Akhirnya, aku mengerti. Apa yang ada di pikiranmu saat ini. Aku tahu, ketika raga tak lagi bersama. Hati saling bertaut tapi jarak begitu terbentang memisahkan kita. Ketika yang kau inginkan adalah ragaku, sementara aku hanya bisa menatap bulan. Entah, sampai kapan aku bisa sampai ke bulan. Apakah aku telah merasa lelah karena kerinduan yang menyiksa. Ketika kau mungkin punya rasa terhadap orang lain. Dan aku tidak bisa berbuat apa-apa. Karena kupasrahkan saja semua pada waktu. Bagaimana cinta menguatkanku. Aku percaya sepenuhnya, padamu. Aku selalu memikirkanmu, di antara mimpi-mimpi yang terlelap ketika malam. Berharap hatimu tak berubah. Untukku.
Kapan terakhir kali kau merasa bahagia karena cinta. Bahagia dengan luapan perasaan tak tertuliskan. Bahkan tak mampu terjamah kata-kata. Saat itulah kau merasa, betapa berharganya dicintai. Menjadikan gelap malam penuh bintang. Sekelumit masalah menerpa kemudian lenyap dari pandangan mata. Hidup terasa ringan. Tapi seketika kau rasakan jatuh. Bahkan saat perasaanmu masih penuh dengan bunga. Seketika bunga-bunga kering lantas mati. Bukan saja layu tapi juga sendu. Bahkan bunga pun butuh cinta. Maka apakah hatimu kering karena cinta telah hilang. Sementara kemudian hatimu terkunci karena tak kau temukan cinta yang sama.
Hatiku berbunga. Ketika kusapa dirimu dan kau sambut tawa lepas dan berhasil merampas keresahanku. Kutahu, dengan suaramu saja. Bahkan seketika langit pun menyala. Aku senang sekali. Karena bukan saja harapan yang membuatku tegak berdiri. Senyummu, dalam mimpiku. Bukan sekadar maya, mimpi bukan sekadar janji. Mungkin sekeping cerita menjadi sajian hangat di pagi hari melepas rindu dan sendu. Aku suka walaupun hanya sekejap masa. Berbagi kisah saat mentari sedang tersenyum menari-nari. Aku suka, ketika dirimu bahagia. Selalu berharap begitu. Bahkan jika saat terpisah nanti, kudengar kau bahagia. Bisa-bisa aku menitikan mata haru. Arti dari cinta tak harus memiliki. Ternyata, aku masih memilikimu. Di hatiku, kau selalu ada. Merasakan betapa kebahagiaan terlepas dari arti bersama, di antara air mataku yang jatuh. Bersembunyi dari kesedihan.
Secepat itukah rasa cinta itu pergi, ketika aku masih berdiri menanti. Sedangkan semalam aku masih memimpikanmu. Secepat itukah rasa sayang itu hilang, ketika sampai detik ini pun wajahmu masih terbayang. Aku pun tak mengerti. Ketika garis lurus bertemu pada satu titik dan aku berusaha untuk menjauh, pada titik lain aku pasti bertemu denganmu. Bagaimana kalau kau tak ingin. Rasa galau kembali menghampiri. Sesaat, cinta pun berjarak. Memandang jauh bintang bekerlipan indah, tapi selamanya tak kan pernah kuraih. Kau indah disana, sedangkan hatiku di sini. Bahkan, kenangan pun tak sanggup mengembalikannya. Cinta kemudian perlahan pergi. Tapi bintang tetap indah disana. Biarlah, ketika cinta pergi sekalipun. Masih ada cerita bintang jatuh. Aku mencintaimu, entah sampai kapan. Atau haruskah kukubur untuk selamanya. Bersama jasadku dan perasaanku. Kau menjadi begitu diam, bukan lagi tak mesra. Kau pun tak bertanya. Ternyata, apa yang selama ini kutakuti benar. Cinta akan berakhir dengan kehilangan yang tak terelakkan. Meski, perasaanku masih sangat mencintainya.
