Sedikit serius dulu ya
buat kamu yang suka nonton film
horor, Conjuring 2 by James Wan mengingatkan gue pada film horor ‘70 dan ’80 an,
seperti era “The Omen” and “Poltergeist. Gue juga suka aksen British sepanjang
film.
Film ini tentu saja menceritakan
pasangan pemburu hantu Ed (Patrick Wilson) and Lorraine Warren (Vera Farmiga) yang
menginvestigasi dalam kasus “The Amityville Horror.” Lorraine yang punya
kelebihan sebuah penglihatan itu secara alami mengalami pengalaman supranatural
untuk melihat rangkaian kronologis latar belakang peristiwa. Lorraine
dianugerahi kelebihan itu untuk mengetahui kasusnya sebagai sebuah tipuan atau
memang “Demonic”
Kemudian cerita film berlanjut
dan lompat pada kisah yang terjadi di Enfield, England. Kita akan diperkenalkan
oleh keluarga Hodgson, single parent yang memiliki empat orang anak. Salah
satunya bernama Janet (Madison Wolfe). Masalah kemudian diawali dengan
kebiasaan dia tidur berjalan di tengah malam. Roh jahat bernama Bill Wilkins
(Bob Adrian) yang merasuki tubuh Janet, mengendalikan, berbicara, bahkan
mengancam.
Kejadian horor di rumah tua ini
sontak menjadi populer dan bahan publikasi media massa. Kemudian utusan dari
gereja Roma mendatangi sepasang Ed dan Lorraine untuk meminta pertolongan
menangani kasus Janet yang dianggap sebagai next Amityville. Untuk dibuktikan
apakah tipuan atau memang serangan demonic.
Di Conjuring 2 James Wan yang
berkolaborasi dengan cinematographer Don Burgess—Forrest Gump—berhasil
memberikan sugesti seram bikin merinding lewat trik kamera dan mainin angle
perspektif. James Wan menggunakan seluruh elemen kejutan; sudut gelap, lukisan,
kamar yang sempit, air menetes dari kran, suara gedor pintu, tenda kecil,
ayunan, lorong. Dengan floating kamera yang bergerak itu membuat mata penonton
dituntun kamera.
Beberapa scene yang gue catat
filmis dan keren; Janet di balik selimut dengan senter. Janet nempel di
langit-langit dinding dan Bill naik tangga. Ed di basement ngodok-ngodok benda
jatuh di air yang ternyata gigi palsu.
James Wan memainkan seluruh
elemen seram baik dari gambar, suara, karakter, asumsi, dan puzzle story. Kita
diajak berimajinasi dan terlibat dengan nasib setiap karakter. Anjing yang
memencet bel juga mengingatkan akan film “The Omen” and “The Shining," dari
sudut pandang yang lebih modern.
Acting Janet (Madison Wolfe)
memang bagus banget. Nggak takut rambut kusut. Wajah pun terlihat ketakutan
dengan meyakinkan. Tidak perlu banyak bantuan visual effect dan CGI untuk
memberikan kesan Janet yang kerasukan. Make up yang natural dan pas. Janet
memberikan garansi dalam film ini seperti apa rasanya takut, seperti apa
rasanya terancam, dan seperti apa rasanya menjadi Janet dalam film.
Conjuring 2 juga agak romance.
Chemistry Ed (Patrick Wilson) and Lorraine Warren (Vera Farmiga) sangat kuat.
Bahkan keduanya harus mengucapkan kata-kata puitis di tengah konflik yang
memuncak. “Satu orang bisa mengubah segalanya,” “Aku mencintamu,” “Apa yang
kamu lakukan ketika menemukan orang yang bisa percaya dengan apa yang kamu
percaya?” “menikahinya”. Kalau melihat mereka berdua, tatapan matanya,
gesturenya, dan timbal balik karakter membuat penonton sejenak lupa kalo sedang
menonton film horor.
Film jenis "The Conjuring
2" akan punya kesan kuat. Dengan rasa kagum teknik film dan cerita yang
oke. Termasuk dengan impact seram, merinding, takut, kaget, dan sedikit
mencekam. Kumpulan momen suprise banyak hadir dan kejutan seram terselip di beberapa
scene film. Tentu saja, cerita hantu tidak memiliki dampak
yang sama kedua kalinya dari orang yang sama. Bahkan dari film yang paling
menakutkan.
Nah, baru kita bahas reaksinya ya... Gimana
ya kalo rumah itu ada di Indonesia
Tentu saja,
punya rumah di kompleks yang sebenarnya punya, “Hook” membuat Keluarga ibu
single-parent Peggy Hodgson sedikit terpinggirkan. Agak anehnya, kehidupan
bertetangga mereka itu individualis banget. Tetangga yang paling dekat pun Cuma
tetangga depan rumah yang bernama Vic. Peggy—janda miskin—yang punya tetangga
satu dan ditinggalkan suaminya kawin lagi itu berada dalam titik terendahnya
setelah Janet kedapatan merokok ditambah dengan kerasukan arwah yang
merepotkan. Arwah dalam tubuhnya yang bernama Bill itu mau merebut kembali
rumah dan nggak mau pergi sambil menebarkan teror.
