Aku takut bukan berarti lemah, tapi jatuh dan
mencintaimu semakin mendekatkanku pada masalah. Jika rencana tentang kita
mewujud nyata dan harap ini menanti takdir. Lantas kepada siapa kita menabur
doa, sementara kuil-kuil telah sepi karena lantunan peri tak terdengar lagi.
Bahkan, gemuruh dada pun berdusta. Lalu kepada siapa aku harus percaya.
Sementara cinta menyisakan ketakutan akan kehilanganmu. Mendekap dalam sepi dan
tak habis merindukanmu. Menghitung pertemuan dan mengekalkan cinta pada
ingatanku. Pada setiap mimpi yang berusaha kurangkai, membayangkanmu hadir.
Jika, semua akan indah pada waktunya. Lantas, kapan? Ketika waktu-waktu indah
bersamamu semakin menipis. Jika keyakinanku dapat diperbarui, apakah waktu
dapat diperbarui dan cinta yang indah akan menemukan waktunya?
Ada satu hal sulit kutepis meski
pahit dalam nyata, mencintai seseorang yang tidak memiliki rasa yang sama. kau
tak menunjukkan rasa benci, juga perasaan sayang. Kau selalu hadir jelas di
depan mata, tapi tak pernah tertembus sayangku ke dalam hatimu. Melihat, jernih
permukaan air tak bisa kulihat dalamnya perasaanmu. Saat-saat gundah menyergap
dan ingatanku tentang perjanjian kita terngiang, kita akan berpisah. Bukan saja
karena waktu, tapi cerita kita berakhir bersama. Bahkan tak ada pelukan akhir
sebelum kita benar-benar saling menjauh. Mungkin, detik ini juga sebenarnya
hatimu telah menjauh, sejak kulihat binar matamu bukan untukku, tetapi untuknya.
Seandainya satu malam yang
tersisa, aku tak ingin datang pagi. Mengekalkan ingatanku tentangmu sebelum
semuanya hilang terbilas waktu. Begitu pun perasaanku yang tegar berdiri tanpa
sambutan tanganmu. Aku harus sadar tepian hati ini tak berlabuh menuju dermaga.
Jika nanti ada akhir di mana kata tak sanggup menguraikan kesedihanku, aku
ingin pelukan panjang sebelum terlambat. Sebelum kata sayangku terucap
lamat-lamat. Membisikkan kata rindu yang tak mungkin kudengungkan di telingamu.
Kita begitu dekat seolah bersama, tapi hatimu tak bisa kumiliki. Ada cinta yang
tumbuh perlahan di dadaku, tapi tak kutemukan pagar tuk kujadikan tempat
kuberpijak. Terlebih ada nama lain di hatimu, dan mataku terendam air begitu
saja. Lirih bersenandung rindu entah kepada siapa. Mengalamatkan cinta pada
surat kaleng suatu malam. Ternyata hatiku tak bisa berbohong lirih terus
menyebutkan namamu.
Batas bening yang tersaput mata
kasat tak terpandang, jika hati berbekas mengikut jejak kenangan tentang luka
dan hujan. Aku ingin mengakhirinya sampai di sini, meski air mata menetes tak
terbendung. Tapi, masih adakah luka yang berhasil sembuh jika jatuh cinta
rasanya sama juga menyakitkan ketika harus melepas pergi. Sementara kau
membangun dinding di antara kita. Jarak kita tak sejauh masa lalu, tapi hati
kita tak saling berdekatan. Kita itu sama seperti sepasang merpati yang masih
ingin terbang, meski pertemuan di taman kota sangat membekas ingatan. Lama-lama
aku hanya diam terpaku menatap senja, meski bias bayangmu tak sanggup
kulupakan. Adakah jeruji yang
menghalangi kita tak menumbuhkan benci, karena kita saling menyayangi, tapi
tanpa kau sadari kita telah saling menyakiti. Kita mungkin terlalu dekat tapi
tak menyatu ketika hatimu mulai membatu.
Seandainya aku dapat membekukan
waktu dan menahan jarum jam untuk bergerak. Lama-lamat matamu berkilat basah,
sebelum terpejam. Aku tahu, sebentar lagi terbitlah rindu. Setelah pelukan
terakhir malam itu dan ciuman panjang yang tertinggal. Kau mulai menghitung
hari, bahkan setelah pertemuan kita. Aku pun tak bisa tinggal, sementara esok
masih harus kujelang. Merindukanmu tak pernah habis semalam. Begitu pun kau
merasa tak pernah cukup menuntaskan rindu bersamaku. Aku bahagia, asal
bersamamu. Menerbitkan rindu-rindu yang panjang tentang hari-hari dan
penantian. Akan kusimpan sisa senyummu untuk kuingat, begitu pun setiap jengkal
sela parasmu. Seperti sapuan kuas dalam kanvas, aku pun melukis wajahmu dalam
benakku. Agar, aku bisa menghadirkanmu tepat saat mataku terpejam.
