Diberdayakan oleh Blogger.

Professional Time Waster


Membayangkan saja, arti kehilangan begitu menyesakkan dada. Sampai tanpa terasa bulir bening pun perlahan membasahi kelopak mata. Seberapa kuat kita bertahan menjaga dan berusaha mempertahankannya tetap saja menjadi kehilangan yang menyedihkan.

Arti kehilangan selalu saja menimbulkan duka. Menumbuhkan rasa haru yang tersedu. Meretas air mata yang turun satu-satu. Mengapa harus dipertahankan, ketika apa yang terasa berbenturan selalu menjadi alasan. Bertemu tanpa menyatu, bersua tanpa menyapa. Ada cinta yang tersisa, tapi terbagi sepi dan api. Sehingga berakhir pada perpisahan yang tak terelakkan, bukan tanpa menyadari, karena sepenuhnya tidak ada yang bisa dipertahankan lagi.
Hatiku terlalu terluka ketika darah itu menghitam dan lukaku dalam tergores mata pisau, parauku berteriak mendekamku. Haruskah aku mati bila rasa ini begitu menyiksa, aku terus berjalan walaupun terseret-seret karena kakiku berdarah dan sebagian tulangku patah bersama runtuhnya persendianku yang kokoh.
Telah banyak harap kudekap. Telah mati rasa kurasa bila semua asa terpaksa menutupi hati. Bahkan kutumpahkan air mataku hingga meledak-ledak tangisku pecah berubah menjadi isakan yang tertahan, selalu ada rintihan hati yang menggapai-gapai mata. Agar kesedihan cepat mereda. Mungkin aku bisa bertahan, tapi aku tak pernah bisa menguatkan. Karena hatiku bukanlah sebongkah baja yang tertancap di dalam saga. Ketika kepingan perasaanku terbanting bersama kekecewaan dan pengkhianatanmaka sekalipun tak akan kau temukan lagi kepingan yang serupa.
Ketika aliran darahku terhenti dan sesaat nafasku tercekat, aku terjaga saat malam tengah bermesra bersama purnama, dan peluh membasahi seluruh tubuh. Karena dadaku bergetar. Air mataku tak terbendung dan aku hanya bisa memeluk dadaku sendiri dengan melipat tangan hingga dingin merasuk.
Aku tidak melihat pengertian apa-apa darinya
Dimanakah matamu bila yang kau lihat selalu melukaiku. Dan ujung matamu menancap dalam lubuk hatiku hingga mengeras seperti cadas. Tapi bukan saja menusukku bahkan kau merobek mata hatiku, sampai mata bathinku buta untuk melihat realita. Tak bisa kubedakan lagi antara dendam dan benci ketika selaput mata seperti tak terbiaskan. Cinta tak pernah lagi tersisa karena habis kau telan bersama air mataku yang kau minum perlahan. Aku ingin membalasmu, merasakan kepedihan yang tak terperi karena kau telah membutakan mata hatiku, tapi apa yang bisa kuperbuat jika matamu tajam mengancamku, bahkan tak memberiku kesempatan untuk mengedipkan mata dan beberapa detik kemudian kau hunuskan pisau itu ke dadaku.
Aku pembunuh, lebih
Kau menyeringai dan membilas ujung pisau dengan lidah hingga mengkilat. Aku meremas tanganku dan mencengkeram jemariku. Kukepalkan niat untuk meracunimu, karena cinta telah membiusku hingga seperti ini. Bukan saja menyihir tapi telah menggelapkan pandangan mataku. Hingga aku terabaikan oleh nuraniku sendiri, tega! Sungguh tega kau tikam mata pisaumu ke dadaku hanya untuk sebuah alasan palsu yang kutahu tidak sepenuhnya jujur dari hatimu. Mengapa kau dustakan arti ketulusan dan memaksaku memutuskan. Hingga kupersembahkan sayapku untuk kau pergi setelah kau puas mencabut nyawaku.
Sejelasnya aku tergores karenanya
Pergilah jauh hingga tak pernah kulihat lagi matamu. Karena di balik punggung pun kau menyimpan muka untuk bersembunyi saat rupamu tak lebih dari dustamu. Hatiku meraung-raung seperti jasad yang terpasung luka hingga lama mengering dan basah terbelai angin, perih. Kau menyebabkanku mati. Terkapar hingga ke dasar sampai sukar kutemukan belukar. Aku benci! Sampai kapan pun tak ada lagi alasan untuk hati menetapi. Kau mendorongku hingga tersangkut duri. Bisanya mernyeruak masuk hingga ke pembuluh nadi. Dan seranganya menimbulkan desahan seperti meronta. Bahkan saat terlelap pun aku masih menitikkan air mata.
Mengapa tak pernah kau mau memberiku penawar luka. Ketika harapan yang kau tawarkan hanyalah sebuah ucapan semata, yang terbang dan membubung tinggi seperti balon yang tertiup angin dan pecah di angkasa karena teriknya membelahnya menjadi serpihan yang tercerai. Hatiku beku lantaran dingin menyatu bersama deru nafasku yang terburu. Tak ada denyut kehidupan ketika dadaku terguncang dan aku tidak bisa bernafas beberapa saat setelah mengucapkan kata itu. Kata yang sebenarnya sangat kau tunggu. Karena kata yang membebaskanmu dari belenggu. Membebaskanmu dari kemelut bathin yang rumit dan menyulitkan. Aku pun perlu menghimpun tenagaku untuk menyimpan oksigen di dadaku. Karena detaknya berdebam seperti ban yang roboh.
Sampai aku membaca hembusan nafasmu. Aku ragu untuk tetap tegak berdiri. Dan air mata tumpah berjelaga seperti embun yang luruh bersama-sama.
Kerongkonganku panas layak direndam api
Kata-kata yang kurangkai terbakar amarahku, kilatanya menyambar-nyambar sampai ke lidahku menjadi kelu. Dan suarau hilang terserap. Kau mencekikku kasar dan seketika sekujur tubuhku rapuh seperti debur tanah yang gembur, aku pasrah atas kematianku. Bahkan telah kusiapkan satu persembahan untukmu. Ketika jalan yang kau pilih berbeda, telah kutaburkan duri-duri tajam itu di setiap derap langkahmu. Agar kau tahu tetesan darahku akan selalu menyertaimu, menyaksikanmu meratapi luka yang menganga.
Erangan menjadi jeritan pahit
Aku menyadari sepenuhnya suatu saat akan kau alami. Bahkan kau tangisi, bukan saja kepergianku tapi perasaanku yang tertingga balas menghujammu dari belakang. Tak kan kau sadari sebilah pisau bersarang di hatimu.
Sakit ini begitu mendera dan teriakanku tak pernah membuat luka menjadi jera. Aku ingin memelukmu terakhir kali dengan membisikan mutiara di balik daun telinga dan samar-samar kau dengarkan karena suaraku terlalu kecil seperti desahan.
“Aku sangat ingin mati rasa
karena aku tersiksa karena apa yang aku rasa”

