Seharusnya, aku mengelak dari keinginan untuk menempatkan ruang kecil di hatiku, untukmu. Ketika semua keraguanku akan mimpi dan cinta membayangi sekelabat dalam pikiranku. Membuatku, bertanya akan arti pertemuan yang kita lalui selama ini. Selama, mataku masih beradu pandang dan tersenyum kemudian. Siapa yang bisa menjelaskan getaran yang timbul kemudian seiring parasmu hadir dalam bingkai hatiku. Saat itu, aku harusnya tak berani menaruh hati. Sengaja, kupikir aku tak akan terjerat oleh degup jantung di dadaku yang semakin kencang. Nyatanya, aku terjebak pada dilema antara perasaan suka dan luka yang rumit dan menggebu. Ketika masih kukemas rapi berbagai serpihan kenangan di masa lalu dalam sebuah kotak penyimpanan dalam benakku. Sementara, masih begitu jelas terbayang matamu yang sendu saat terpaksa harus melepasku pergi. Berharap, saat ini aku tak jatuh pada luka yang sama. luka yang selalu menawarkan manisnya madu saat awal pertama kali bertemu tanpa tahu masih ada kemungkinan untuk berpisah. Menatapmu, saat ini menjadi awal untuk kukembali mencoba merasakan sejumlah arti. Dilema antara luka dan cinta yang menyatu dalam kehatangan yang tak kupahami.
Kau hanya membisu seakan tak punya kata, menyimpan segenggam kalimat dalam pikiranmu sendiri. Sementara kutahu kau begitu merindukan kehangatan, seperti bulan merindukan pelukan. Mata terbang hingga pada pucuk daun ketika jejak pikiranmu tak kembali dalam lamunan. Ada sepenggal pendirian dalam harap, lalu dada mendadak tergagap. Esok pagi, seperti janji. Kau pikir waktu masih tersisa. Aku akan terbujur kaku tak bernyawa. Kau akan kehilangan arti kemungkinan. Senja, rembulan pun menangis. Malam, seperti halnya kita tetap butuh terang. Menjadikan arti hadirku sebagai anugerah. Kesempatan memenjarakan hasrat yang terbutakan oleh pikiranmu sendiri. Harusnya kuakui mencintaimu adalah kesempatanku, sekali. Aku ingin, bahkan dalam pejaman mata terakhirku masih tersimpan detik-detik yang kita bagi bersama, menari layaknya burung terbang. Di saat kau tahu tak ada lagi yang berarti, hidup tak memberikanku kesempatan. Mencintaimu, untuk memilikimu. Kepada angin kusampaikan jerit kepiluan hati sepenggal kisah terbiaskan relikui kematian. Menjemput, cahaya. Kesempatan untuk hidup baru. Membangun kata-kata yang telah hilang sepanjang waktu kuterlelap dalam tidur panjang. Selamat tidur. Aku berharap tak terbangun.
Untuk sekian lama, aku masih termenung membayangkanmu. Betapa aku tak bisa menghapusnya, karena tak ingin. rasaku telah melebur dalam cinta yang membisu. Aku tak tahu, apakah aku bisa melupakanmu barang sekejap masa. Bahkan, sehari saja. Ketika semua kenangan terkunci dalam hatiku dan kau selalu hadir di suatu malam dalam mimpiku. Menyelinap bahkan menginap untuk satu malam. Aku tak bisa mengelak ketika mataku membanjir saat terjaga tanpamu, kecuali ingatan tentangmu. Memeluk tanganku sendiri, seakan memelukmu. Di atas kasur itu, aku masih sadar. Ketika beberapa kepingan hatiku hancur seketika kau memutuskan untuk berpisah. Denting air mata berguguran membasahi bumi. Aku terpejam untuk bersembunyi dari realita. Sementara, dadaku masih terguncang karena luka hatiku menganga. Kehangatanmu kemudian hilang dalam tragis dan aku kembali menangis. Jika, suatu saat aku bertemu lagi denganmu. Aku tak tahu, harus berkata apa. Bahkan untuk tersenyum, rasanya aku akan berpura-pura bisa bangkit tanpamu. Padahal, aku tak bisa. Menyapamu seakan tak terjadi apa-apa, melihatmu dalam jarak pandang biasa. Menyentuhmu, seakan tak ingin. aku tak bisa menjelaskan arti perpisahan, ketika kutahu ada rencana di balik setiap pertemuan. Mungkin, aku tak yakin. Siapa yang bisa menjelaskan arti pertemuan-pertemuan kita selanjutnya. Sekalipun kau tak ingin.
