Setiap kali aku membuka mata, memulai kehidupan baru dan terjaga. Saat itu juga aku teringat akan bayangan mimpi yang berkelebat. Kau tahu, dorongan itu seperti hasrat yang bergairah hingga badanku berkeringat. Saat aku ucapkan kata-kata itu berkali-kali dalam hatiku, seperti ada degup jantung yang ingin berontak. Betapa orang-orang sepertiku tanpa mimpi lebih baik mati. Mimpi tak cukup terlewatkan dalam semalam, sekalipun kau harus tenggelam. Ribuan hari telah terbuang dan berguguran seperti salju. Maka waktu pun semakin cepat kau habiskan seperti peluru dan berlalu. Saatnya menarik pemantik dan menembakkan mimpi hingga melesat tinggi. Kau tahu, ribuan langkah telah terayun bahkan kau berlari hingga nafasmu tersengal dan kau dapati dirimu terjerembab ke dalam kubangan air yang membasahi bajumu. Berdirilah, ini adalah kebangkitan dan matahari masih bisa kau lihat sama dari belahan dunia manapun. Tak usah kau risaukan masalah lagi, betapa pun kencangnya kau berlari seperti kuda, sesekali bisa terjatuh. Tapi butuh ribuan kali untuk bisa tetap berdiri dan bertahan dengan senyuman. Tatapan matamu telah membuat dunia menjadi lebih indah. Kau punya cara sendiri untuk memandang hal itu terlihat indah. Pelangi yang kau ceritakan, sebentar lagi terlihat setelah kau buka matamu perlahan. Aku harus bersikeras dengan apa yang kuyakini. Karena keteguhan hatimulah yang menguatkanmu berlari. Berlari seperti angin. Mengejar matahari yang kau sebut sebagai bola emas yang berpijar. Ada seseorang di hatimu, maka ada harapan untuk kau berdiri. Derai tangis dan penderitaan akan segera terlewati. Betapa berat pun masalah selalu ada jalan untuk berlari. Kau harus tetap berlari sampai kau temukan tempat dimana angin berhenti. Kau harus tetap berdiri sampai kau temukan matahari menghilang dan tak kau temukan lagi. Ketika hasrat dan keinginan yang kau miliki membutuhkanmu. Segeralah meraih kesempatan itu. Kesempatan yang kau cari di antara puing-puing resahmu. Kau akan menemukanku tersenyum dan air mata menitikkan bangga. Kau punya tujuan dan tempat untuk berhenti. Tapi semangat yang berkobar adalah api yang membakar di dadamu. Jangan berhentilah hingga kakimu patah. Biarkan ragamu terlepas dan jiwamu bergerak bebas. Risiko terbesar dalam hidup adalah padamnya mimpi yang menyala. Kau akan kehilangan cinta dan rahasia terbesar dalam hidup. Kebahagiaan yang kau cari akan hilang. Mimpi memang tak punya alamat tapi kebahagian bukanlah sesaat. Bahkan harus kau pertaruhkan segalanya demi arti mewujudkan mimpi. Lembar hari semakin tertutup dan terganti dengan lembar baru. Tahun ini pun akan menjadi tahun yang berlalu. Mudah kau melewati dan menghabiskan waktu. Maka kau harus menebusnya. Aku tunggu saat itu. Saat dimana kau berhenti karena kau telah mewujudkan mimpi. Bersama itu akan kuceritakan karena ini bukan lagi menyangkut pilihan. Kau yang memutuskan untuk menghadapi kenyataan ini dengan keteguhan. Disana, di tempat matahari terbenam. Akan kuceritakan cahaya yang kusembunyikan dalam dada. Semangatlah sebelum akhirnya kau merasa bersalah. Orang yang ada di hatimu menangis kecewa melihatmu berhenti berlari, dan tak cukup kau menyesalinya seumur hidup. Karena kesempatan itu tidak datang lagi bersama waktu yang selalu memberi hari baru. Mungkin, cinta yang terpendam adalah mimpi yang belum kau temui. Suatu saat keajaiban datang bersama senyummu yang terkembang. really, I'm proud of you.
Tidak ada yang menyangka hal yang buruk terjadi, terasa begitu cepat dan mengejutkan. Seandainya kita punya kekuatan mengembalikan waktu mungkin kita tidak akan pernah mengalaminya. Apakah sebenarnya yang diinginkan seseorang dalam mencari kesejatian, apakah menemukan dimana tempatnya kembali? Atau menemukan tujuan hidupnya? Apakah sebenarnya manusia tidak punya tujuan?
Setelah sekian lama aku mencari jawaban itu, akhirnya kutemukan juga. Dulu aku diliputi gelisah karena pertanyaan itu, kini setelah jawaban kudapatkan aku malah semakin gelisah. Apakah manusia pada dasarnya diliputi kegelisahan. Ketika sebuah jawaban hanya akan melahirkan pertanyaan baru. Dan kita tidak pernah berhenti untuk mencari dan menemukan jawaban.
Aku mencari jawaban atas takdir?
Sesuatu yang sebenarnya ragu untuk kutanyakan dan kucari tahu, namun kegelisahan ini membuatku bertanya2 dan apakah salah jika aku bertanya.
Dan aku menemukan takdir Umuri, yaitu takdir yang diberlakukan atas manusia pada awal penciptaannya ketika pembentukan air sperma (usia empat bulan) dan bersifat umum. Takdir ini mencakup rizki, ajal, kebahagiaan, dan kesengsaraan. Hal ini didasarkan sabda Rasulullah saw. berikut ini.
“…Kemudian Allah mengutus seorang malaikat yang diperintahkan untuk meniupkan ruhnya dan mencatat empat perkara: rizki, ajal, sengsara, atau bahagia….” (HR. Bukhari)
Jika aku ingin mengetahui takdirku, aku harus bertemu malaikat. Dan aku tidak mungkin bertemu dengannya karena semua yang terjadi dalam hidupku saat ini, yang telah lalu atau di masa depan telah tertulis dalam sebuah kita yang nyata, yang aku sebut sebagai kitab rahasia (catatan hidup) dimana semua jalan cerita hidupku tertuang disitu.
Namun takdir yang tertulis tersebut dinamakan takdir Azali (umum)
“Tiada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauhul-Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya. Sesungguhnya yang demikian itu adalah mudah bagi Allah.” [QS. Al-Hadiid (57): 22]
“Allah-lah yang telah menuliskan takdir segala makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum diciptakan langit dan bumi. Beliau bersabda, ‘Dan ‘Arsy-Nya berada di atas air.” (HR. Muslim)
Sehingga aku bertanya-tanya, bagaimana konflik dalam hidupku, apakah aku termasuk tokoh yang baik, atau antagonis. Banyak pertanyaan yang timbul kemudian, tapi yang paling ingin kutahu adalah apakah takdir yang telah tertulis itu bisa berubah.
Tapi aku belum menemukannya. Karena aku masih berkeyakinan jika Allah mengizinkan segalanya bisa terjadi dengan kehendak-Nya. Walaupun aku sempat membaca buku “Mengubah takdir dengan do’a” pada saat aku masih duduk di bangku SMP. Namun buku itu tidak pernah kutemukan kembali. Aku akan mencarinya.
Namun aku mulai mendapat harapan itu kembali, harapan yang membuatku bertahan pada keyakinanku saat ini, aku menemukan takdir samawi, yaitu takdir yang dicatat pada malam Lailatul Qadar setiap tahun. Artinya jika aku mendapatkan malam itu, aku telah merevisi catatan takdirku, semoga saja. Karena berdasarkan dalil.
“Pada malam itu dijelaskan segala urusan yang penuh hikmah.” [QS. Ad-Dukhaan (44): 4-5]
Ahli tafsir menyebutkan bahwa pada malam itu dicatat dan ditulis semua yang akan terjadi dalam setahun, mulai dari kebaikan, keburukan, rizki, ajal, dan lain-lain yang berkaitan dengan peristiwa dan kejadian dalam setahun. Hal ini sebelumnya telah dicatat pada Lauh Mahfudz.
Walaupun aku tidak pernah membuka kitab itu (Lauhul Mahfudz) melihatnya ataupun membacanya. Tapi aku akan berusaha menuliskan catatan itu dengan do’aku. Karena tidak ada bisa kulakukan setelah berusaha dengan sekuat tenaga kecuali do’a, bukankah manusia berencana Tuhan pula yang menentukan, karena apa yang menurut kita baik belum tentu menurut ketetapan Allah baik. Sehingga baik buruk yang kita alami harus kita terima dengan ikhlas. Hal itu yang kita imani sebagai qadha dan qadar.
Adapun qadar secara etimologi berasal dari kata qaddara, yuqaddiru, taqdiiran yang berarti penentuan. Pengertian ini bisa kita lihat dalam ayat Allah berikut ini. “Dan dia menciptakan di bumi itu gunung-gunung yang kokoh di atasnya. Dia memberkahinya dan Dia menentukan padanya kadar makanan-makanan (penghuni)nya dalam empat masa. (Penjelasan itu sebagai jawaban) bagi orang-orang yang bertanya.” [QS. Fushshilat (41): 10]
Dari sudut terminologi, qadha adalah pengetahuan yang lampau, yang telah ditetapkan oleh Allah pada zaman azali. Adapun qadar adalah terjadinya suatu ciptaan yang sesuai dengan penetapan (qadha).
Mungkin aku terlalu berharap akan terjadi sesuatu yang indah pada waktu tertentu di masa depan, seperti harapan yang tersimpan untuk dibuka kembali. Namun keinginan yang besar selalu membuatku bertahan untuk meyakini hal itu seberapa kecil pun kemungkinanya. Apakah pernah terpikirkan sebuah rencana di masa depan akan terwujud bila kemungkinannya kecil. Bahkan terbilang mustahil. Aku tahu apa pun yang terjadi nanti tidaklah pernah terbayangkan, kalaupun saat ini aku punya prediksi serta ramalan, aku selalu berusaha menepis dan tidak memercayainya. Apa yang terjadi adalah apa yang kuyakini, bila terjadi hal lain berarti Tuhan punya rencana yang lain untukku. Aku selalu menyebutnya dengan ketetapan, sesuatu terjadi begitu saja dan tak pernah terbayangkan. Karena manusia tidak bisa menghendaki dengan mudahnya untuk terjadinya sesuatu. Kenyataan yang terjadi pada diriku bukanlah sebuah cerita, tapi aku selalu menganggap sebagai sebuah sejarah, sehingga aku berusaha untuk menorehkan tinta emas pada sejarahku. Namun hidup tidak bergantung pada cerita, dan aku tidak memiliki alasan apa pun untuk mengubah sejarah. Aku sadar yang kujalani saat ini tidaklah mudah, dan aku tidak boleh berubah pikiran. Memang untuk mencapai itu butuh kerja keras, rencana, konsesntrasi dan kesadaran penuh untuk mencapai target. Bila di tengah jalan aku harus mempertimbangkannya kembali atau terjadi sesuatu yang membuatku berubah pikiran, maka itu diluar kendaliku.
Aku yang terkait saat ini dari orang tua, teman-teman di sekelilingku, sahabat yang mendukungku, teman yang setia, guru yang bijak, kakak baik yang selalu menasehati, teman sekolah yang selalu menyemangatiku, tetangga yang selalu bercerita apa pun padaku, seseorang yang meminta tolong, penjual bakso yang memberiku uang kembalian, supir angkot yang menebarkan senyum, tukang ojek yang menawarkan tumpangan, tukang koran yang berteriak-teriak di tengah jalan. Apa pun itu saling berkaitan. Apa yang kualami, telah kulewati dan apa yang kupelajari, kupikirkan dan kubayangkan selalu membentuk perubahan yang alamiah. Pertemuan yang tidak terduga, perpisahan yang mengharukan, kehilangan yang menyedihkan, pertengkaran sengit, persaingan yang sportif, kinerja yang bagus, rapat yang membosankan, guru yang menyebalkan. Selalu ada cerita di balik rangkaian kehidupan manusia termasuk hidupku. Maka aku tidak mengarang cerita dalam hidupku untuk terjadi di masa depan, aku hanya bisa berusaha dan menjalani saat ini untuk mencapai dan merasakan sesuatu di masa depan. Tidak ada yang terjadi begitu saja kecuali, kebetulan atau keberuntungan. Karena kedua hal itu jarang sekali terjadi atau sekalipun terjadi kita tidak menyadarinya. Kadang kita merasa beruntung memiliki seseorang yang berarti dalam hidup kita, beruntung diterima di sekolah yang kita inginkan, kebetulan bertemu dengan teman lama di bahu jalan tanpa sengaja, kebetulan selamat dalam tragedi bencana kebakaran. Karena dua hal itu merupakan kehendak Tuhan. Karena apa pun yang terjadi pada diri kita adalah kehendak Allah. Apa pun itu. Suatu saat kita akan sadar dan merasakan betapa Allah sangat menyayangi kita. Aku bersyukur.
Kita tidak bisa menyalahi apa pun. Semua yang telah ditakdirkan terjadi maka terjadilah, seberapa berat ujian atau cobaan itu.