Barangkali cinta tak seharusnya ada. Ketika rasaku tak menemukan tepian lagi karena hatiku jatuh berserakan pecah hingga berkeping. Mencintaimu tak terukur masa dan waktu. Kurindu, memandang bingkai parasmu yang lucu sambil tersenyum menatap manja padaku. Malam itu, aku benar-benar tak bisa menahan bendungan air di mataku. Karena tiba-tiba mataku meleleh. Air pun menerjang dan dadaku terguncang. Hatiku sakit karena kelemahanku. Tak pernah bisa lepas darimu. Apakah kenangan menjadi tak berarti lagi di kemudian hari. Sementara selalu ada perasaanmu di setiap benda-benda. Di setiap mimpi-mimpi. Maka di setiap gambar dirimu, aku selalu ingin. Memelukmu dari belakang. Sesaat hembusan nafasmu tertahan karena kudengar isak tangis. Dan pelukanmu merenggang karena tak rela. Matamu basah. Aku tahu bukan saja matamu, hatimu pun menangis. Karena kita tak pernah rela cinta menyakiti. Sedang aku masih cinta.
Mengapa, kau tak semesra dahulu memelukku karena ingin. Ketika kau berbisik karena cinta. Dan hembusan nafasmu terasa mengalir di dada. Aku ragu, ketika kebisuan ini menjelma resah dan gelisah. Tak ada yang bisa mengobati selain kerinduan yang bertemu karena harap. Lalu aku memelukmu karena dingin. mencumbumu karena bunga telah merekah merebakkan wangi nan candu. Alunan rindu menjadi syahdu. Aku ingin. Karena semalam mendung kembali datang karena kau tak juga membalas kerinduanku. Sementara buah ranum di pucuk randu. Aku bisa sangat menangis karena pesanku tak terbalas. Ketika hasratku tak bertemu puas. Ketika sebagian ragaku terlepas. Dan perasaanku diliputi kegalauan yang terlalu. Bahwa sampai detik ini aku masih berusaha. Untuk bisa berdiri pada satu keyakinan. Cinta selalu mengobati. Meski rindu semacam pisau belati yang mampu menusukku. Hingga berdarah.
Saat kau tahu bahwa hidupmu tinggal sejengkal tangan, menyadari bahwa hidup tak lepas dari kesalahan. Ketika kau rasa rindu juga berlaku sama seperti luka. Ketika daun diterbangkan angin pun terhempas jatuh, begitu juga perasaanku. Ketika hatiku ini kuserahkan padamu. Segala yang kuketahui adalah tentangmu. Kebahagianku adalah senyum terindahmu. Aku seperti tak punya waktu lagi. Sikapmu berubah, aku pun bersedih. Entah, kenapa cinta tak membawaku pada ketenangan. Sementara resah dan gelisah selalu mengganggu. Kupikir cinta tak akan pernah luluh. Tapi rasanya hatiku mencair manakala kau pun menemukan tautan yang lain. Tak kuasa kubendung rasa sedih ini menjadi luapan sungai yang membanjir diantara sisinya, aku masih sayang.
Getir hati yang teriris karena pedih sementara turun perlahan gerimis, malamku kini kembali ranum bersama segelas resahku yang mengepulkan kerinduan. Di antara purnama dan selimut hitam di angkasa, aku bisa melihat binar matamu yang memudar. Kemudian perlahan-lahan lenyap. Meresap ke dalam ronngga-rongga perih hati yang terbalut luka. Cintamu adalah pujaan, seperti perhiasan. Kau begitu berharga, melebihi kata berarti. Kemudian mengalun nada-nada sendu dari bias permukaan mataku. Mengalir lagu kesedihan. Rintik-rintik hujan seakan bercengkerama sangat akrab melewati percakapan mesra, berbincang mengenai romantika cinta. Menangis, memiliki sejuta arti. Sedih, melewati jutaan rasa pelik yang menguras hati. Kini, dalam sendiri kuharap. Dalam sepi kudekap. Sisa cinta yang masih tersisa di antara puing-puing runtuhnya keyakinanku, di antara kepingan-kepingan rindu yang pecah. Aku memintal sebagian benang asmara untuk selalu terkait denganmu, membentuk lembaran kisah cinta selembut sutra. Kemudian kuselimuti dirimu penuh kehangatan. Kepada segelas resah yang basah karena tercampur gerimis. Aku ingin dicinta.
