Tak ada garis senyum di parasku,
setelah genangan air mata membasahi pipi. Merajut kepedihan atas luka yang
mungkin tak pernah kulupakan. Kamu tahu, aku begitu besar untuk mencoba
berhenti. Tapi aku tak bisa berhenti untuk mencintaimu. Ketika kudengar
langsung dari bibirmu, itu rasanya sudah sangat menyakitkan buatku. Air mata
tumpah membanjiri malam yang akan selalu kuingat. Tentang hari kita bersama,
senyum dan tawa kita. Mungkin, Cuma tawaku. Kau tak pernah benar-benar tertawa.
Apalagi mencintaiku, aku tahu kau tak pernah mencintaiku. aku sadar, kita
saling mengerti tapi kita tak pernah saling memahami, terutama hati. Ketika segala
kurasakan dan perasaan ini mengatakan cinta kepadamu. Aku tak berhak untuk
mendapatkan cinta membalas untukku. Aku tahu, rasanya cinta sendirian. Seperti saat
aku berada di sudut gelap malam dalam keremangan lampu kamar, aku menahan sedu
dan isak tangisku. Sendirian.
Berkas cahaya senyum yang hilang,
hilang terbiaskan benci di antara serpihan rasa sakit. Sakit lukaku yang terus
memaksaku diam dalam sendu, sendu lara mengekalkan rindu yang berjejalan. Berjalan
di antara waktu yang tak pernah berhenti terlebih kembali, kembali di antara
puing-puing harapan yang terputus. Terputus oleh kebisuan sunyi yang membeku di
sudut hatimu, hatimu telah pergi menjauh dari batas senja. Senja yang kulihat
bersamamu saling menggenggam tangan, tangan yang berpelukan di ruas-ruas jari
kita yang lembut. Kelembutan yang terhapus oleh masa lalu karena cinta tak
pernah datang lagi bahkan sekalipun terucap janji, janji yang tertinggal dalam
ungkapan kosong tak bermakna lagi. Lagian aku tahu, sekalipun datang kembali
cintaku tak akan pernah sama. Sama terlihat maupun kaurasakan.
Di tengah tiupan angin yang
melambai di suatu senja, aku melihat bayangmu. Hatiku dingin, bukan lantas
ingin. Aku tidak mengerti kenapa hati begitu lelah dan rasanya ingin menyerah. Ketika
kau tak pernah benar-benar pergi. Kau bisa dengan mudah menggoyahkan seluruh
keteguhan hati ini. Bahkan aku masih ingat kapan terakhir kali aku berdiri
dalam kesunyian. Sedang bayang-bayangmu merasuk masuk tanpa mengetuk pintu. Apa
artinya aku berjuang jika seorang diri. Kita pernah punya rasa yang sama,
ketika kau bilang rasanya sudah biasa saja. Aku tahu, aku harus berhenti
tanpamu. Mungkin diantara cinta, masih ada seberkas benci yang terselip di
sudut hati. Mencoba pergi, melepasmu. Memberikan kesempatan pada orang lain
untuk mengisi relung hatimu yang kosong, sejak kau pergi. Meninggalkanku seorang
diri, tanpa ucapan selamat tinggal. Aku berdiri menggenggam seberkas bunga,
menunggumu. Akan tetapi, aku melihat kau pergi menjauh. Aku tak
pernah bertemu pada kesempatan untuk melihatmu di bagian akhir. Kau telah
membuat segalanya indah selama ini kukenang menjadi akhir dari segalanya.
Bingkai hati yang mulai basah
karena cuaca sedari tadi gerimis tak kunjung reda, aku menggigit bibir bawahku
karena resah. Gerimis selalu membangkitkan kenangan yang telah kupendam selama sepekan
ini. Jika tetesan hujan mampu menyalakan kembali kemesraan yang terlewati. Berdua
bersamamu, jemari kita bersatu saling menggenggam di bawah hujan. Lalu aku
meneduh, menghindari hujan dan kau pun tersenyum. Tatapan hangat yang begitu
lekat lalu kau mulai mendekat sehingga aku bisa merasakan hembusan nafasmu. Aku
tak bisa menjauh karena begitu terjebak pada kebisuan maka mataku tak mampu
terpejam karena melihatmu, melirikmu. Memandang hujan, seperti memandang garis
air mata di pipiku. Menetes, seperti gerimis. Lalu kulihat aku terjebak pada
genangan kesedihanku sendiri, setelah
kepergianmu. Selamat tinggal hujan. Aku akan selalu merindukanmu.