Sebagaimana dalam hadits
“Adam dan Musa berbantah-bantahan. Musa berkata, ‘Wahai, Adam, Anda adalah bapak kami yang telah mengecewakan dan mengeluarkan kami dari surga. Lalu Adam menjawab, ‘Kamu, wahai Musa yang telah dipilih Allah dengan Kalam-Nya dan menuliskan untkmu dengan Tangan-Nya, apakah kamu mencela kepadamu atas suatu perkara yang mana Allah telah menakdirkan kepadaku sebelum aku diciptakan empat puluh tahun?’ Maka Nabi bersabda, ‘Maka, Adam telah membantah Musa, Adam telah membantah Musa.’” (HR. Muslim)
Maka aku harus berusaha tidak menjadi sebab terjadinya akibat yang buruk, aku harus berusaha untuk takdirku menjadi penyebab terjadinya akibat yang baik di masa depan. Sebagaimana menabung maka akan kita rasakan hasilnya siapa yang menanam pasti dia yang menuai. Tidak ada nilai yang bagus jika kita tidak belajar, tidak ada kebakaran jika kita tidak bermain api. Maka ada aksi menimbulkan reaksi. Maka aku harus belajar menjadi kuat.
"Artinya : Seorang mu'min yang kuat lebih baik dan lebih dicintai Allah dari pada seorang mu'min yang lemah, dalam segala kebaikan bersemangatlah (untuk mencapai) apa yang bermanfaat bagimu, mintalah pertolongan kepada Allah, jangan merasa lemah, apabila kamu tertimpa suatu (musibah) maka janganlah berkata ; Kalau saja aku melakukan begini maka hasilnya pasti begini, karena kata "kalau" akan membukakan perbuatan syetan".
Maka dengan demikian beriman kepada Qadar mengandung kedamaian jiwa dan hati dan hilangnya kegundahan karena kegagalan, serta hilangnya kekhawatiran untuk menghadapi masa depan. Allah berfirman. "Artinya : Tidak ada musibah yang menimpa di bumi dan di dalam dirimu sendiri kecuali telah ada dalam kitab sebelum Aku membebaskannya, sesungguhnya semua itu sangat mudah bagi Allah, agar supaya kamu tidak bersedih atas kegagalanmu dan tidak terlalu bergembira atas apa (nikmat) yang diberikan kepadamu" [Al-Hadid : 22-23]
Disebutkan dalam Shahihul Bukhari dari Ali bin Abi Thalib bahwa Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda. "Artinya : Tak seorangpun dari kamu kecuali telah tertulis tempatnya di surga atau tempatnya di neraka" Kemudian (sahabat) bertanya : "Ya Rasulullah, apakah kita tidak menyerah saja" (Dalam suatu riwayat disebutkan :'Apakah kita tidak menyerah saja pada catatan kita dan meninggalkan amal). Beliau menjawab : "Jangan, beramallah, setiap orang dipermudah (menuju takdirnya)".
Kemudian aku mencari jawaba atas do’a yang dapat merubah takdir, apakah benar? Setelah lama mencari kudapatkan keterangan.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-'Utsaimin ditanya : "Apakah do'a berpengaruh merubah apa yang telah tertulis untuk manusia sebelum kejadian?"
Jawaban. Tidak diragukan lagi bahwa do'a berpengaruh dalam merubah apa yang telah tertulis. Akan tetapi perubahan itupun sudah digariskan melalui do'a. Janganlah anda menyangka bila anda berdo'a, berarti meminta sesuatu yang belum tertulis, bahkan do'a anda telah tertulis dan apa yang terjadi karenanya juga tertulis.
Oleh karena itu, kita menemukan seseorang yang mendo'akan orang sakit, kemudian sembuh, juga kisah kelompok sahabat yang diutus nabi singgah bertamu kepada suatu kaum. Akan tetapi kaum tersebut tidak mau menjamu mereka. Kemudian Allah mentakdirkan seekor ular menggigit tuan mereka. Lalu mereka mencari orang yang bisa membaca do'a kepadanya (supaya sembuh). Kemudian para sahabat mengajukan persyaratan upah tertentu untuk hal tersebut. Kemudian mereka (kaum) memberikan sepotong kambing. Maka berangkatlah seorang dari sahabat untuk membacakan Al-Fatihah untuknya. Maka hilanglah racun tersebut seperti onta terlepas dari teralinya. Maka bacaan do'a tersebut berpengaruh menyembuhkan orang yang sakit.
Dengan demikian, do'a mempunyai pengaruh, namun tidak merubah Qadar. Akan tetapi kesembuhan tersebut telah tertulis dengan lantaran do'a yang juga telah tertulis. Segala sesuatu terjadi karena Qadar Allah, begitu juga segala sebab mempunyai pengaruh terhadap musabab-nya dengan izin Allah. Maka semua sebab telah tertulis dan semua musabab juga telah tertulis.
Kemudian aku mengingat kembali dalil yang satu ini.
"Artinya : Sesungguhnya janin yang ada dalam kandungan ibunya ketika telah melewati umur empat bulan, maka Allah mengutus Malaikat kepadanya yang meniupkan roh dan menulis rizqi, ajal, amal dan apakah dia celaka atau bahagia".
Seperti yang dijelaskan oleh dosen Agama, jodoh termasuk dalam rizki. Sebagaimana rizqi telah tertulis dan ditaqdirkan bersama sebab-sebabnya, maka jodoh juga telah tertulis (beserta sebab-sebabnya). Masing-masing dari suami istri telah tertulis untuk menjadi jodoh bagi yang lain. Bagi Allah tidak rahasia lagi segala sesuatu, baik yang ada di bumi maupun di langit.
Aku kembali bertanya, seperti apakah catatanku? Tentu aku harus membuka catatan takdirku (Lauhul Mahfudz). Tapi aku tidak akan pernah bisa membukanya karena catatan itu bersifat ghaib. Aku bisa memercayainya tapi aku tidak bisa melihatnya dalam bentuk apa pun untuk mengetahuinya.
Pada sebuah kitab besar, dimana hanya Allahlah yang mengetahui seperti apa bentuknya dan dimana letaknya, segala sesuatu tercatat. Tidak hanya nasib manusia, bahkan segala macam peristiwa yang terjadi pada makhluk, baik yang bernyawa maupun tidak. Firman Allah dengan jelas menyebutkan :” Tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan yang tertulis dalam kitab yang nyata (Lauhil Mahfudz)”. ( QS. al-An’am : 59 ).
Aku semakin menelusuri bagaiamana sih sebenarnya yang terjadi pada takdirku nanti, Menurut Ibnu Qayim al-Jauziyah dalam kitab Syifaul’Alil fi Masailil Qadha’wal Qadar, proses penetapan qadha’ dan qadar itu melampaui 4 periode: periode pertama adalah pengetahuan Allah swt terhadap segala sesuatu sebelum penciptaannya. Dalam hal ini, semua rasul, sahabat, dan para rabi’ah telah sepakat untuk mengimaninya. Kedua, Allah menuliskan segala sesuatu yang akan diciptakan-Nya. Ketiga, setelah menuliskan segala sesuatu, Allah berkehendak terhadap segala sesuatu itu. Dan yang terakhir, Allah menciptakan segala sesuatu itu sendiri. Hanya Allah swt, yang mengetahui perkara ghaib, termasuk takdir yang akan terjadi pada diri kita.
Aku hanya bisa berdo’a berharap dan berusaha dengan memasrahkan diri pada Allah dengan takwa dan tawakal karena Allah satu-satunya yang Maha Mengetahui segala sesuatu yang (ghaib) terjadi.
Katakanlah: "Siapakah yang dapat melindungi kamu dari (takdir) Allah jika Dia menghendaki bencana atasmu atau menghendaki rahmat untuk dirimu?" Dan orang-orang munafik itu tidak memperoleh bagi mereka pelindung dan penolong selain Allah.” [Al Ahzab:17
Sejauh ini, kita telah menyaksikan kesimpulan ilmu pengetahuan tentang alam semesta dan asal-usul makhluk hidup. Kesimpulan ini adalah bahwa keseluruhan alam semesta dan kehidupan itu sendiri diciptakan dengan menggunakan cetak biru informasi yang telah ada sebelumnya.
Kesimpulan yang dicapai ilmu pengetahuan modern ini sungguh sangat bersesuaian dengan fakta tersembunyi yang tercantum dalam Alquran sekitar 14 abad yang lalu. Dalam Alquran, Kitab yang diturunkan kepada manusia sebagai Petunjuk, Allah menyatakan bahwa Lauhul Mahfuzh (Kitab yang terpelihara) telah ada sebelum penciptaan jagat raya. Selain itu, Lauhul Mahfuzh juga berisi informasi yang menjelaskan seluruh penciptaan dan peristiwa di alam semesta.
Lauhul Mahfuzh berarti “terpelihara” (mahfuzh), jadi segala sesuatu yang tertulis di dalamnya tidak berubah atau rusak. Dalam Alquran, ini disebut sebagai “Ummul Kitaab” (Induk Kitab), “Kitaabun Hafiidz” (Kitab Yang Memelihara atau Mencatat), “Kitaabun Maknuun” (Kitab Yang Terpelihara) atau sebagai Kitab saja. Lauhul Mahfuzh juga disebut sebagai Kitaabun Min Qabli (Kitab Ketetapan) karena mengisahkan tentang berbagai peristiwa yang akan dialami umat manusia.
Aku terbangun, merasakan kehidupan baru. Sang mentari mengintip dari balik tirai sambil tersenyum hangat. Sebelum semalam mati lampu dan dua cahaya besar menyorot ke arahku. Gerimis turun dan aku hampir tertabrak di tengah jalan jika aku tak segera menepi. Kemudian malam seakan jalan melambat karena hujan bertahan lama. Tapi itu telah terlewati dan semua telah berakhir. Jadi, tidak perlu khawatir. Karena segala macam ketakutan dan kekhawatirkan itu hanya akan mempengaruhi. Bagaimana pun itu. Sadari saja kelilingmu sebagai sebuah hal yang menarik. Hidup begitu kompleks dan tidak cukup dengan teori. Kenyataan yang terjadi menuntutku untuk bertindak. Tapi perasaanku berubah, karena mungkin aku tidak menemukan cara untuk mendamaikan hatiku, seketika jendela seperti jeruji besi dan aku hanya bisa menatap keluar dengan tangan menggenggam. Begitu beratnya menghapus kesalahan, memaafkan bahkan untuk mengampuni. Sampai kau menginginkanku mati dengan segera dan tidak pernah kau temui lagi aku yang sama. Aku ingin lenyap saja seperti pil yang tertelan kemudian terurai dan larut. Aku tidak tahu mengapa harus seperti itu. Tapi kau memaksaku berpikir, tak ada lagi mentari pagi yang menyapa dengan ceria hati. Karena mendung menyelimuti dan kau merasa sebal karena tak bisa mengabadikan langit yang cerah. Kesalahan selalu tak bisa dihindari dan menyebabkan keadaan semakin memburuk. Aku telah menyulutkan api dalam matamu dan kau boleh membenciku karena satu hal. Aku tidak berarti apa-apa, seperti salah satu tokoh dalam novel yang harus dimatikan. Dengan kesadaranku aku benar-benar mengakui salah dan menerima takdir apa pun setelahnya. Tidak ada yang bisa memaksaku bertahan lagi. Karena apa yang kuyakini barangkali hanya omong kosong saja. Tak ada yang menarik, karena aku hanya setitik noda noda dalam kain putih yang panjang. Adaku hanya menodaimu. Tak ada yang begitu berharga dan berarti jika aku hanya menjadi masalah bagimu. Hapus saja, kau cukup menggoreskan sekali saja. Maka namaku akan terhapus dalam otakmu tanpa perlu amnesia. Aku baru mengetahui karena sebenarnya banyak yang tidak kuketahui, termasuk kenyataanku nanti. Ketika hanyalah harapan kosong tanpa cerita. Padahal aku telah berterus terang dan membuka hatiku. Tapi langit memang mendung, dan hujan akan selalu turun tanpa diduga. Perubahan itu menimbulkan keresahan dalam batinku. Dimana pun kau berada, saat kau berpikir. Mungkin tidak akan pernah terlintas lagi namaku, bahkan untuk menyebutkan dalam hati terasa enggan. Ternyata lebih mudah untuk menjauh dan pergi karena kau menginginkannya. Saat kau hujamkan pipiku dengan genggaman tanganmu sekalipun, tak ada ampun lagi. Ketika tidak ada cara lagi untuk bisa mengampuniku. Aku tidak akan berkeinginan lagi setelah kutahu langit masih mendung dan tirai yang kubuka membawa angin dingin membekap kulitku. Aku akan mengunci pintu dan melipat tubuhku seperti bayi dan kau tidak perlu lagi tahu apa yang terjadi. Karena lampu telah kumatikan dan kau tidak akan kuhiraukan saat memanggil-manggil dan mengetuk pintu. Disini, dalam kamar gelap kosong yang sempit aku bersaksi atas diriku sendiri. Cerita dalam hidupku seperti tidak menemukan ending dan aku harus menyelesaikan sendiri. Aku hanya minta maaf. Karena hanya kata itu yang kubutuhkan. Setelah cinta dan dendam meninggalkanku pergi. Baru saja aku bercerita dengan setengah nyawa dan aku merasakan sedikit tenang karena kau seakan menginginkan hal itu. Namun dalan hitungan detik semua berubah menjadi sendu dan tak kutemukan senyumku yang dulu. Kau benar-benar tidak menginginkanku lagi. Aku tidak akan mencurahkannya lagi pada siapa pun. Termasuk kau karena kau hempaskan begitu saja kepercayaanku untuk membuka hati. Biarlah ini menjadi hal yang mungkin tersimpan atau terbuang percuma. Demikianlah adanya perahu kertas yang terbuat pun harus berlayar mengarungi arus deras sungai yang membawanya pergi. Perasaan diciptakan untuk dibiarkan berada tanpa tahu kapan akan pergi.