Kamu tahu, terkadang ingatan
begitu kuat membekas mengikat kenangan dan sesekali menayangkan beberapa kilas peristiwa memori silam. Tetapi ingatan
bisa juga dengan mudahnya kabur terlupakan begitu saja meski beberapa kali
usaha dilakukan untuk membangkitkan ingatan. Mengenangmu, bisa saja muda bagiku
menguarkan aroma rindu hujan dan gerimis ketika kita terjebak di sudut halte
menunggu bus datang. Bahkan, untuk kesekian kalinya. Aku hanya bisa menatap
kotak kecil itu dengan mata sendu. Terkenang sebuah peristiwa pahit yang ingin
kukubur dalam.
Semburat senja membias memantulkan terpaan cahaya yang
menembus kaca jendela tempat aku sedari tadi melabuhkan lamunanku padamu. Di gerbong
ini, letupan rindu masih membekas saat kereta perlahan meninggalkan stasiun. Adakah
kamu tetap menanti meski tak ada kepastian? Aku memandang keluar jendela dan
membayangkan memori beberapa tahun silam. Cahaya senja akan selalu sama di
sudut sore. Akankah getaran di dadaku masih sama kala namamu disebutkan dan
perasaan luapan rindu hadir mendekap rasa. Aku masih menatap langit,
menyaksikan awan yang berwarna keemasan membentuk siluet yang indah. Merindukanmu.
Selalu saja menimbulkan getar di dadaku. Menerbitkan resah-resah tak kumengerti
dan perasaanku meluap seperti tak terbendung lagi. Setiap ingatan tentangmu
yang kusimpan, selalu saja menerbitkan kerinduan yang tak bisa kuhindari. Sesekali
muncul dan membuatku tersenyum lama.
Aku akan selalu mengingat hari ini, ketika kata menjadi tak ada
artinya. Maaf menjadi sesal akhir yang tertahan di ujung lidah, bahkan pelukan
tak membawamu kembali. Sesaat, mengiri lembah pipiku yang basah karena bulir
bening tak sanggup kubendung. Kenapa akhirnya kau menyerah dan memutuskan
pergi. Meski, kau tahu aku sangat terluka. Bahkan, kau tak mau menemuiku untuk
memberikan penjelasan. Akankah hari yang telah kita lalui bersama hanya menjadi
ingatan yang kemudian terlupakan. Haruskah kuabadikan air mata ini agar tak
lagi jatuh. Kepergianmu.
Seringkali, kita mudah untuk
bersembunyi dan berpura-pura. Seperti hati yang percaya bahwa segalanya akan
indah pada waktunya. Tapi tahukah kisah tentang waktu yang bergegas mengejar
rindu. Belakangan, bahkan aku tak bisa mengelabuinya. Waktu semakin berlalu dan
tak pernah tergapai lagi. Masa-masa penantian panjang tentang luka hati yang
belum sempat terhapus, tentang kenangan yang belum sempat terkubur, begitu juga
tentang benci yang tak sempat terbuang. Aku berjalan seolah menghentikan waktu.
Bahkan usia semakin berjarak, dan aku akan kembali berakhir pada kehilangan,
kesempatan. Jika nanti tak punya rentang waktu. Jika esok tak pernah menitipkan
janji. Aku kembali bertanya pada detik yang berguguran begitu terabaikan. Bahkan
kamu tak peduli banyak waktu yang kuhabiskan bersamamu. Begitu juga hari-hari
bahagia bersamamu. Mengekalkan rindu dan mengabadikan momen indah. Meski,
terlambat.
Jika ada satu hari di mana kesempatan itu ada untukku. Maukah
kau kembali, mengenang satu hari kita bersama. Meski, tak terlibat perasaan. Aku
bahagia saat tawaku mekar seperti bunga akasia. Ditemani rintik hujan kau
melindungiku dari gerimis di bawah payung biru. Menyusuri jalan kemarin sore
sebelum kamu pergi. Membawa janji untuk datang dan bertemu kembali. Entah,
apakah kau sungguh-sungguh atau cuma untuk membuatku tenang. Menunggu, senja
yang tak pernah kembali jingga terbit untuk kau tunjuk, menggenggam jemariku
erat. Di sanalah, katamu. Matahari akan kembali.
