musik terdengar pelan ketika petikan gitar itu mengiringi anganku lebih jauh. Sementara hatiku kemudian jatuh di pelukanmu. Detik demi detik saling menyusul pergi. Malam semakin tenggelam. Aku pun masih menatap secangkir resah yang mengepulkan frustasi karena mataku sibuk mengedarkan pandangan. Malam terasa dingin ketika kecemasan menguasaiku. Aku harap kamu datang. Semua kegetiran ini bercampur sendu karena rindu telah menyatu di dalam secangkir kopi yang kusesap perlahan-lahan agar tak segera pergi. Begitu lama kedipan mata melambat menunggumu datang. Pesan singkat kukirimkan. Kau pun tak membalas. Aku cemas, berharap penantian ini berakhir bahagia, kulihat rupa rembulan menyeringai padaku. Aku tak suka, berada dalam titik ragu dan tak pasti setelah kutahu cinta semakin rumit untuk kupahami. Sejak, aku tahu cinta tidak selalu indah. Kau pun tak datang, setelah tegukan akhir kopiku menandai padamnya lampu cafe. Jam satu pagi.
Kuingin lebih dari sekadar rasa, tapi kau tak mengerti. Bagaimana keinginanku untuk bisa kau pahami. Perasaan ini bukan maksud menuntut hanya saja tak pernah aku berhenti untuk berharap. Agar kau lebih memahami perasaanku. Ketika kepastian seperti angin sore dalam musim hujan. Entah, gerimis akan mengiringi nyanyian kepiluan hati menerpa rindu ketika rintik menjadi jejak dan hati seperti tak mengakui. Bahwa aku masih mencintaimu dalam diam. Dalam bisik masih kutiupkan rindu yang kini mulai membisu. Di antara rerumputan yang kini mulai layu, aku terkulai bukan lantaran luka. Tapi cinta telah melemahkanku. Untuk tetap berdiri dan bertahan seperti dulu, menjadikanku selayaknya rintik hujan yang mengalun merdu. Sejak, hari yang kuanggap kelabu. Sementara langit pun berubah mengabu, ketika dinding-dinding senja kini berwarna abu. Hati pun seakan terselimuti kelambu. Coba sedikit saja berikanku pengertian, mencintaimu tanpa syarat.