Suatu saat kau akan menyadari hal yang sangat penting dan terlambat untuk diyakini, bahwa tak ada kepastian dan jaminan apa pun. Seberapa kuat kau bertahan, debur ombak akan selalu mengahantam. Kau buat aku bertanya dan mencari tentang arti rasa. Tapi tak ada yang bisa menyembuhkan luka selain kesembuhan. Karena suatu saat kau akan mengalami hal serupa bahkan lebih. Banyak hal absurd untuk disadari, bahkan tanpa sadar aku banyak melakukan hal absurd. Entah apa yang kupikirkan saat itu karena absurditas terjadi seakan tanpa disadari. Aku tidak mengerti mengapa serangkaian peristiwa dalam hidup yang terus berjalan seakan membentuk rutinitas dan jangan-jangan kau menghabiskan banyak waktu dengan absurd. Adakah dalam sehari sesuatu berbeda terjadi di luar rutinitas. Bagaimana tanpa terpikir kau melakukan hal yang sama dalam setiap harinya. Sebenarnya apa yang kau kejar. Apa yang menjadikan dirimu begitu tertarik untuk melakukannya. Adakah hasrat dan keinginan yang mendasarinya. Inikah perjalanan hidup. Sehingga suatu saat akan terhenti karena nafasmu telah habis dan kau bahkan tidak sempat untuk menyesal. Apa arti penyesalan jika tidak ada pengampunan dan sama sekali kau tak mendapat restu serta maaf. Tidak perlu berkeluh kesah karena pada dasarnya kau diselimuti keresahan dan memaksamu bersabar. Bagaimana sebuah angkutan umum selalu berhenti dan mengesalkan di pagi hari. Tapi aku tidak terjebak pada kesalahan yang tak terelakkan. Aku terjebak pada rutinitas. Dan siapa pun tidak bisa melawan keteraturan itu seperti mengubah jadwal dan calendar. Karena setiap hari hanya tersedia 24 jam dan kau tidak punya kekuatan apa pun untuk menambahkannya. Mungkin aku hanya bisa menikmatinya, tapi seperti apa. Apakah seperti menjilat sisa coklat yang menempel di ujung jari. Musibah dan bencana terjadi seakan mengintai dan kematian bisa menghantui siapa pun. Kau perlu waspada dan mungkin mempersiapkan diri. Seperti apa raut mukamu sebelum meragang nyawa. Dimanakah tempat terakhir yang kau ingin sebelum matamu benar-benar terpejam. Rasakan hatimu, apakah sebenarnya kau benar-benar mengenali orang terdekatmu dengan penuh kesadaran. Seperti desir ombak yang menggulung-gulung pasir maka kelembutannya membuat air laut yang jernih menjadi keruh. Apakah kau akan tergenang oleh perasaanmu sendiri. Siapa yang bisa mengerti ketika tiba-tiba perasaan itu hilang dan kau kehilangan keinginanmu yang dulu. Kau masih punya kesempatan untuk berpikir, atau setidaknya sedikit mempertimbangkan karena apa yang ada saat ini adalah kesempatan. Hidup yang penuh dengan derai tangis air mata tak akan pernah cukup menebus dosa. Dan kebahagiaan yang kau cari selama ini tidak berada dalam jalan hidupmu namun berada dalam sebuah cerita dan dongeng belaka. Dalam keremangan malam kucari cahaya diantara bising dan desakan para penumpang bus malam sambil berdiri memegang tiang dan menjaga keseimbangan karena guncangan. Gemerlap kota dan lampu-lampu jalan bukan lagi kunang-kunang yang benderang. Tak ada yang abadi. Kematian seperti jemputan antar kota yang siap mendatangi kapan saja. Kupikir, kerinduan yang kuat ini harus dituntaskan dengan menemuinya. Namun pertemuan begitu singkat dan perpisahan seperti lebih bertahan lama. Adakah yang bisa mengekalkan pertemuan selain keabadian. Bayangan yang kurangkai saat ini tidak lebih dari sebuah cerita yang belum dituliskan. Jalanan kota yang lengang dan lalu lintas sepi seperti jantung kota telah mati. Aku berdiri memandang langit dan kehitaman terhampar seluruhnya karena bintang-bintang tak cukup banyak untuk membuatnya terang. Lama sekali aku ingin menemuinya, setelah lama kupendam dan aku tidak bisa menentukan jalan cerita hidupku sendiri. Aku harus menerjang hujan dan sakit untuk melaluinya. Hasilnya, mungkin tidak seberapa namun kau bisa merasakan arti perjuangan. Sekalipun kau cari jam yang tepat untuk meluangkan waktu tanpa perlu mengorbankan jadwal yang lain, maka kau tidak bisa berbuat banyak selain kecewa dan diam. Adakalanya keputusan harus diambil tanpa perlu berpikir panjang. Aku mencobanya dan ternyata tidak terlalu buruk. Keinginan itu bisa bertahan lama tapi apakah keyakinanmu sama. Ini bukan soal pilihan, tapi ini tentang kenyataan. Nyata dan tidak selalu dibedakan absurd. Banyak hal terjadi sebenarnya merupakan absurditas. Keseharianmu dalam menjalani hidup tak ubahnya absurditas, karena nyatanya tidak ada yang mengejutkan. Perasaan cinta, suka, benci, dan dendam mungkin juga absurditas karena kenyataannya kau tidak bisa memilih atau menghapus salah satunya. Manakah yang nyata menurutmu jika apa yang kau pikirkan tidak selalu sama dengan apa yang terjadi. Ketika rahasia hidup tidak pernah terkuak maka sama saja berarti kau menjalani hidup penuh absurditas. Rasanya aku ingin bahagia, kau pun begitu. Setiap orang punya cara sendiri untuk meraihnya. Namun selalu saja upayamu terhalang oleh kenyataan sebenarnya yang berseberangan. Bukannya aku menolak, tapi aku mencoba menyadari apa sebenarnya yang diinginkan. Apakah rasanya tidak adil jika semua yang terlihat di depan mata tampak bahagia, kau pun merasakannya. Coba bayangkan seandainya kau kehilangan senyum dan arti tawa sehingga mulutmu hanya membentuk kesedihan dan matamu basah tanpa terhenti. Sungguh menyedihkan hidup penuh dengan kesedihan walaupun kau pernah merasakannya. Kau belajar untuk mengerti bagaimana sesungguhnya penderitaan bisa kau sulap menjadi bahagia menurut bahasamu sendiri. Nyatanya tidak berhasil, karena pikiranmu dipengaruhi oleh pertanyaanmu sendiri tentang kebahagiaan. Kucari ketenangan dalam kelegaman malam. Tak kudapati arti cinta di sudut kota. Hanya kutemui gedung-gedung dan jembatan yang membisu saja, atau mobil-mobil yang berbunyi seperti lampu merah yang ingin bicara. Tapi tolong jangan kau paksa aku untuk merebutnya. Biarkan semuanya menjadi rahasia dan kau mengetahui setelah mengalaminya. Seperti darah yang kau ketahui setelah terluka. Rasa sakit itu mungkin tidak seberapa dengan apa yang kau ketahui setelah itu. Daripada keserakahan dan keinginan untuk menguasai maka cinta selalu ingin memiliki, dengan siapa kau bersama, merupakan pertaruhan paling besar dalam menentukan pasangan hidup selamanya tanpa banyak memilih dan berpikir. Kau tidak bisa selalu memilih dengan kenyataanmu karena kau hanya bisa bertahan dengan bersabar, karena tengisan dan bentuk penyesalan pun sepertinya tak berguna, tidak akan mengubah kenyataan hidupmu, pedih atau bahagia. Cinta selalu memaksa untuk memilih tapi kenyataan tidak menentukan pilihan karena semua yang kau alami hanya tinggal dijalani. Hanya caranya saja yang bisa kau pilih sesuka hati, sudahlah, aku lelah sekali untuk sampai pada hari tanpa aku mengharapkannya lagi. Sehingga kau tidak perlu lagi untuk menangis lebih lama. Ajari aku berdiri saat kakiku lumpuh. Dan kau akan menemukan kesia-siaan. Berjuta kali kau katakan pun kesadaraanmu selalu sama. Akhir bahagia yang kau cari selama ini tidak jauh dari sisimu karena ketenangan itu berada di dasar hatimu sendiri. Coba kau temukan. Apa yang melingkupi dirimu sehingga pikiranmu seakan terbelenggu dan kau tidak bisa lagi bertindak apa-apa. Jauhkan saja dirimu dari penderitaan itu. Kau tidak seharusnya terus-menerus disalahkan karena aku juga merasa begitu. Kenapa tidak ada yang ingin dipersalahkan jika kebenaran itu sebenarnya hanya kebetulan saja. Tapi percuma kau berdebat sekalipun, jika kau memaksaku memilih apa yang menurut hatiku benar, mungkin terasa seperti mengiris jari. Bisa saja aku menusukkan lidi ke mataku agar tak kutemui lagi rupamu dan kulihat hanya bayangan gelap. Kau mendekapku erat seakan di matamu tak ada lagi hari esok yang tersisa. Karena detik seperti lebih berharga dari sepanjang hari yang suram. Kutemukan senyum tipis sebelum akhirnya kau lepaskan tanganku perlahan. Tak perlu bicara hanya tatapanmu seakan tak merelakanku pergi. Beberapa senti saja terasa jauh dari pandangan. Aku ingin bicara dengan hatimu saja, karena bahasa lain tak mudah kuterjemahkan. Bahasa kalbu lebih menyentuh dan murni, mungkin kejujuran bersumber dari nurani. Namun kata hati tak selalu diikuti karena banyak bisikan yang mengganggu. Terkutuklah kau menyesatkan pikiranku. Sejenak, aku tak bisa berkedip karena mataku dipenuhi oleh debu sedangkan tetesan hujan itu seperti ribuan jarum yang menusuk. Barangkali tidak menyakitkan karena sebenarnya kau tidak mengungkapkannya langsung. Hanya saja kutangkap beberapa hal yang menyakitkanku. Rasa kecewa seperti tak pernah ada, jika kau tidak menyebutkan kata itu. Aku ingin lebih melupakan segalanya. Percayalah dan genggam hatimu rapat karena kau akan menemukan arti bahagia walaupun kau tergores karenanya.