Kamu tahu, tak pernah kurasakan getar di dadaku seperti ini.
Sesak yang tak bisa kuterjemahkan, namun meluapkan rindu yang tak bisa kulepas.
Memandangmu, tak pernah bisa kulihat lebih dekat. Aku mengenalmu, tapi tak
lebih kumiliki. Bayangmu, cinta semu yang tak bisa kuungkap. Meresahkan hatiku
sendiri bila senyummu tak lagi untukku. Jika, tatapan sendu matamu yang teduh
tak pernah mengarah kepadaku. bila, cinta membawakan pesannya sendiri. Menjadikan
degup jantung di dadaku, mampu kuredam. Semoga, kamu tahu perasaanku butuh kau
balaskan.
Sebaris air yang menetes dari
embun di kaca, aku mengamati lampu-lampu kota yang mulai padam. Bahkan, aku tak
pernah tahu kenapa bisa berada di sini. Menunggumu tak pasti. Haruskah aku
mengurai rasa sakit ini seorang diri dan meneguknya perlahan hingga habis. Sementara
kamu bersembunyi dan tak pernah muncul lagi, seakan aku hanya tempatmu berlari.
Tempat menyampaikan keluh kesahmu selama ini. Harusnya aku sadar, kamu tak
pernah mau berjanji agar aku tak pernah menanti. Nyatanya, aku selalu
menunggumu, meski tak pernah kau anggap peduli.
Gerimis akhirnya mereda, saat aku
merasa telah menunggu terlalu lama. Menanti kehadiranmu setelah habis secangkir
kopi dan menanti balasan pesanku. Tahukah kamu, aku telah membatalkan janji
untuk bertemu denganmu dan memberanikan diri bersembunyi dari keresahanku. Bersembunyi
dari degup jantung yang tak kumengerti, bersembunyi dari luka yang mungkin
telah kulupakan. Adakah kamu mengerti, aku menunggumu untuk kali terakhir. Sebelum
aku menyadari, bahwa kamu memang tak seharusnya kutunggu. Seperti kabar yang
tak pernah jelas, simpang-siur. Adakah perasaanmu layaknya kabar burung?
Aku ingin membagi sebuah kisah
tentang duka yang tak pernah dirayakan, tentang perpisahan yang berakhir tanpa
pelukan. ketika perasaanku tak sempat kucurahkan sementara perbincangan kita
terhenti karena waktu, hatiku terkunci karena ragu. Jemariku tak mampu meraba
beberapa huruf yang tak sanggup kurangkai, bibirku terkatup menatap sendu. Kamu
tak pernah memberiku kesempatan untuk mengurai degup jantungku yang memburu,
tentang nafasku yang tercekat karena angin tiba-tiba lenyap di sekitar. Aku menatap
nanar tentang kenangan yang tak seharusnya kusimpan. Apakah sebenarnya
perpisahan adalah salah satu bentuk takdir. Terkadang, perpisahan memang
diharapkan terjadi, agar aku lebih mengerti dunia bukan saja berbicara tentang
pertemuan. Ketika angin berhenti dan aku tak bernapas lagi, berarti aku harus
pergi. Meninggalkan dunia. Merindukan tempat di mana namaku berakhir terukir di
bebatuan. Meski, harus berderai air mata.
Kamu tahu, rasanya berada di
antara ambang dilema ketika jemari kita bersentuhan dengan ombak dan semilir
angin tak mampu meredam gemuruh dada. Bahkan, aku tak merasa dingin ketika
buih-buih air yang menggenang membasahi telapak kakiku. Aku mencoba tenang,
melemparkan pandangan. Hamparan biru langit terpampang jauh tak tertembus batas
mata. Aku bingung, apa yang sebenarnya kurasakan. Hatiku terombang-ambing. Terkadang
aku dengan mudah dihempaskan karang, terkadang aku kuat bertahan di tepian. Tapi
apalah arti sebuah pilihan, ketika ombak selalu berpulang pada samudera. Lautan
seakan tenang tapi selalu menyimpan sejuta pertanyaan, begitu pun setelah
hatiku terseret jauh ke kedalaman. Adakah jawaban bisa kutemukan di sini, di
antara karang, di antara pasir dan ombak, di antara sela jemariku yang basah,
di antara celah hati yang terendam air, di antara kepingan luka. Aku pun lelah
menanti senja, menanti arah.