Kau tahu, sebentar lagi aku mati. Itulah kata yang seringkali kudengar. Kematian adalah cerita yang menarik ketika hidup hanya menyisakan kepedihan. Sandiwara dan penuh kepalsuan. Di atas ranjangku, bisikan itu masih terdengar. Mengalun diantara helai rambutku yang terurai. Aku akan mati, ucapku. Aku telah siap. Bahkan sebelum jauh niatku muncul. Aku seperti merindukan kematian. Ketika darah yang mengalir dan mataku tak lagi menangis. Sesaat itu aku tersenyum, menyampaikan salam terakhir. Mendendangkan nyanyian cinta yang lirih terdengar mengalun. Disini, kukatakan dalam hati. Seperti yang kau inginkan. Aku akan pergi darimu, untuk selamanya. Setelah itu, aku tak akan pernah menampakkan diri dalam bentuk apa pun. Aku benar-benar akan lenyap dari hidupmu. Meninggalkan kenangan yang akan segera terlupakan. Cinta, tak perlu dipersoalkan. Cukup sederhana ketika hidup akan berakhir mati. Maka cinta pun akan berakhir sakit hati. Maka untuk menutup segala kesalahanku, aku perlu mati. Inilah akhir kisah hidupku yang tak begitu indah. Senyumku selalu untukmu.
Taburan bunga duka mengiringi kepergianmu, taburan kristal air mata melayat kepedihanmu. Kita sama-sama menggali kubur kita sendiri. Terjerembab ke dalam lorong gelap dan bersandar pada tanah. Napasku tak berhembus lagi. Tanah perlahan merasuki seluruh lubang hidungku. Lebih baik aku pergi. Daripada harus menjelma sebatang bunga akasia di tanah gersang. Sia-sia. Kau menggelayut mimpi di setiap lelap tidurku. Namun, apalah arti sebuah mimpi. Selalu berakhir dengan ketiadaan. Terlupa. Lebih baik aku tumbuh di atas pusara tanah merah yang masih basah. Karena doa-doa tergantung diantara reranting dan sepucuk surat kepada tuhan. Aku tak bisa melayarkan cinta karena perasaanku jauh dalam terkubur. Bahkan hatiku terkunci rapat karena rantai telah membelenggu oleh dengki dan kebencian, kekecewaan dan harapan kosong yang tersisa. Ke manakah tempat yang bisa membuat mataku kembali bercahaya. Aku tak menemukannya selain dekapanmu. Selain kehangatan cintamu. Di antara jurang yang memisahkan jarak, aku selalu menantikan jauh di dasar jurang. Bahkan jika aku harus jatuh ke dalam. Terbentur keras, lalu berdarah-darah. Demi cinta.
Kini lautan semakin terhisap habis lantaran mataku dangkal. Ketika kesedihan menjadi terlalu dan dasar mataku tak berair lagi. Ketika tangis pun menjalar seperti lahar dingin dan turun melewati pipi, bukan air tetapi larva pijar panas yang berasap menganak kali. Aku tak bisa mengungkap bentuk kepedihanku. Ketika rasa sayangku habis karena gelas pun pecah. Bukan separuhnya, melainkan tumpah ruah habis menyeluruh. Hatiku, sesaat kering. Jiwaku sesaat gersang. Dan mataku kembali kemarau bukan lantaran kehabisan air. Tapi karena cuaca tak lagi berpacaran denganku. Aku butuh surgamu. Ketika dahaga karena hasrat luapan kerinduan yang membuncah di tengah padang. Membentuk semacam oase yang terbayang hamparan danau. Bahkan sebenarnya sama sekali hatiku telah meradang. Kini, hanya butiran pasir yang jatuh dari mataku ketika menangis. Dan aku pun mengais butir-butir pasir itu untuk kembali kusimpan, agar aku masih bisa menangis, di kemudian hari.