Aku sendiri, terkurung dalam sepi dan ruang gelap yang menyelimuti. Aku tidak benar-benar menginginkan untuk lahir. Aku kesepian, karena kegelapan mengajariku mengenali hitam. Aku tidak punya teman berbagi cerita. Sejak kecil, sebelum aku membuka mata dan melihat dunia. Aku begitu banyak merasakan keheningan. Namun kedamaian itu begitu singkat. Setelah ada yang mengandungku memaksaku, mendorongku dengan mengejan. Aku dipaksa keluar. Kau meraba-raba dinding rahimku seperti ingin mengetahui, dan telinga yang mendekat seperti ingin mendengar bisikan kecil. Bahkan kau menayangkan seluruh aktivitasku pada layar monitor. Aku terganggu dan sesekali menendang. Karena aku tidak bisa menggedor-gedor pintu bahkan berteriak lantang. Rahimku begitu sempit dan lembab, kegelapan dimana-mana dan kutemukan banyak makanan di sini, aku suka. karena tidak perlu kemana-mana. Karena rahimku sangat nyaman, tidak ada beban dan pikiran. Semua hal yang kurasakan begitu pribadi, sendiri tak perlu diperhatikan. Berenang di dalam tabung seperti berputar perlahan. Aku tahu selaput ini pasti akan pecah, namun aku ingin berlama-lama di sini. Menikmati kesepian yang membelaiku. Dimana tidak ada rindu dan tangis menyatu. Apa yang terlihat selalu gelap dan mataku belum terbuka namun telingaku mampu mendengarkan denyut yang mengganggu. Tapi mengapa kau menginginkanku lahir. Lalu ada bisikan kecil malaikat seperti meniupkan angin di daun telingaku tentang rahasia. aku terpaksa karena tidak berdaya. Ketika dua buah tangan menyentuh kepalaku, usapan tangan mengelus dinding rahimku. Aku terpaksa keluar dan melihat kenyataan dunia yang palsu. Bahkan mereka merobek dinding dengan alat tipis mengilat tajam. Saat itu aku tahu bahwa semua kenyataanku mulai berjalan, rahasia yang dibisikkan lewat telingaku tenggelam bersama deru nafasku yang mulai tertahan. Aku menangis lantaran sinar dunia yang menyilaukan mengelabuiku dengan pesona yang ditawarkan, tangisku belum mereda dan semakin kencang saat kedua buah mata orang menatapku haru dan tertawa menganggapku lucu. Aku tidak suka, aku ingin kembali ke rahim dan sendiri tanpa perlu ditemani. Mengapa kau paksa aku datang. Ketika aku merasa nyaman berada di dalam rahim. Aku tergeletak sendiri dalam balutan kain putih halus dalam sebuah keranjang kecil. Aku masih menangis dan orang mulai memandangiku, seseorang menyentuh jariku dan menggerak-gerakkan sedikit sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan kedua alis terangkat. Raut muka yang dibuat seolah menghiburku, namun ternyata tidak lucu sama sekali. Aku benci, mengapa aku ditertawakan. Saat aku mulai mengenal orang kurasakan masalah mulai berdatangan. Adam dulu tidak bermasalah saat belum bertemu hawa. Kesendirian itu menyelamatkan, teman hanya menimbulkan masalah. Teman sejati hanyalah sepi, yang mau berbagi dan meneduhkan. Mungkin perlu dihapus saja rahasia dari kamus. Aku mengenal rahasia saat malaikat meniupkannya seperti berbisik-bisik. Karena saat mati pun aku akan seorang diri dan berada dalam kegelapan dan ruangan sempit. Aku tidak perlu membagi rahasia pada siapa pun karena akan menjadi bukan rahasia lagi. Aku harus terbiasa dengan kesepian. Karena tidak ada yang bisa menemaniku bahkan mati. Aku tidak takut gelap dan malah merasa betah. Kegelapan mengajariku kehitaman, sedangkan warna lain hanya mengelabuiku. Pernahkah kau melihat hitam dalam garis pelangi. Sedangkan matamu hitam kecoklatan. Saat aku bermasalah tentu aku lebih merasa nyaman sendiri. Karena kesendirian mengajari hidup, selamanya aku tidak bisa bergantung pada orang lain. Teman, sebagaimana angin bisa membelai lembut juga bisa menjadi badai yang mengancam. Aku tidak pernah mengetahui apa pun mengenai rahasia. Karena kenyataan selalu terjadi seakan tidak membuatku memilih. Aku tidak bisa melewatinya tanpa risiko dan pilihan ditentukan seperti melempar dadu. Dan aku berani bertaruh untuk seluruh hidupku jika harus menjadi korban. Tidak perlu berandai-andai, karena mimpi hanya menghiburku untuk bertahan. Hidup harus dijalani seperti terbentang, sedang jalan itu tidak pernah terpandang. Sedangkan aku tidak bisa memastikan kaki berpijak pada tanah yang tidak salah. Mataku terpejam. Pikiranku mengembara melintasi banyak benua, namun hati tak pernah bisa menepi seperti kapal yang berlabuh. Menyusuri sepanjang sungai yang panjang. Siapa bisa menerka kedalaman laut itu tidak melebihi kedalam dasar hati. Kehidupan yang berjalan seperti sisifus pun ingin merasakan ketenangan. Cinta selalu menjadi arti, ketika perasaan itu tidak mampu lagi diterjemahkan. Aku menyesapi sisa coklat yang melekat di bibir gelas. Aku bercumbu dan memagutnya penuh rindu, namun nafasku terburu angin seperti kepulan asap. Kemudian aku harus menelan kecewa jika kenyataan itu tidak memihakku pada keyakinan yang kumiliki selama ini. Menelan semua kegelisah dan kecemasan yang merajaiku. Tapi aku tidak bisa meredam hasrat jika keinginan selalu menuntut menyeretku pada pilihan sulit. Jika kebutaan ini akan mengakhiri harapanku. Apakah aku kehilangan pikiran dan arti pada diriku sendiri. Aku masih terbungkus kain dan maninan berwarna-warni tergantung di tali berputar-putar seperti kemidi. Mataku tak selalu basah, tapi hatiku perih dan terlalu terluka. Jika bahasa kesedihan tak mampu diungkapkan oleh air mata dan tangis itu teredam oleh kepedihan itu sendiri. Jika hujan mendatangkan bencana dan gerimis itu membuatku menangis. Maka tidak perlu aku mengenal semua itu. Aku hanya akan berkenalan pada kesunyian yang mengajariku ketenangan dan kedamaian dalam hati. Pernahkah kau merasa sangat terluka karena temanmu. Sungguh menyakitkan, terlebih orang yang menyakitimu adalah orang yang paling kau sayangi. Kebencian kemudian datang seperti tetangga, antara suka dan benci menjadi garis tipis kulit bawang yang terkupas. Apa yang harus kau lakukan jika segala hal yang kau bangun selama ini terbuang percuma. Apa rahasia terbesar hidupmu, adakah sesuatu yang harus kau sembunyikan. Jika kau tidak bisa menyimpannya lagi, maka perasaan itu hanya akan terpendam seperti harta karun yang tak pernah digali sementara sebenarnya tidak ada. Aku menikmati saat kesendirianku menyandar kaca dan melihat pemandangan di baliknya. Atau terduduk sendiri menunggu bis datang dan pikiranmu sibuk dengan masalah sementara matamu tertuju pada novel. Perasaan cemas menanti balasan pesan dari orang tersayang. Kau berjalan sendiri menyusuri gang kecil di belokan dan menghilang setelah menutup pintu. Kau matikan lampu dan bersembunyi di balik selimut berusaha memejamkan mata, namun pikiranmu terbelenggu masalah yang cukup parah, dan matamu basah. Mungkin saatnya menghapus beberapa nama yang membuatmu menderita. Karena tidak semua nama-nama itu memberikan pengaruh dalam hidupmu. Lantas, aku berpikir “Kalau aku bisa menulis seperti Walmiki kukira aku bisa mengubah perjalanan hidupku.” Sepertinya menyenangkan, jika aku bisa mengubah jalan hidupku sendiri, seperti menulis cerita. Aku pun mengubah jalan cerita hidupku. Barangkali sendiri lebih menyenangkan. Karena semua hubungan yang tersambung selalu berujung pada masalah. Tidak ada yang bisa menahan masalah itu datang. Karena setiap kemungkinan menimbulkan risiko. Saat aku menghela nafas pun, maka udara itu sepertinya tak tertahankan lagi. Pernahkah kau merasa bahagia dengan sendirinya. Sejenak, menikmati kesunyian di balik selimut dan merasakan kegelapan seperti udara yang sejuk. Kau bisa bergumul dan menindih kemudian berguling-guling penuh nafsu karena kegelapan itu tidak memenjarakanku. Kau bebas memilih dan menyentuh bagian mana pun. Sampai aku sekap dan jerat semua bagian seperti menghisap. Coba bayangkan kesepian itu mengantarmu pada ketenangan seperti terayun oleh lagu-lagu klasik instrument yang mengalun merdu dan mendayu. Memijit tuts-tuts papan tombol seperti gerakan lambat menekan tuts-tuts piano. Kau bisa merasakan hembusan angin pelan itu seperti dawai biola yang digesekan penuh nada dan menyayat. Atau debur ombak di pagi hari saat laut tengah pasang dan nyiur melambai-lambai seperti mengucapkan selamat tinggal pada perahu yang mulai melaut. Debu-debu yang diterbangkan angin di padang gersang tak pernah terbayang akan menempel dimana. Hatiku pun tak pernah terpikirkan singgah dimana, ketika pikiranku berkecamuk seperti mengamuk dan aku kehilangan akal. Siapa sangka aku tidak bisa menahan diri untuk emosi, meluapkan amarah dalam bentuk begitu rupa. Malam yang penuh luka menatap langit berwarna jingga saat matamu tertutup kabut dan tersaput. Menatap bintang-bintang aku menjadi merasa sangat kecil. Bintang yang bertaburan itu seperti kerlip cahaya kecil yang berserakan, sedang aku merasa sendiri seperti bulan malam ini. Kau tahu hatiku pernah merasa gersang layaknya dahaga. Semut-semut kecil beriringan berjalan menapaki rerumputan yang basah. Aku menunduk dan melihat embun diujung daun menyentuh tanah. Mimpi memang selalu ada dalam setiap kepala. Namun mimpi yang menguatkan selalu membuatku bertahan, meyakini sebuah hal yang tak pernah terjadi. Berharap tidak sekedar menjadi keinginan dan hasrat. Sebuah perjalanan berliku yang menemukan jalan lurus. Cahaya kecil itu akan menuntunku melangkah pergi. Dalam kesendirian aku berjalan. Tapi hatiku mendua dengan seseorang yang selalu kupuja. Jika nanti menjadi sekarang dan masa depan mudahlah ditentukan. Aku menginginkan hari ini menjadi hari terakhir. Karena tidak ada lagi hari yang kupercaya menjadi indah. Dibandingkan apa yang kurasakan saat ini, bayangan-bayang terlintas seperti angin. Dan aku menemukan dirimu dalam mimpiku semesra dahulu. Bercengkrama dalam bayangan semu dan aku mendapati senyummu yang dulu. Kau bercerita seolah-olah kau menikmatinya, dan aku hanya mengamati kedipan matamu yang indah, dan bibir itu selalu mengembang layaknya bunga yang merekah. Dimanakah aku harus menuntaskan kerinduan ini padamu, ketika kucari angin yang membelai di tepi laut hanya kutemukan karang-karang yang terhempas di tepian. Seperti kudekap erat namun bayangmu jauh. Aku masih melangkah dengan resah yang tersisa, sebungkus plastik tergeletak berserak di jalan. Adakah hatiku akan seperti ini, terbuang dan tak berdaya di jalan. Tak ada yang tersisa kecuali kepedihan. Luka yang tertutup perban dan kau balut itu menimbulkan bercak merah. Langkahku gontai merasakan hawa sejuk pantai. Pikiranku terlempar jauh ke seberang sana, mengelana dalam semesta. Aku ingin tak menemukan jalan kembali pulang. biarkan aku di sini terdiam sepi dan duduk di atas batang kelapa yang terseret ombak, dan kutemukan pasir putih itu menimbun kakiku. Dan aku bisa merasakan harum laut seperti harum tubuhmu selepas mandi.
Apa yang terjadi jika terlambat 5 menit. Bagaimana bila dompetmu ketinggalan. Mengapa hujan turun saat kau tidak membawa payung. Dimana kau berada saat harusnya kau datang. Seharusnya kau tidak bersikap seperti itu. Apa yang perlu ditertawakan. Semua terjadi begitu saja. Tidak pernah terbendung dan bisa menahannya. Seperti pasir yang tumpah, dan air laut menyeretnya perlahan-lahan. Kehidupan berjalan tidak seperti roda. Tapi berjalan seperti air. Tidak ada yang diatas dan dibawah. Semuanya bersatu menjadi larutan. Bumilah yang berputar, tapi kita hanya bisa berjalan, mungkin berlari. Dan sesekali terjatuh dan terhempas. Apa yang kau temui, dimana tempat berhenti. Selalu ada titik yang menjadi akhir dari setiap perjalanan itu. Tidak ada tempat lagi untuk bersembunyi. Sebuah kebetulan terjadi tanpa terduga. Mimpi selalu datang tanpa kita sangka. Cinta selalu ada tanpa diminta. Rasa sakit itu pun lahir tanpa kita suka. Banyak hal terjadi dan terlewati. Semua berjalan menghampiri dan meninggalkan kita sendiri. Tidak ada keajaiban selain anugerah. Seperti kebetulan yang menjadi kebenaran. Seperti kesalahan yang tidak dibenarkan. Apa yang kau pikirkan, dimana rencana itu. Apa kau menyadari semua rencana itu hanya sebentuk tanda. Banyak tanda-tanda. Seperti firasat dan symbol. Juga seperti kedutan dan garis putih di ujung kuku. Apa yang terasa, jika hati seperti tak menerima. Mungkin hanya cukup dinikmati. Tidak perlu dicari dan dipertanyakan seperti soal dalam ujian. Akan selalu terjawab. Tapi tidak perlu diungkapkan, seperti kartu ucapan yang terbaca saat kau membukanya. Dan senyum terkembang setelah ikatan kado kau buka. Ada harapan, tapi tidak pernah ada jaminan. Semua yang kau rasa adalah perisa. Tidak ada rasa yang begitu kuat tertahan hingga kau lupa. Ujung lidah pun bisa terluka dan kau tidak merasakan apa-apa. Apa yang terasa manis mungkin hanya terpikirkan. Bahkan, kenikmatan itu bisa dibuat. Seperti membuat minuman soda, atau sirup berwana. Rasa itu begitu tercekat di lidah. Namun setelah kau teguk hingga tenggorokan rasa manis itu pergi bersama air yang tertelan. Tidak ada lagi yang perlu diharapkan. Ketika mimpi beterbangan seperti kapas tipis yang ringan tertiup angin. Bahkan, angin enggan untuk membelainya selembut daun. Mungkin, ini belum saatnya untuk mengetahui. Karena masa depan adalah rahasia yang terkunci, direncanakan pun tak pernah bisa diprediksi. Seperti ramalan yang tak pasti dan selalu bencana terjadi. Terkadang, kenyataan tidak sesuai harapan. Lebih baik tidak banyak berharap, atau meredam banyak keinginan. Karena ketika dikejar pun harapan akan semakin menjauh bila ternyata bukan garis hidupmu. Coba kau lihat, dan buka telapak tanganmu. Betapa saat bayi tangan itu polos dan suci tanpa banyak garis dan noda. Perjalanan hidup yang berliku membuat banyak hal terjadi. Garis tangan adalah garis hidup, dan mungkin tidak disadari. Ketika sidik jari setiap orang berbeda, maka kenyataan hidup setiap orang berbeda. Amalan setiap orang berbeda, dosa yang ditanggung juga berbeda. Pernahkah terpikirkan jika kau ingin mencoba merubah sidik jarimu menggoreskannya dengan pisau. Tapi tidak berpengaruh. Bahkan hingga jarimu putus masih banyak tanda yang bisa dikenali selain sidik jari. Darah mungkin bisa sejenis. Namun kenyataan selalu berbeda. Dan kau termasuk beruntung jika kebetulan terjadi dan banyak kesamaan yang kau miliki. Mungkin kau sudah berusaha, dan hal yang bisa menghibur adalah berdoa. Karena terlalu lemah untuk menuntut dan terus-menerus memelas sambil berlinangan air mata. Kita tidak punya kuasa atas apa pun. Bahkan kehendak kita terkesan seperti mendadak. Kau tidak perlu takut. Karena jalan ini begitu menyenangkan. Banyak orang yang bisa kau temui, berbicara. Sekalipun teman sebelah dudukmu terdiam dan tak pernah mengajakmu bercerita. Sapaan pun tak terjadi bila suasana hati tak memenuhi. Akankah keinginan bisa bersatu seperti nafsu. Saat terpikirkan banyak hal dan menggali semua informasi yang terjadi, masa lalu adalah sejarah dan kenangan bukan hanya untuk dihapalkan. Sedangkan masa depan tidak selalu tepat direncanakan seperti membangun jembatan. Roboh. Saatnya membuka mata, jika mimpi hanya membuatmu terlelap dan terkejap. Dunia adalah warna yang terlihat, kalaupun hitam hanya terlihat oleh orang buta. Hatimu bisa bicara. Kau boleh menggaruk-garuk kepala karena ingin, apa yang membuatmu berubah pikiran. Mengapa sampai bisa terlupakan. Selalu ada peristiwa yang terjadi sebagai sebuah kecelakan. Ada hadiah yang diterima sebagai anugerah. Hanya perlu disyukuri. Karena suatu hari kau tidak akan menyadari segalanya dengan cepat berubah. Satu-persatu meninggalkanmu dan tidak ada yang tersisa. Kau merasa kehilangan dan seperti tak merelakan untuk dilepaskan. Kau selalu mengharap imbalan dan hasrat itu berubah menjadi keinginan, sehingga kau selalu diliputi kegelisan. Maka tidak perlu dirasa lagi. Karena kesejatian adalah rasa yang tak terbeli. Keinginan memiliki hanya sebuah hasrat yang tertahan, tinggal menunggu waktu karena hal indah selalu datang pada waktunya. Dan tanggal itu tidak pernah ada dalam kalender selain kita lingkari, sedangkan angka merah hanya menunjukkan hari peringatan. Apa kita menginginkan setiap angka dalam tanggal kalender menjadi merah, sehingga peringatan akan dirayakan setiap hari. Kemana pun kau pergi, hatimu selalu bicara. Pikiranmu selalu berkata, nuranimu selalu menjaga dan perasaanmu senantiasa menyentuh dan meraba. Tidak ada yang bisa mengendalikan suasana hati seperti musim yang bergantian. Ketika hujan turun deras dan hatimu meranggas. Maka senyummu terenggut hilang tertinggal cemberut. Aku hanya ingin melihat matamu, sesekali saja. Kalaupun berkedip maka kedua alis itu akan berhimpitan seperti bersalaman, dan debu-debu tidak akan pernah di izinkan memasuki mata. Aku benar-benar sangat merindukanmu walaupun tak kutemukan jalan untuk bertemu. Dan aku kehilangan waktu dan dayaku untuk bertahan meyakininya. Aku tidak punya apa-apa sedangkan keinginan menuntut untuk diberikan. Maka penderitaan dan kebahagiaan seperti tak mampu dibedakan.