kau tahu serigala melolong memecah kesunyian karena dia merasa terbelenggu sepi dan tidak ada sebentuk kasih sayang kecuali suara lain yang menyahut seperti memanggil
sedangkan bulan hanya menyaksikan dia menggigil kedinginan
sendirian di tengah hutan yang mencekam
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Tahukah kamu pasir yang berserakan di sepanjang tepi pantai selalu mendesah-desah seolah terpasung luka oleh perih yang diantarkan ombak pada buih-buih yang tersisa dan sekejap menghilang. Pasir yang terbawa arus dan gelombang laut menyeretnya ke dalam palung, hembusan angin terkalahkan debur ombak yang menerjang karang. Keteguhan hatiku remuk dipalu godam melebur bersama pasir yang terabaikan, aku terombang-ambing dalam kekalutan yang memenjaranku. Derai-derai tawa hanya sepeninggal cerita karena burung enggan bersiul menghibur diriku yang terhempas oleh waktu.
Tidak ada cinta, aku selalu berbisik pada angin manakala rindu menjelma sendu dan karang hanya terpaku terbelai angin dan ombak itu. Aku disini menatap kekosongan hati dan deru angin menusuk-nusuk kalbu. Perih. Ketika asin dalam garam membekapku. Aku hanya bisa menyaksikan hamparan biru di langit mempesona. Dan kilau mentari begitu menyilaukan mataku untuk merasakan hangatnya pagi. Keindahan telah membutakanku pada satu arti. Ketulusan. bagian tubuhku terpisah berkeping-keping, seperti guci pecah yang terbanting. Tak ada yang bisa merekatkan hatiku. Senyum yang aku miliki telah hilang diterpa angin, karang tak lagi melindungiku dari badai, dari deru ombak, dari tsunami, dari kuli bangunan yang mengangkutku ke dalam truk. Aku bukan pasir putih yang indah. Aku hanya pasir yang terbelah dari bongkahan karang yang hancur. Aku terabaikan. Pecahanku tak berarti.
Pagi yang biasa, tak ada deru angin yang memburu, karang masih tegak membatu. Sinar mentari pagi masih malu-malu, awan putih yang menggumpal saling beradu. Lambaian nyiur merayu, ikan-ikan kecil bersembunyi di balik batu. Aku masih membisu. Hanya desah. Seperti bisik-bisik kecil yang merendah. Berbisik pada siapa. Pada langitkah?
Nelayan sibuk dengan jaring dan kail pancing yang tersimpan di dalam kotak kayu. Tak ada yang memperhatikanku. Seperti noda tercampakkan yang perlu dihapus dengan sabun. Tak perlu ada. Keberadaanku adalah ketiadaan.
Buah kelapa coklat yang jatuh berdebam menabrakku. Aku tidak mengerang. Aku tidak merasakan sakit. Aku hanya bisa berbisik. Tapi kelapa tidak mendengarkan. Mungkin membiarkan.
Tak ada yang membuatku bertahan, sapuan gelombang laut dengan mudah menyeretku ke tengah lautan. Bahkan terinjak-injak oleh kepiting kecil yang berlarian mengejar laut. Anak kura-kura yang merangkak pun tak pernah mau mendengarkan desahan nafasku.
Biarkan aku tetap disini, berdiri dengan kesadaranku sendiri. Aku tidak mau dibawa angin. Tidak mau diseret ombak. Dan tidak mau berlindung di bawah ketika karang yang angkuh namun rapuh.
Hanya bahasa bisik yang bisa kuterjemahkan menjadi desah yang memapahku berjalan, sedikit demi sedikit suara dalam parauku terbawa oleh gelombang air laut yang naik saat pasang.
Dimanakah cinta, ketika yang kumiliki hanya kemungkinan. Saat aku menggenggam diriku maka bagianku yang lain berlari melalui jemariku dan menjauhiku. Apakah aku tak sempat mengatakan rindu pada angin yang membawaku pada tepi laut. Karang-karang yang tenggelam ke dasar laut mungkin akan mendengarku. Namun apakah ombak bisa kupercaya ketika gelombang juga menelan buih-buih.