Di atas pusara itu mataku hanyut dalam luruh derai tangis yang berurai gerimis. Senja telah berkabung sedang hatiku dirundung pilu. Maka tatkala kesepian dan kesenyapan hati telah menepikan rasa benci. Aku tak bisa dalam sedetik untuk berdiri di atas kaki sendiri. Menatap langit kosong dan seluruh semesta padam serta bungkam. Tak ada cinta yang benar-benar bertahan dalam tahta. Jika hati ini kemudian terpasung oleh luka. Kekecewaan mendalam serta merta merajaiku. Kau, telah membuat segala awal menjadi akhir. Ketika api pun padam pada binar-binar kerinduan. Aku hanya tak bisa, menjadikanmu semacam kisah cerita. Ketika harapan semestinya berpisah dengan realita. Maka tak ada lagi cerita tentangmu. Tak ada lagi rindu. Rindu akan purnama yang bersahaja di singgasana. Hatiku melayat. Ketika separuh jiwaku telah mati. Karena cintamu.
Kapan terakhir kali kau nyatakan cinta. Merasakan kerinduan dan lubuk hati terpenjara oleh perasaan yang tak terdefinisikan. Ketika kamus tak mampu membendung perasaanmu untuk diungkapkan. Saat itulah cinta seperti syair yang dikumandangkan. Kemudian awal selalu saja bertemu akhir dan kisah cinta teramat tragis menjadi kehilangan yang tak terelakkan. Bagi kau yang baru terjatuh karena cinta, nikmatilah. Karena kau bisa jatuh. Maka kau pun bisa bangkit. Saat dirimu terhempas dan dadamu berdarah-darah karena hatimu telah terlalu terluka. Obat yang membuatmu tenang adalah keyakinanmu. Ketika kau percaya bisa untuk bertahan karena cinta, maka kau bisa berusaha untuk melepas cinta. Tinggal kesedihan dan berurai air mata meninggalkan jejak kebisuan yang beku. Hatimu rapuh karena hatimu telah jatuh. Bukan karena cinta, tapi karena dirimu. Ketika cinta memisahkan harapan dan kenyataan. Aku berharap tak bertemu di persimpangan jalan. menantimu untuk kembali dalam dekapan, cinta. Aku yakin, kenangan akan menjadi lembaran album yang bisa tersimpan, untuk kembali menikmati cinta yang tertinggal, terlalu indah untuk dilupakan. Bukan saja dalam album dan bingkai foto tapi jauh di dasar hatimu, pernah ada cinta.
Awan mulai terselimut kabut tipis keabuan. Perlahan berarak dan mulai merapat menutup kapas putih. Terdengar gemuruh tertahan hendak melawan. Ada kekhawatiran dan rasa kalut yang menyatu menyerbu dada. Perasaanku, mendung. Aku tak tahu apakah malam ini turun badai beserta angin bertiup kencang kemudian hujan menderas, atau sekadar gerimis kecil yang menggelitik karena gemerciknya menyentuh daun satu-satu. Mungkin, barangkalai hanya mendung seperti kaca tipis yang menyelimuti mata. Tak juga hendak meledakkan isak tangis atau menumpahkan kesedihan. Hati manusia siapa tahu. Begitu pun hujan datang siapa tahu. Aku tak bisa menebak. Mengetahui segalanya saat terjadi badai, mengetahuinya sesaat hujan mereda, mengetahuinya seusai tanah mulai basah. Ketika harapan itu harus terpaksa ditutup karena realita. Seketika langit padam. Tak bercahaya. Seketika air muka berubah sendu. Seketika mata hendak turun salju. Hidup telah memberikan pelajaran apa yang tak pernah tertangkap waktu. Aku mulai termenung dan hanya terduduk menopang dagu. Apakah aku bisa, siapa tahu. Cinta tak lagi soal waktu. Aku ingin segera tahu.