aku tidak menyangka bakal separah ini, bahkan lebih parah. Aku mulai menjauh dari keramaian dan mengurung diri di kamar. Mematikan lampu. Dan mengumpulkan barang-barang aneh, apa saja. Aku memang tertutup, bahkan mungkin tertekan. Tapi aku tidak pernah benar-benar menyanggupi masalah itu. Bahkan aku bisa memaki-maki orang lewat sebuah surat dan menuduhnya telah menyadap dan memasang kamera cctv sehingga aku merasa selalu diintai. Saat tengah malam aku berjalan sendiri dengan gontai menyusuri jalanan setapak dan lorong-lorong gelap yang becek tergenang air hujan. Kemudian aku pulang hampir pagi dengan mata lesu dan sayu. Aku merasa tidak ada lagi orang yang bisa kupercaya. Sekalinya kubuka rahasia itu pada seseorang, ternyata dia tidak bisa menjaga dan menyimpanya. Aku tidak suka orang lain mengetahuinya, terlebih ikut mencampuri urusanku, peduli apa. Kau tidak perlu bersusah payah membantuku, aku cukup kuat untuk berdiri dan bertahan. Semua orang memang seperti itu, tidak bisa memegang kepercayaan, padahal aku sudah sepenuhnya memberikan hal itu. Ternyata pengkhianatan lebih menyakitkan daripada sekedar tidak menepati janji. Aku merasa kesepian dalam keramaian. Aku tidak tahu pasti, inginku sendiri, dan melenyapkan semua orang yang membuatku seperti ini. Aku mulai akrab dengan kucing dan banyak kuhabiskan waktu bersamanya, kucing itu manis dan manja, dia terkadang menggeliat dan menyandarkan tubuhnya pada kaki dan aku akan merasa kegelian saat ekornya membelai telapak kakiku. Walaupun cakarnya tajam tapi dia tidak benar-benar menggunakannya jika tidak diperlukan. Dia bisa menjadi sangat manis dan manja saat suasana hatinya tenang namun bisa menjadi seekor kucing yang liar dan beringas jika ada makhluk lain yang mengancam termasuk kucing yang lain. Tapi aku bukan kucing, aku tidak punya cakar, dan aku tidak bisa bersandar pada kaki orang lain. Aku harus berdiri dengan kakiku sendiri. Walaupun ada orang lain yang mengancamku aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyembunyikan sebilah pisau di balik punggungku, tapi tidak pernah kulakan. Andai saja aku bisa mengeluarkan cakar dari kesepuluh jariku mungkin aku bisa merobek mukanya dengan senang. Pintu kamar kukunci. Lampu kupadamkan. Kipas angin kubiarkan berputar-putar. Handphone genggam kunyalakan, tapi kubiarkan tergeletak walaupun ada seseorang memanggil-manggil di seberang. Biarkan saja, aku tidak ingin bicara. Aku ingin diam dan menekuri kertas putih yang kosong. Kemudian aku mengambil kuas tipis yang panjang dan beberapa warna cat air yang terbungkus seperti pasta gigi. Kutuangkan warna merah, merah menyala, bukan seperti api, tapi lebih mirip lahar dingin yang meleleh dari kawah gunung, tentunya sangat panas dan mendidih. Aku suka. Kucelupkan saja ujung kuas dengan cepat dan aku mulai membuat garis, asal garis. Tidak lurus, kubuat meliuk-liku. Aku mulai menikmati, tapi mataku semakin buram. Cahaya mentari tidak masuk karena tirai tidak kusibakkan. Biarkan saja kegelapan menyelimuti, karena merah ini akan menyala dan menjadi terang. Tiba-tiba aku kesal, kuas itu kuhentak-hentak menimbulkan cipratan merah yang menawan, kemudian aku coret-coret sembarang, benar-benar berantakan. Tapi ada nuansa abstrak dengan garis tegas dan kuat. Aku lempar kertas itu. Aku seperti melihat bayangan hitam bersayap dilangit-langit, kemudian aku merapat ke belakang menyandar dinding, memeluk lutut dan gemetar. Aku menangis hebat, mataku deras bercucuran, kemudian meraung-raung dan menarik-narik apa saja. Seprai itu hingga sobek dan ujungnya merah tertimpa cat. Noda itu seperti darah. Lalu aku muntah, perutku mual dan seperti dikocok-kocok. Kubuka pintu dan pergi ke wastafel. Air itu kubiarkan mengucur dan sedikitnya kuminum setelah kedua telapak tanganku berimpitan membentuk mangkok. Kepalaku sengaja kucelupkan, otakku berasap, jadi kurendam saja. Tiba-tiba ada tangan yang menahanku, aku tersedak. Tangan itu memaksa kepalaku semakin masuk ke dalam air. Air memenuhi rongga dadaku, lubang hidungku. Nafasku mulai tersengal, kemudian rasa perih menjalari mataku. Kupejam tapi air telah memenuhi saluran hidung. Pusing mulai terasa. Kemudian aku berteriak, sekencang-kencangnya. Suaraku parau terendam air. Pita suaraku pecah terbelah sendiri. Air mulai membasahi gendang telinga, aku tidak bisa mendengar kecuali riak air dari kran yang terbuka. Kuangkat wajahku memaksa, tak ada tangan yang memegang. Aku mulai mengatur nafas, mataku berair. Aku pergi dari kamar dan menuju halaman bebas. Aku seperti terperangkap dalam ruangan dan memilih keluar. Menghirup udara bebas dan membuka mata selebar-lebarnya. Barangkali aku harus pergi jauh. Bayang-bayang bersayap itu mulai mengikutiku. Entahlah, aku hanya ingin menjauh, menjauh dari sekat-sekat yang membatasi gerakku. Andai saja tidak ada yang melingkupi diriku dan bisa mengabaikan ocehan semua orang, aku akan bertelanjang dada dan menari, aku suka menari karena akan sangat terasa bebas. Bahwa secara alamiah aku mampu bergerak dan meliuk-liuk kemudian berputar. Lalu tanpa malu berguling-guling di taman dan kubayangkan adalah kasur empuk yang terhampar. Sangat nyaman dan terik matahari itu akan memaksa keringatku bercucuran. Seluruh tubuhku mandi keringat dan kulit mulai terbakar kecoklatan, lama-lama orang lain tidak mengenaliku. Aku berlari sejauh kakiku terbentang. Aku melompat seperti katak yang baru belajar melompat. Kaki menghempas jalan dan debu beterbangan. Kini tubuhku penuh dengan debu karena jalanan begitu berdebu. Aku ingin menjadi debu yang diterbangkan angin sehingga dengan mudah hinggap di tempat yang kusukai, kemudian aku melekat dengan permukaan dan aku menjadi bagian darinya. Aku bisa berkembang biak dengan mudah dan bersembunyi sesukaku. Jalanan berbatu menghambat jalanku, aku tidak bisa menari dengan keadaan tanah seperti ini. Aku tidak melihat pohon tapi aku ingin memanjat, meraih dahan dan ranting lalu kutunggangi seperti kuda dan kubangun rumah di atasnya. Aku tidak bisa berjalan jauh lagi karena tenagaku mulai habis, persediaan makanan dalam tubuhku mulai menipis dan aku merasakan lapar yang melilit. aku bisa menahan pikiranku tapi tidak untuk masalah yang satu ini. Aku meronta-ronta sambil memegangi perut. Lambungku bergetar. Mungkin gara-gara muntah sehingga perutku kosong. Aku tidak suka muntah, karena muntahannya sangat menjijikan. Tidak sampai hati aku membuang isi perutku, tapi untuk melihat saja aku tidak ingin, karena aku akan muntah lagi dan perutku semakin mual. Aku tidak ingin menghisap darah seperti pemakai narkotika yang kecanduan. Kemudian mengikat lengan dengan ikat pinggang dan menariknya dengan gigi kuat-kuat, satu sayatan pisau tipis mengucurkan darah dan diisap dengan penuh nafsu, kemudian tubuh menggelepar seperti ikan terdampar. Aku menemukan rerumputan, tapi tidak berselera kumakan, karena itu makanan kambing dan aku tidak setega itu memakan jatah makan kambing. Dalam lapangan terbuka seperti ini bayang-bayang bersayap tidak akan menampakkan dirinya. Karena sinar matahari bisa melepuhkan seluruh tubuhnya. Melewati jembatan yang tinggi membuatku berfikir untuk meloncat, dan terjun dengan penuh semangat. Air sungai dibawahnya jernih dan aku bisa minum sepuasnya. Aku bisa mencari ikan disana. Menuruni tangga dan batu-batu sungai itu membuatku berhati-hati berjalan, sedikit saja lengah aku akan terjatuh dan sekujur tubuh akan basah dan bisa-bisa terbawa arus yang deras. Aku tidak melihat ikan, aku ingin sekali melihatnya. Ikan tawar sangat bergairah sehingga berenang dengan cepat dan menghilang. Aku berani bertaruh jika seseorang bisa menangkapnya dengan tangan maka aku akan mencoba ratusan kali untuk itu. Aku tidak tahan lagi karena ingin pingsan, dan seluruh tubuhku lemas. Aku harus memilih tempat yang nyaman untuk pingsan, kalau aku pingsan di tepi sungai maka aku akan tercebur dan tenggelam bersama ikan-ikan yang mengerumuniku. Matahari semakin terik dan aku kehilangan keseimbangan. Aku roboh di tanah kering. Bunyinya berdebam sehingga menerbangkan debu di sekitarnya. Semoga ada yang menemukanku. Oh tidak, aku tidak ingin ditemukan, aku ingin bangkit dengan sendirinya dengan keadaan pusing dan lemas. Tidak ingin disangka mayat yang terbuang. Semua akan mengira bahwa aku korban tindak kriminal. Atau orang gila yang tidak menemukan jalan pulang. aku harus kuat, mataku mulai terlihat gelap untuk terbuka. Meraba-raba sesuatu yang bisa kupegang dan membantuku berdiri. Tapi tidak ada, aku melihat kaki, kaki seseorang dengan banyak bulu di betisnya memakai celana pendek yang lebar. Aku tidak sempat melihat mukanya karena terlalu tinggi. Dan aku diangkatnya perlahan sambil mengulurkan dengan susu ditanganya. Menawarkan. Tapi lebih tepat memberikannya padaku dengan cuma-cuma. Padahal aku tidak ingin, tapi kukira cukup untuk mengganjal perutku. Kuterima, terpaksa. Benar-benar terpaksa sambil memalingkan muka, kuminum susunya dan aku mulai membersihkan debu-debu yang menempel. Dia memegang tanganku, tentu aku sangat tidak suka. Aku melawan dan memberontak. Tapi dia malah mengenggamku sangat kuat seakan tidak ingin aku mengambil kesempatan untuk berlari. Semakin aku meronta semakin kuat cengkeramannya, apa yag dia pikirkan. Jelas-jelas aku tidak suka dengan tindakannya padaku. Ternyata kebaikan hatinya mempunyai niat buruk yang tersembunyi. Dia mau melukaiku, atau jangan-jangan mendoaiku. Pikiran buruk mulai menyesaki otakku, bayang-bayang mengerikan menjejali isi kepalaku dan tentu aku sangat ketakutan. Mataku melotot dan aku melolong seperti serigala kesakitan. Aku mulai menarik-narik dan memaksa melepaskan genggamannya. Aku terpaksa menggigitnya, sampai biru bahkan sedikit berdarah. Kesempatan itu kuambil untuk berlari dan melemparkan botol kosong bekas susu tepat mengenai dadanya. Aku berlari sebisa mungkin menghilang dari pandangannya jika bersembunyi mungkin aroma tubuhku masih bisa tercium dan dengan mudah aku bisa ditemukan. Dia akan sangat senang menganiayaku, aku tidak ingin. Pelarian sungguh melelahkan dan aku tidak mau lagi berlari. Lebih baik berjalan dan sesekali duduk di tepi jalan. Aku ingin pulang dan segera tidur setelah menghabiskan makan. Semoga makanan masih tersisa di meja dan aku bisa melahapnya dengan puas. Tapi langkahku terasa berat dan aku tida bisa menahannya lagi lebih lama. Persendianku sakit dan lapar itu mulai mengancam. Aku kehabisan akal untuk mengalihkan perhatianku menuju pandangan yang lain. Karena tetap saja lapar itu menderaku habis-habisan.