Bill ini
suka duduk di sofa tua yang udah robek-robek gitu dan hobi nyolong remot tv.
Katanya sih itu sofa favorit sebelum dia menghembuskan napas terakhirnya.
Agaknya, Peggy harusnya pintar ya untuk memfoto sofa itu, lalu menjualnya di
toko Online. Tentu saja dengan menyembunyikan fakta sofa bekas mayat ya agar
bisa terjual dan pindah ke tangan pembeli. Kalo perlu nggak Cuma itu, mobil
pemadam kebakaran yang bisa jalan sendiri, tali yang biasa diiketkan ke Janet,
selimut yang dibikin tenda, dan lampu “manusia bengkok” bisa dijual ke toko Online. Mungkin masalah keuangan
Peggy sedikit teratasi.
Tapi, Peggy
harus khawatir dengan sekering yang tiba-tiba mati. Bisa jadi karena lupa top up
token listrik. Jangan mencurigai setiap mati lampu adalah ulah hantu ya. Peggy
ini harusnya bukan takut ya tapi marah dikerjain hantu. Kenapa hal itu terjadi,
jelas aja masa kursi bisa pindah sendiri. Peggy capek dong kalo harus beresin
rumah dua kali. Bahkan Polisi yang datang setelah laporan tetanganya itu mendengar
suara gemuruh di dalam tembok sekaligus menyaksikan sendiri adegan kursi geser.
Kenapa tidak kulkas atau lemari baju? Mungkin agak berat bagi hantunya. Polisi
langsung kabur karena takut. Tapi, kalau hal itu terjadi di Indonesia sama
sekali kita tidak akan memanggil Polisi. Paling hansip dan pak RT yang hadir
duluan. Bukan minta tagihan uang kebersihan, tapi barangkali menawarkan bubuk
Abate. Kita akan memanggil dukun atau orang pintar. Kalo punya kenalan pemuka Agama,
kita panggil ustad atau Kiyai.
Tapi,
kejadian Janet dirasuki arwah dan mengalami berbagai pengalaman Astral itu
harusnya sampai kedengaran ke tetangga sebelah rumah. Piring pecah, gedor pintu
keras, kaca pecah, kursi kebanting jelas berisik sekali. Ini potret keluar Peggy
dikucilkan dari pergaulan masyarakat. Bukan saja berita Janet bisa melayang
yang diketahui setelah baca koran dan nonton tv. Mungkin, rumah Peggy Hodgson
akan dijadikan lokasi uji nyali. Beruntung, jika ormas islam dan majelis taklim
hadir dalam acara pagi setelah subuh untuk memberikan ceramah sekaligus
menggelar tahlilan pengusiran hantu.
Bayangkan,
setelah pemberitaan heboh di televisi seorang anak kecil yang punya suara
kakek-kakek terkenal barangkali oleh Peggy didaftarkan ajang pencarian bakat.
Minimal, rumahnya dikerubungi warga yang menaruh karangan bunga sambil selfie
ria. Padahal ya, tetangga rumah Peggy itu terbilang elit lho. Rumah lebih
besar. Boro-boro masih bantuan, kepo aja nggak. Cuma Vic yang peduli dengan
nasib Peggy dan anak-anaknya. Masih mau memberikan nginep gratis di rumahnya tentu
saja dengan bonus teror hantu dan bikin perabotan rumah hancur. Nyesel kan lho.
Kesenjangan
sosial itu terasa sekali ya di kawasan kompleks rumah Peggy. Penasaran, setelah
pemberitaan rumah berhantu itu kira-kira pintu rumah Peggy bakal diketuk
pedagang panci keliling, debt kolektor, atau peminta sumbangan mesjid nggak ya?
Atau dapat serangan fajar berupa minyak dua liter dan Sembako beras dengan
selipan kaus partai. Ah rasanya nggak mungkin.
Agak
baiknya, mungkin harusnya Peggy mendekatkan diri pada tuhan. Kenapa persoalan
hidupnya begitu pelik dan menyulitkan. Ditinggal suami kawin lagi. Anak-anak
banyak dan tidak ikut program KB. Jauh dan dikucilkan dari masyarakat. Peggy
bukan saja gagal menjadi seorang ibu, tapi gagal jadi anggota masyarakat. Di
bulan puasa yang penuh berkah, selain karena himpitan ekonomi mungkin Peggy
bisa mencoba metode puasa untuk menghemat banyak anggaran biskuit yang gue
yakin sih kalo bukan Regal itu pasti merek Roma.
Mana biskuitnyaaaaaa!!! - Malak |