Sepi menyekapku dalam jejak bisu yang tertuang dalam kepulan asap secangkir kopi. Merenda kesunyian yang terlukiskan di antara sudut bibirku yang kering. Kerinduan akan kecupan basah, mengobati dahagaku akan cinta. Menggenggam jemari kita berpelukan dan saling merapat kemudian mengusir tegang. Hatiku tinggal seseruput lagi. Ditemani lagu yang ramah menyapa telinga sanggup menggetarkan hati. Mataku mulai meremang, malam telah tergenang karena bulan terlihat lelah menggantung di sana. Aku menantimu dalam detik yang hilang. Menit-menit menjadi rumit. Tak ada kabar tentangmu, setelah sekian lama. Bayangmu masih terlihat di cangkirku. Sekejap mengecup bibir gelas dan bayangmu hilang tertelan. Apakah aku lelah menantimu, sementara hatiku terpaut olehmu. Malam demi malam habis kubagi sendiri di antara resah. Bukan saja bayangmu, matamu, lirikanmu, bibirmu kemudian kata-katamu telah mampu membuat mataku terpejam beberapa saat. Aku harap, suatu saat nanti kau datang menyapaku seperti dahulu, bibir merekah senyum seraya memelukku. Penuh kehangatan.
Sejak itu, aku tak lagi menunggu datangnya pelangi. Seberkas harapan yang timbul di dinding hatiku seketika terhapuskan tetesan gerimis hujan. Adakah cinta menuai abadi. Ketika yang kutemukan dalam setiap harapan adalah kosong. Aku tak bisa berpura-pura tegar saat kakiku berdiri. Diantara kerinduan yang tertinggal masih menyisakan bingkai kenangan yang terpajang di sudut hatiku. Lantas, aku tak bisa begitu saja membuangnya. Kau, menepikan impianku selama ini. Hari-hariku bersamamu menjadi indah lalu mendadak situasi membuatku mengalah pada jawaban hatiku. Merampas segala luapan cinta yang terendam. Apakah kini aku bisa berharap cinta datang seperti sedia kala. Ketika kurasakan kepingan-kepingan masa lalu membuatku jatuh pada genangan luka dan sakit hati. Aku tak mau, karena hanyalah dirimu yang mampu membuatku melihat. Diantara sudut kenyataan dalam hidup tak bisa dijelaskan dengan pengertian, kau mampu memberiku alasan tentang arti pertemuan dan cinta.
Ada cinta yang terperangkap kenyataan. Sementara perasaanku telah bertalian sama dengan rasa suka. Entahlah, aku tak ingin berdiri di antara sisi terdekatmu. Hatiku tak lantas berhenti karena degup jantungku benar-benar tergetar. Untuk mengungkapkanya butuh sejuta kesadaran agar kalimatku tak salah terujar. Kini, aku bahagia sekalipun rasa sakit kemudian. Melihatmu tersenyum dan mengungkapkan hal yang sama. seakan, rasa sakit tak terlihat lagi di hatiku. Mencintaimu, tak lantas kumiliki. Sebab, aku tahu tak bisa berharap lebih dari sekadar yang kubayangkan, kuharapkan dan kuimpikan. Di sudut ruang kosong itu aku melihatmu, kudekati. Kita beradu pandang lantas berbincang. Setelah sekian lama banyak hal kuketahui, salah satunya perasaanku. Aku jatuh hati padamu. Untuk pertama kalinya, kurasakan. Gejolak rindu di dada untuk terus bertahan dan bertemu di kemudian hari. Tak pernah ada ragu sementara hati tergenang cinta yang tak kumengerti. Kenyataan, tak selalu sama tergambarkan di bayanganku. Kau, disana. Mencintaku tanpa henti. Aku menunggumu, sementara memastikan datangnya kesempatan lain. Untuk kembali mencintaimu, bahkan memiliki.