Aku ingin mati saja. Mengakhiri hidup. Ini pilihanku dan tolong hargai aku. Aku tidak perlu kau kasihani. Aku sudah terlalu menderita dan aku sudah cukup merasa bahagia. Kematian adalah tujuan hidup dan aku ingin segera menjemputnya. Malaikat maut itu akan senang karena aku meringankan tugasnya. Dia tidak perlu datang mencabut nyawaku. Aku sendiri yang datang dengan nyawa yang telah menghilang. Biarkan ini terjadi menjadi sebuah akhir dari sejarah hidupku. Ini adalah garis akhir yang menentukan takdirku. Seperti mencapai garis finish, aku akan bahagia dan tersenyum bangga. Apa yang harus kutunggu. Bola harus dijemput dan aku ingin mati segera. Ini bukan lantaran aku tersiksa, atau tak kuat menanggung pedih luka. Karena aku hanya ingin segera mencium angin surga. Aku merindukan wajah malaikat yang berseri-seri sambil tersenyum tipis melambaikan tangan padaku. Sesungguhnya kematian adalah awal kehidupan dan aku ingin menjalani hidupku yang baru. Cukup sudah bagiku menutup lembaran hari ini yang telah usang dan berdebu. Hatiku terpenggal dan mataku buta oleh pesona dunia. Dan aku tertipu pada kenyataan palsu ini. Percuma saja aku berusaha meyakinkanku. Karena aku hanya ingin mati. Jantungku berhenti dan tubuhku kaku seperti patung lilin. Tidak ada yang perlu dipertahankan, dan segalanya tak tersisa. Tak ada yang kumiliki selain keinginan. Bahkan kenangan pun tak perlu diingat lagi. Karena ketika kumati seluruh kenangan akan sirna bersama aliran darahku yang terhenti seketika. Tak ada lagi cerita dan aku akan tenang tanpa perlu menyimpan rahasia. Masalah hidup akan selesai, karena hidup adalah masalah dan mati bukanlah masalah. Mati bukan penyelesaian tapi masalah harus diselesaikan. Dan karena hiduplah yang menjadi masalah dan mati bisa menjadi pilihan dan solusi. Memang bukan satu-satunya cara tapi aku menginginkannya. Ini bukan menyangkut harga diri karena sebenarnya manusia sungguh tidak berharga. Harga manusia adalah mati. Jika manusia selalu mempertahankan diri maka selalu ada pertikaian. Jika manusia punya harga maka dengan mudah akan terbeli. Keyakinanku runtuh bersama kenyataan ini dan aku tidak ingin apa-apa lagi selain mati. Setiap nafas dalam hitungan detik akan tergerus waktu. Dan aku tidak punya waktu lagi. Ini bukan kesia-siaan. Karena aku sungguh ingin merasakannya. Bagaimanakah caraku mati, aku punya cara sendiri tidak perlu kau risaukan. Aku tidak perlu jauh-jauh pergi. Cukup disini, asalkan siap dan hati mantap. Setiap orang pasti akan mati. Jadi apa yang kutakutkan, sakitkah. Aku sudah terlalu sering merasakan sakit, tubuhku tertusuk-tusuk, dadaku terguncang bahkan terjerembab pada tanah yang lembab. Perlahan atau cepat itu hanya masalah waktu, usia kita tentu terbatas. Batasnya adalah saat ini, tidak perlu banyak berpikir. Karena pikiran kadang menyesatkan. Kalaupun bertindak dengan hati tetap saja hati bisa dibohongi. Sekaranglah saatnya, jika hidup yang kurasa cukup sampai disini, tidak perlu wasiat. Aku tentu banyak kesalahan dan dosa, biarlah menjadi dosa dan kesalahan. Karena maaf yang telah menemukan di-kan selalu melahirkan kesalahan baru. Dan maaf tidak semestinya dipermainkan. Tidak perlu menyesal karena setelah dilahirkan aku telah menyesalinya dengan menangis. Aku tidak perlu menangis lagi. Cukup saat bayi saja, karena kupikir penyesalan selalu ada di akhir, tapi aku menyesali semuanya di awal. Sehingga akhir menjadi ending yang bahagia. Seperti air terjun yang terhempas di batu cadas, percikannya menyejukkan. Tolong jangan ceritakan ini pada siapa pun. Kematianku bukan berita hangat di koran, bahkan klise. Bunuh diri. Daripada membunuh orang, jahat sekali. Tidak perlu menjadi pembicaraan setelah aku mati. Cukup dilihat saja namanya di batu nisan. Kau akan tau kalau itu namaku. Dan perlahan-lahan terlupakan. Tidak perlu dikenal. Karena aku tidak memasangkan foto disana. Ini adalah keinginan dan hasrat terdalamku, setelah sekian lama aku memendam banyak niat. Kali ini aku harus menuntaskannya, seperti hasrat melepas dahaga, hasrat melepas nafsu, cukup hanya dilakukan saja. Dan semuanya akan berakhir. Ini akan menjadi akhir yang begitu singkat dalam ceritaku. Tapi cukup menyentak. Karena aku tidak ingin lebih berkesan dan menegangkan. Aku takut terlalu mengejutkan. Sehingga niat ini tidak perlu diberitakan kepada yang lain. Perlahan-lahan aku mulai menahan nafas, sesekali memang tersengal. Tapi untuk tahap awal selama menahan pernapasan harus sedikit kuat. Sehingga udara yang masuk tidak begitu saja keluar. Nikmati sisa udara di dalam tubuh untuk oksidasi terakhir kalinya, maka detak jantung itu tidak keberatan mengalirkan darah. Aku pejamkan mata. Dan mulai mentutup mata rapat-rapat, karena kesan akan dunia ini bisa lenyap begitu saja. Kau bisa merasakannya. Ketinggian ini selalu menjadi hasrat setiap manusia. Seperti keinginan menduduki jabatan tinggi. Aku telah berada di sini. Pijakan ini begitu kuat walaupun terpaan angin begitu kencang. nikmati sekeliling itu dan rasakan hembusannya. Tidak perlu kau tatap pemandangan, itu kamuflase. Keindahan yang terbentang tidak lain telah mengelabuimu dan mengurungkan niatmu. Lepaskan saja seluruh raga ini terbang bersama terpaan angin yang menggoyang-goyang. Bentangkan tanganmu dan irama detak jantung akan semakin samar terdengar. Aku mulai menghitung mundur. Melenyapkan segala ketakutan dan kengerian, bayang-bayang semu segera kutepis dan ingatan akan cinta, benci, dendam, suka, perih, luka, ambisi, cita-cita, impian, obsesi segera kuremuk bersama hentakan kaki yang kuinjak. Sedikit saja perlu melangkah. Selamat tinggal, aku akan meninggalkanmu semua. Kau akan terbang seperti elang dan menukik tajam seperti menyambar mangsa. Tapi ada kelegaan yang mencapai titik sehingga tidak perlu dilukiskan. Kau bisa melakukan apa yang tidak dilakukan orang lain, bahkan seluruh manusia. Kau terbang bersama angin dan membelai udara. Aroma kematian akan semakin dekat datang padamu. Aku telah siap. Dan aku akan membuka gerbang kematianku dengan kesungguhan hati, kau akan melihat cahaya putih yang berkilauan, sangat indah. Hanya kau yang bisa melihatnya, cukup sekali kau melihatnya. Dan setelah itu kau memiliki banyak cara untuk bicara, tanpa memiliki nafsu yang mengikatmu dan menyesatkanmu. Kau hanya merasakanya saja. Tapi setelah keinginan mati kau bisa mengajukan ratusan bahkan ribuan keinginan. Karena untuk mencapai itu hanya perlu mati. Sebuah imbalan yang menurutku cukup memuaskan. Orang yang kau sayangi, temanmu, keluargamu, sahabatmu, siapa pun itu pasti tidak akan mengira kalau kau sangat puas setelah mati. Hapuslah semua ingatan tentangku, karena aku akan pergi untuk selamanya. Tidak ada kerumitan disini, tidak ada yang meledak-ledak. Semua terjadi seperti tersedak. Sebentar dan hanya cukup diketahui. Mati juga sebagian dari cerita. Dan mati adalah obat hidup, ketika sakit sepertinya tak tersemubuhkan. Maka datanglah kesini. Dunia yang lebih abadi. Tanpa kekhawatiran, tanpa kecurigaan. Hidup penuh ketenangan. Tanpa beban dan masalah. Aku masih memejamkan mata, dan kurasakan darahku berdesir, ini permulaan sebelum mati. Hanya belum terbiasa. Dan aku begitu menikmatinya. Daripada menyuntikkan lenganmu dan memasukkanya dengan cairan yang membuat pikiranmu terbalik, tersiksa dan ketergantungan. Pilihanku tidak bergantung apa-apa. Kau tidak merasakan dua kali. Hanya mati dan selesai. Seperti kisah yang tinggal menemukan titik, jelas tinggal menuliskan mati. Lelah hati ini bersandar pada kepalsuan. Ketidakpastiaan ini menjadi kanker yang menyiksaku. Tak perlu mencari identias karena nama hanya tertuliskan di batu nisan, kita sungguh tidak diharapkan hidup lama-lama jika hanya menimbulkan kerusakan. Dan alam sungguh teraniaya, saatnya pulang. Perbuatanmu sungguh keji dan berlaku kejam. Cukupkan sampai di sini. Kau bisa menentukan caramu sendiri untuk mati. Kau bebas melakukan banyak aksi dan gaya dalam mengakhiri hidup sebelum kau pergi. Tidak akan ada lagi kritikan, sanggahan dan bantahan yang menyesakkan itu. Kecurigaanmu tidak akan lagi menuduhmu berkonspirasi busuk. Tubuhku melayang diterbangkan angin dan burung-burung melihatku tersenyum. Kicauannya memanggilmu dan mengabarkan selamat tinggal. Salamnya hangat dan tatapannya teduh merelakanmu. Aku mulai merasakan dingin dalam jantungku, karena angin seperti lebih kencang menampar wajahku. Tidak perlu banyak persiapan, dan aku tidak menyisakan apa-apa, tidak ada yang berharga. Kau akan tersadar kalau kau ingin secepatnya mati. Semua yang tercipta akan sirna, mengapa harus menunggu. Lebih cepat lebih baik. Tidak ada kelebihan yang kau rindukan selain mati. Karena hidup tidak akan sempurna tanpa mati. Dua sisi itu memang melekat seperti mata uang. Kau tinggal membaliknnya dan kau temukan dunia baru. Kau datang dan saatnya pergi. Kau sungguh berani memutuskan mati. Dan aku berani, karena hidup tidak perlu keberanian, hidup hanya perlu dijalani. Tapi aku berani menjemput matiku dan menghilangkan semua ketakutanku akan mati. Hidup adalah sementara dan mati adalah keabadian. Semua yang telah meninggalkan kita abadi sepanjang masa. Bahkan berabad-abad lamanya. Bagaimana jasadmu tak perlu cemas, karena itu bukan lagi tugasmu. Cukup mati, kau tinggalkan jasadmu yang kusam dan masa lalumu yang silam. Orang yang masih hidup akan mengurusnya, mungkin menguburnya, membakarnya atau memasukannya kedalam peti. Sama saja. Jasad itu akan membusuk dan habis perlahan-lahan. Sedangkan jiwamu kekal menuju ke haribaan. Ruhmu akan terbang dan melambaikan tangan meninggalkan tubuhmu yang hina dan nista penuh noda. Mati sungguh nikmat, seperti menyesapi sisa minuman yang kau suka terasa sekali di lidah. Namun tercekat di tenggorokan. Sedangkan mati rasanya seperti sekujur tubuh, dan semua organ dalam tubuhmu merasakan nikmat seperti tersengat. Secepat kilat jika kau menghitung waktu melepaskan raga. Dan kau tidak perlu berbusana karena mati adalah mati. Tidak ada lagi yang terkait dengan urusan dunia. Dunia penuh kepalsuan dan kemunafikan. Semua hal bisa direkayasa, dan kepentingan bisa dimanipulasi menjadi keinginan. Sedangkan mati tidak perlu bersusah payah. Tinggal mengakhiri hidup. Tubuhku mulai menukik tajam dan darahku seperti terangkat ke atas. Ubun-ubunku terbalik dan aku merasakan pusing. Tapi bukan lantaran memikirkan hutang dan krisis ekonomi yang mengkhawatirkan, aku hanya sedikit merasa pusing karena kepalaku berada di bawah. Sehingga tidak ada yang merasa selalu di atas, bahkan kepalaku sekarang berada di bawah. Kepala negara selalu ingin menjadi kepala, kepala perusahaan tidak mau menjadi kaki. Tapi kepalaku berada di bawah seperti kaki. Dunia terbalik dan kepalaku ikut terbalik. Aku senang. Aku tidak menyombongkan diri dengan mendongak kepala, tapi aku bersujud terlampau menunduk sehingga seperti menjungkir balik. Aku siap menerima ajalku. Aku rela mati. Ini adalah keinginan terbesarku. Biarkan maut merengkuh jiwaku, biarkan ini menjadi akhir dari sebuah masaku. Waktuku telah habis dan aku menghabiskannya dengan penuh selera. Kepalaku membentur aspal. Darah seperti memuntahkan. Aku tidak merasakan sakit. Pandangan mataku memudar. Seketika seluruh penglihatanku gelap. Aku tidak sadarkan diri. Lebih tepatnya mati. Good bye
tentang airmata
malam yang berbeda, awan menyelimuti
dan mendung tebal memenuhi.
seketika gerimis turun perlahan
aku mendekap sunyi menyandar kepala ke kaca dan merebahkan tubuh pada kursi
bus bergerak perlahan dan pandanganku kosong menatap suasana di balik kaca
kesepian memelukku dan kerinduan membuncahku
tak ada yang bisa mengantarku pada sebuah perhentian
ketika bus sepertinya tidak mengetahui tempat berhenti
aku tidak bergeming dan mengabaikan pikiranku
malam semakin gelap dan hujan masih menetes-netes
betapa mataku tersaput oleh air
dan hatiku terenyuh manakalah rasa itu datang dan mengguncangku
menatap jalan ke depan yang jauh dan terbentang
seakan tak terhalang namun mataku tak mampu melihat
jika kenyataan semakin membuatku perlahan bergerak
badanku terasa dingin dan jaket tidak bisa membendungnya
angin yang tipis selalu menusuk hingga kulit ari
tak ada suara lain selain gemercik hujan yang merdu
seperti nyanyian angin yang menampar-nampar daun hingga terdengar telinga
aku masih di sini
terduduk sendiri dalam keheningan malam
dan roda berputar tak pernah berhenti
menatap jauh jarak hingga tak terpandang
seketika mataku terendam air
kemudian lamat-lamat menjadi basah
airmata mengkristal dan menggenang
alunan hujan menyertai dan pandanganku semakin samar
denting-denting tetesan menerpa kaca
hingga lapisan terluar terbungkus embun
dan aku tidak bisa melihat lagi
jalanan kota yang lengang
lampu-lampu yang berkelipan
tak ada lagi pilihan, saat aku terpaksa mengedipkan mata
airmata luruh membasahi pipi
tersadarku saat terisak pedih
menahan sisa kegetiran hati yang menyiksa
aku tak pernah memahami
arti airmata
malam yang berbeda, awan menyelimuti
dan mendung tebal memenuhi.
seketika gerimis turun perlahan
aku mendekap sunyi menyandar kepala ke kaca dan merebahkan tubuh pada kursi
bus bergerak perlahan dan pandanganku kosong menatap suasana di balik kaca
kesepian memelukku dan kerinduan membuncahku
tak ada yang bisa mengantarku pada sebuah perhentian
ketika bus sepertinya tidak mengetahui tempat berhenti
aku tidak bergeming dan mengabaikan pikiranku
malam semakin gelap dan hujan masih menetes-netes
betapa mataku tersaput oleh air
dan hatiku terenyuh manakalah rasa itu datang dan mengguncangku
menatap jalan ke depan yang jauh dan terbentang
seakan tak terhalang namun mataku tak mampu melihat
jika kenyataan semakin membuatku perlahan bergerak
badanku terasa dingin dan jaket tidak bisa membendungnya
angin yang tipis selalu menusuk hingga kulit ari
tak ada suara lain selain gemercik hujan yang merdu
seperti nyanyian angin yang menampar-nampar daun hingga terdengar telinga
aku masih di sini
terduduk sendiri dalam keheningan malam
dan roda berputar tak pernah berhenti
menatap jauh jarak hingga tak terpandang
seketika mataku terendam air
kemudian lamat-lamat menjadi basah
airmata mengkristal dan menggenang
alunan hujan menyertai dan pandanganku semakin samar
denting-denting tetesan menerpa kaca
hingga lapisan terluar terbungkus embun
dan aku tidak bisa melihat lagi
jalanan kota yang lengang
lampu-lampu yang berkelipan
tak ada lagi pilihan, saat aku terpaksa mengedipkan mata
airmata luruh membasahi pipi
tersadarku saat terisak pedih
menahan sisa kegetiran hati yang menyiksa
aku tak pernah memahami
arti airmata
Aku terpeleset dan menyenggol vas bunga. Pecahannya berserakan dan sekeping kaca tertancap di dadaku. Ada darah yang menetes-netes seperti sisa hujan yang turun dari atap. Bunga aglomeria pun terhempas dan ternodai darahku. Aku tidak bisa bangkit karena kaca itu menusuk tepat di jantungku. Seketika darahku berhenti mengalir dan sisanya menetes-netes membasahi lantai. Aku tidak sempat mengerang. Hanya desahan nafas terakhir yang sempat bergulir bersama serpihan kaca yang terpelanting. Tusukan itu tepat merobek saraf jantung dan denyutan terakhir belum sempurna sehingga sisa darah memuntahkan seperti lahar yang dingin. Tak ada gigil dan gemerutuk gigi karena hanya bunyi berdebam yang ada saat kepalaku membentur lantai dan mataku menatap kosong ke langit-langit yang putih. Bajuku basah oleh percikan darah yang terlempar bersama angin dan membuat warna bajuku tampak lebih gelap. Pembuluh darah yang lain ikut berhenti dan membeku perlahan-lahan sehingga bibirku membiru seperti kedinginan. Kukuku mulai berwarna ungu karena darah telah terenggut oleh pembuluh yang lain. Aku tidak bisa menggapai-gapai karena seketika seluruh tubuhku lumpuh. Air mataku luruh sampai memudarkan darah yang membekas di pipi. Kakiku mengejang dan urat leherku mengeras menahan tarikan dada yang kian sesak dan dalam beberapa detik seperti terguncang hebat. Hatiku tak sempat berkata apa-apa karena kata-kata sepertinya tidak berguna diucapkan sekalipun. Tak ada yang bisa mengubah kenyataan ini. Tak ada maaf yang bisa menyembuhkan luka. Karena perihnya pun tak kan mau memberikan kesempatan kedua. Inikah yang dinamakan mati. Saat seluruh nadi tertarik seperti kawat yang menegang terserang listrik dan seketika padam. Kemudian mataku dipenuh kilatan cahaya putih dan menutup seluruh pandanganku. Aku tak mampu mengedipkan mata. Karena seluruh saraf dan otot tidak berfungsi dan aku tidak memiliki energi cadangan seperti mesin yang bisa dihidupkan secara otomatis. Sakitnya seperti duri mawar beracun yang tak pernah menawarkan luka. Tusukannya membuat mata tiba-tiba perih dan berair seperti bola lampu tersiram hujan. Pedih. Tak ada yang bisa menolongku. Karena aku menghendaki ini terjadi pada diriku, sehingga orang lain tidak perlu tahu dan aku tidak akan dibawa ke rumah sakit untuk diobati. Buat apa ketika kepedulian hanya menimbulkan masalah bagi orang lain. Aku tidak ingin menyusahkan siapa pun. Sehingga aglomeria mahal pun tak berharga jika hanya disimpan di dalam vas bunga. Keindahannya menawan dan harum membelai lembut udara. Namun tak ada lagi yang tersisa. Jika vas bunga itu jatuh dan terbanting dilantai. Dadaku pun tertusuk pecahan kaca. Dan tusukannya menembus daging. Hingga menohok tulang rasa sakit sampai tidak terperikan. Kaca itu sangat tipis dan tajam sehingga mengkilat diterpa cahaya lampu. Tapi aku bahkan tidak bisa berkaca karena mataku tertuju pada objek yang lain. Tapi nafasku masih tersisa sehingga rasa sakit tertinggal di ujung tarikan nafas. Cabutlah sekarang. Jangan kau tunda lagi sehingga kau bebas tersenyum sambil meringis didepan mataku. Sehingga tidak sakit yang tak tertahankan lagi. Biarkan nyawa ini melayang bersama kekecewaan dan kau bebas membawaku pergi. Sehingga tak ada tangis yang menderas seperti hujan lagi karena tubuhku kaku seperti membeku dan aku tidak berharga lagi. Tidak ada lagi harapan ketika pecahannya tak terelakkan dan seketika kepercayaan runtuh bersamanya. Siapa yang kejam antara aku yang membanting vas bunga, kaca yang menusukku atau malaikat yang mencabut nyawaku. Ini terjadi begitu saja dan kadang aku tak bisa mengelak pada kesalahan yang tak perlu karena kenyataan terjadi seperti angin yang menghampiri begitu saja. Ketika aku menyesal dan vas bunga terlanjur pecah maka aglomeria akan selamanya membenciku terlebih darah menodainya tidak akan mengubah apa pun. Aku telah menodai kemurnian. Apa aku masih percaya pada ketulusan jika kaca itu menusuk dadaku dan aku sampai tak mampu mengucap maaf padanya yang balik menyerangku. Maafkan aku. Karena salahku kau tikamkan kaca padaku. Biarkan darah ini habis hingga memenuhi lantai. Saat ingin kuraih bunga mataku hanya mampu berkaca-kaca dan kau tak akan mengerti bahasa itu. Kepalaku membentur lantai dan sisa darah di dalam tempurung bercucuran pelan sehingga otakku kehabisan darah. Aku tak mampu berpikir apa-apa, lebih baik aku menikmatinya saja. Karena aku tak memiliki apa-apa lagi. Harapan dan keyakinan yang bertahan selama ini hancur seperti mesiu yang meledak, serpihanya berhamburan diterbangkan angin dan hilang. Aku tak mengerti kenapa bisa terjadi tapi aku menyadari kesalahanku dan memohon maaf atasnya. Jika tak ada maaf yang tersisa kau boleh hujamkan pecahan kaca yang lain pada mataku. Sehingga aku tak perlu mengenal luka, melihat nestapa, menatap duka, menyimpan isak tangis. Kau bisa keluarkan mataku dan mengirisnya terbelah dua sampai kau memerasnya menjadi darah segar yang bisa kau minum. Cabutlah nyawaku seperti pohon toge yang tercabut tak pernah sempat menjadi pohon. Tak perlu ragu. Karena keraguan akan mengelabuimu dan aku tersiksa pedih. Aku telah memecahkanmu dan kau bebas melakukan apa pun padaku. Terserah saja. Jika aku hanya menyakiti dan tak perlu ada maaf. Hatiku hancur bersama kata yang tak sempat kuucapkan. Karena lidahku membeku bersamaan dengan aliran darahku yang terhenti dan aku kehabisan nafas. Seolah kedipan mata tak berharga dan aku rubuh dengan kepingan kaca yang jatuh. Bawalah aku pergi untuk selamanya. Karena waktu tak pernah memberiku janji seperti apa peristiwa ini terjadi. Dan aku hanya kehilangan waktu sebelum hidupku berakhir. Tak perlu berpikir karena otak bisa mendustaimu dan aku hilang kesabaran karena menunggumu menyelesaikan penderitaan ini. Tak perlu menarik nafas karena tubuhku terlanjur terhempas. Saat kata maaf hanya terdiri dari empat huruf yang bersatu tak kan berhaga jika tidak pernah ditambah di-kan karena maaf seperti kehilangan jiwanya. Seperti dahaga tak pernah sembuh oleh airmata. Aku bersalah tapi kau malah memenjarakanku pada sakit yang membelenggu. Tak pernah ada vonis. Dan kasus ini menggantung seperti terabaikan. Aku tak lain terdakwa yang menunggu eksekusi jika tak kau segera ambil jiwaku. Lebih baik kau rengkuh jantungku agar kepedihan ini tak menjadi lama. Sungguh maafkan aku. Aku memilihmu karena suka. Tapi cinta tak pernah bisa terbeli. Dan kau bebas menawarkan harga mati. Ketika tanganku tersentuh adenium tak berarti perhatianku lebih padanya karena aglomeria tak pernah tergantikan. Dan ketulusanku jatuh pada dirimu. Jika malaikat memberiku nyawa maka kugantikan vas bunga kaca menjadi besi yang bertahan saat terbanting sekalipun. Kubeli berapa pun harganya. Jika tak ada pilihan maka hunuskan kaca itu lebih dalam sehingga menjadi erangan terakhir. Dan aku bisa menjadi tanah untukmu.
Membayangkan saja, arti kehilangan begitu menyesakkan dada. Sampai tanpa terasa bulir bening pun perlahan membasahi kelopak mata. Seberapa kuat kita bertahan menjaga dan berusaha mempertahankannya tetap saja menjadi kehilangan yang menyedihkan.
Arti kehilangan selalu saja menimbulkan duka. Menumbuhkan rasa haru yang tersedu. Meretas air mata yang turun satu-satu. Mengapa harus dipertahankan, ketika apa yang terasa berbenturan selalu menjadi alasan. Bertemu tanpa menyatu, bersua tanpa menyapa. Ada cinta yang tersisa, tapi terbagi sepi dan api. Sehingga berakhir pada perpisahan yang tak terelakkan, bukan tanpa menyadari, karena sepenuhnya tidak ada yang bisa dipertahankan lagi.
Hatiku terlalu terluka ketika darah itu menghitam dan lukaku dalam tergores mata pisau, parauku berteriak mendekamku. Haruskah aku mati bila rasa ini begitu menyiksa, aku terus berjalan walaupun terseret-seret karena kakiku berdarah dan sebagian tulangku patah bersama runtuhnya persendianku yang kokoh.
Telah banyak harap kudekap. Telah mati rasa kurasa bila semua asa terpaksa menutupi hati. Bahkan kutumpahkan air mataku hingga meledak-ledak tangisku pecah berubah menjadi isakan yang tertahan, selalu ada rintihan hati yang menggapai-gapai mata. Agar kesedihan cepat mereda. Mungkin aku bisa bertahan, tapi aku tak pernah bisa menguatkan. Karena hatiku bukanlah sebongkah baja yang tertancap di dalam saga. Ketika kepingan perasaanku terbanting bersama kekecewaan dan pengkhianatanmaka sekalipun tak akan kau temukan lagi kepingan yang serupa.
Ketika aliran darahku terhenti dan sesaat nafasku tercekat, aku terjaga saat malam tengah bermesra bersama purnama, dan peluh membasahi seluruh tubuh. Karena dadaku bergetar. Air mataku tak terbendung dan aku hanya bisa memeluk dadaku sendiri dengan melipat tangan hingga dingin merasuk.
Aku tidak melihat pengertian apa-apa darinya
Dimanakah matamu bila yang kau lihat selalu melukaiku. Dan ujung matamu menancap dalam lubuk hatiku hingga mengeras seperti cadas. Tapi bukan saja menusukku bahkan kau merobek mata hatiku, sampai mata bathinku buta untuk melihat realita. Tak bisa kubedakan lagi antara dendam dan benci ketika selaput mata seperti tak terbiaskan. Cinta tak pernah lagi tersisa karena habis kau telan bersama air mataku yang kau minum perlahan. Aku ingin membalasmu, merasakan kepedihan yang tak terperi karena kau telah membutakan mata hatiku, tapi apa yang bisa kuperbuat jika matamu tajam mengancamku, bahkan tak memberiku kesempatan untuk mengedipkan mata dan beberapa detik kemudian kau hunuskan pisau itu ke dadaku.
Aku pembunuh, lebih
Kau menyeringai dan membilas ujung pisau dengan lidah hingga mengkilat. Aku meremas tanganku dan mencengkeram jemariku. Kukepalkan niat untuk meracunimu, karena cinta telah membiusku hingga seperti ini. Bukan saja menyihir tapi telah menggelapkan pandangan mataku. Hingga aku terabaikan oleh nuraniku sendiri, tega! Sungguh tega kau tikam mata pisaumu ke dadaku hanya untuk sebuah alasan palsu yang kutahu tidak sepenuhnya jujur dari hatimu. Mengapa kau dustakan arti ketulusan dan memaksaku memutuskan. Hingga kupersembahkan sayapku untuk kau pergi setelah kau puas mencabut nyawaku.
Sejelasnya aku tergores karenanya
Pergilah jauh hingga tak pernah kulihat lagi matamu. Karena di balik punggung pun kau menyimpan muka untuk bersembunyi saat rupamu tak lebih dari dustamu. Hatiku meraung-raung seperti jasad yang terpasung luka hingga lama mengering dan basah terbelai angin, perih. Kau menyebabkanku mati. Terkapar hingga ke dasar sampai sukar kutemukan belukar. Aku benci! Sampai kapan pun tak ada lagi alasan untuk hati menetapi. Kau mendorongku hingga tersangkut duri. Bisanya mernyeruak masuk hingga ke pembuluh nadi. Dan seranganya menimbulkan desahan seperti meronta. Bahkan saat terlelap pun aku masih menitikkan air mata.
Mengapa tak pernah kau mau memberiku penawar luka. Ketika harapan yang kau tawarkan hanyalah sebuah ucapan semata, yang terbang dan membubung tinggi seperti balon yang tertiup angin dan pecah di angkasa karena teriknya membelahnya menjadi serpihan yang tercerai. Hatiku beku lantaran dingin menyatu bersama deru nafasku yang terburu. Tak ada denyut kehidupan ketika dadaku terguncang dan aku tidak bisa bernafas beberapa saat setelah mengucapkan kata itu. Kata yang sebenarnya sangat kau tunggu. Karena kata yang membebaskanmu dari belenggu. Membebaskanmu dari kemelut bathin yang rumit dan menyulitkan. Aku pun perlu menghimpun tenagaku untuk menyimpan oksigen di dadaku. Karena detaknya berdebam seperti ban yang roboh.
Sampai aku membaca hembusan nafasmu. Aku ragu untuk tetap tegak berdiri. Dan air mata tumpah berjelaga seperti embun yang luruh bersama-sama.
Kerongkonganku panas layak direndam api
Kata-kata yang kurangkai terbakar amarahku, kilatanya menyambar-nyambar sampai ke lidahku menjadi kelu. Dan suarau hilang terserap. Kau mencekikku kasar dan seketika sekujur tubuhku rapuh seperti debur tanah yang gembur, aku pasrah atas kematianku. Bahkan telah kusiapkan satu persembahan untukmu. Ketika jalan yang kau pilih berbeda, telah kutaburkan duri-duri tajam itu di setiap derap langkahmu. Agar kau tahu tetesan darahku akan selalu menyertaimu, menyaksikanmu meratapi luka yang menganga.
Erangan menjadi jeritan pahit
Aku menyadari sepenuhnya suatu saat akan kau alami. Bahkan kau tangisi, bukan saja kepergianku tapi perasaanku yang tertingga balas menghujammu dari belakang. Tak kan kau sadari sebilah pisau bersarang di hatimu.
Sakit ini begitu mendera dan teriakanku tak pernah membuat luka menjadi jera. Aku ingin memelukmu terakhir kali dengan membisikan mutiara di balik daun telinga dan samar-samar kau dengarkan karena suaraku terlalu kecil seperti desahan.
“Aku sangat ingin mati rasa
karena aku tersiksa karena apa yang aku rasa”
kau tahu serigala melolong memecah kesunyian karena dia merasa terbelenggu sepi dan tidak ada sebentuk kasih sayang kecuali suara lain yang menyahut seperti memanggil
sedangkan bulan hanya menyaksikan dia menggigil kedinginan
sendirian di tengah hutan yang mencekam
Tahukah kamu pasir yang berserakan di sepanjang tepi pantai selalu mendesah-desah seolah terpasung luka oleh perih yang diantarkan ombak pada buih-buih yang tersisa dan sekejap menghilang. Pasir yang terbawa arus dan gelombang laut menyeretnya ke dalam palung, hembusan angin terkalahkan debur ombak yang menerjang karang. Keteguhan hatiku remuk dipalu godam melebur bersama pasir yang terabaikan, aku terombang-ambing dalam kekalutan yang memenjaranku. Derai-derai tawa hanya sepeninggal cerita karena burung enggan bersiul menghibur diriku yang terhempas oleh waktu.
Tidak ada cinta, aku selalu berbisik pada angin manakala rindu menjelma sendu dan karang hanya terpaku terbelai angin dan ombak itu. Aku disini menatap kekosongan hati dan deru angin menusuk-nusuk kalbu. Perih. Ketika asin dalam garam membekapku. Aku hanya bisa menyaksikan hamparan biru di langit mempesona. Dan kilau mentari begitu menyilaukan mataku untuk merasakan hangatnya pagi. Keindahan telah membutakanku pada satu arti. Ketulusan. bagian tubuhku terpisah berkeping-keping, seperti guci pecah yang terbanting. Tak ada yang bisa merekatkan hatiku. Senyum yang aku miliki telah hilang diterpa angin, karang tak lagi melindungiku dari badai, dari deru ombak, dari tsunami, dari kuli bangunan yang mengangkutku ke dalam truk. Aku bukan pasir putih yang indah. Aku hanya pasir yang terbelah dari bongkahan karang yang hancur. Aku terabaikan. Pecahanku tak berarti.
Pagi yang biasa, tak ada deru angin yang memburu, karang masih tegak membatu. Sinar mentari pagi masih malu-malu, awan putih yang menggumpal saling beradu. Lambaian nyiur merayu, ikan-ikan kecil bersembunyi di balik batu. Aku masih membisu. Hanya desah. Seperti bisik-bisik kecil yang merendah. Berbisik pada siapa. Pada langitkah?
Nelayan sibuk dengan jaring dan kail pancing yang tersimpan di dalam kotak kayu. Tak ada yang memperhatikanku. Seperti noda tercampakkan yang perlu dihapus dengan sabun. Tak perlu ada. Keberadaanku adalah ketiadaan.
Buah kelapa coklat yang jatuh berdebam menabrakku. Aku tidak mengerang. Aku tidak merasakan sakit. Aku hanya bisa berbisik. Tapi kelapa tidak mendengarkan. Mungkin membiarkan.
Tak ada yang membuatku bertahan, sapuan gelombang laut dengan mudah menyeretku ke tengah lautan. Bahkan terinjak-injak oleh kepiting kecil yang berlarian mengejar laut. Anak kura-kura yang merangkak pun tak pernah mau mendengarkan desahan nafasku.
Biarkan aku tetap disini, berdiri dengan kesadaranku sendiri. Aku tidak mau dibawa angin. Tidak mau diseret ombak. Dan tidak mau berlindung di bawah ketika karang yang angkuh namun rapuh.
Hanya bahasa bisik yang bisa kuterjemahkan menjadi desah yang memapahku berjalan, sedikit demi sedikit suara dalam parauku terbawa oleh gelombang air laut yang naik saat pasang.
Dimanakah cinta, ketika yang kumiliki hanya kemungkinan. Saat aku menggenggam diriku maka bagianku yang lain berlari melalui jemariku dan menjauhiku. Apakah aku tak sempat mengatakan rindu pada angin yang membawaku pada tepi laut. Karang-karang yang tenggelam ke dasar laut mungkin akan mendengarku. Namun apakah ombak bisa kupercaya ketika gelombang juga menelan buih-buih.
Aku ingin bertemu kerang untuk memuji keindahan mutiara. Tapi aku tidak bisa membenamkan diriku terlalu dalam. Laut sangat mengancam. Butir pasir sepertiku hanya titik yang tak pernah menjadi koma. Seperti kata yang harus dihapus karena tidak perlu dituliskan.
Nyanyian burung tak lagi terdengar, manakala suka berubah duka dan hatiku terlalu terluka. Aku tak bisa menangis karena aku tak punya air mata. Aku hanya punya air laut yang dipinjamkannya. Aku sebatang kara karena karang hanya menjagaku sementara. Ketika ombak datang menjemputku, aku harus siap terbawa arus dan terbengkalai seperti semak yang tercerabut. Aku tak punya pegangan.
Tak ada lagi cerita. Sepanjang hari hanya dipenuhi diam dan suara-suara kecil membisik. Bahkan sisik-sisik ikan pun enggan mendengar. Lubang-lubang karang tempatku bersembunyi selalu diketahui. Tidak ada tempat berlindung selain matahari. Tapi sengatanya malah membuatku tersiksa pedih oleh terik yang mencekik. Keberadaanku tak menyisakan cerita.
Kala malam datang dan gelap menghantui. Tak ada terang yang membantuku. Saat para nelayan mulai menarik perahu dan berlayar mengarungi laut mencari ikan. Aku tak pernah ikut serta. Aku telah melepaskan diriku pada keabadian, tapi teburai oleh angin yang menerbangkanku perlahan. Selalu terhisap ombak dan berserakan dimana-mana. Tak ada kepastian.
Aku ingin menyaksikan senja sebelum tenggelam. Tapi mataku tertutup dan mulutku terbungkam kecuali bisik-bisik yang tak terdengar. Tak ada kesempurnaan kecuali mentari yang berubah jingga dengan kilau keemasan menerpaku dalam senyap yang dingin dan sepoi-sepoi mengantarkan angin pada gelombang laut yang berkejaran.
Seorang nelayan yang menyaksikan reruntuhan rumahnya terpaku dengan melipat tangan menutup muka. Goncangan dari dasar laut begitu dahsyat meluluhlantakkan segalanya. Pepohonan, karang, rumah, cinta dan semua yang dimilikinya.
Aku tergenggem olehnya. Seketika panik melanda. Aku dimasukkan ke dalam botol kecil. Aku meronta. Hanya bisik-bisik yang tidak menimbulkan berisik. Kemudian botol ditutup dengan kayu dan aku terlempar jauh ke tengah laut, bersama secarik surat dan harapan seorang manusia pada kehidupan. Aku tak bisa membacanya. Tapi aku bisa mengejanya. Bahwa perasaan ini begitu dalam untuk terbelenggu bersama waktu dan dipendam bahkan jauh ke dasar lautan. Seketika untuk pertama kalinya aku bisa berkata.
“Bawalah aku pergi menuju kedamaian.”