Aku ingin bertemu kerang untuk memuji keindahan mutiara. Tapi aku tidak bisa membenamkan diriku terlalu dalam. Laut sangat mengancam. Butir pasir sepertiku hanya titik yang tak pernah menjadi koma. Seperti kata yang harus dihapus karena tidak perlu dituliskan.
Nyanyian burung tak lagi terdengar, manakala suka berubah duka dan hatiku terlalu terluka. Aku tak bisa menangis karena aku tak punya air mata. Aku hanya punya air laut yang dipinjamkannya. Aku sebatang kara karena karang hanya menjagaku sementara. Ketika ombak datang menjemputku, aku harus siap terbawa arus dan terbengkalai seperti semak yang tercerabut. Aku tak punya pegangan.
Tak ada lagi cerita. Sepanjang hari hanya dipenuhi diam dan suara-suara kecil membisik. Bahkan sisik-sisik ikan pun enggan mendengar. Lubang-lubang karang tempatku bersembunyi selalu diketahui. Tidak ada tempat berlindung selain matahari. Tapi sengatanya malah membuatku tersiksa pedih oleh terik yang mencekik. Keberadaanku tak menyisakan cerita.
Kala malam datang dan gelap menghantui. Tak ada terang yang membantuku. Saat para nelayan mulai menarik perahu dan berlayar mengarungi laut mencari ikan. Aku tak pernah ikut serta. Aku telah melepaskan diriku pada keabadian, tapi teburai oleh angin yang menerbangkanku perlahan. Selalu terhisap ombak dan berserakan dimana-mana. Tak ada kepastian.
Aku ingin menyaksikan senja sebelum tenggelam. Tapi mataku tertutup dan mulutku terbungkam kecuali bisik-bisik yang tak terdengar. Tak ada kesempurnaan kecuali mentari yang berubah jingga dengan kilau keemasan menerpaku dalam senyap yang dingin dan sepoi-sepoi mengantarkan angin pada gelombang laut yang berkejaran.
Seorang nelayan yang menyaksikan reruntuhan rumahnya terpaku dengan melipat tangan menutup muka. Goncangan dari dasar laut begitu dahsyat meluluhlantakkan segalanya. Pepohonan, karang, rumah, cinta dan semua yang dimilikinya.
Aku tergenggem olehnya. Seketika panik melanda. Aku dimasukkan ke dalam botol kecil. Aku meronta. Hanya bisik-bisik yang tidak menimbulkan berisik. Kemudian botol ditutup dengan kayu dan aku terlempar jauh ke tengah laut, bersama secarik surat dan harapan seorang manusia pada kehidupan. Aku tak bisa membacanya. Tapi aku bisa mengejanya. Bahwa perasaan ini begitu dalam untuk terbelenggu bersama waktu dan dipendam bahkan jauh ke dasar lautan. Seketika untuk pertama kalinya aku bisa berkata.
“Bawalah aku pergi menuju kedamaian.”
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts

About me

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • ►  2017 (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (8)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2015 (17)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2014 (45)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (16)
  • ►  2013 (16)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2012 (59)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (9)
    • ►  Oktober (9)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (116)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (16)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (14)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Juni (14)
    • ►  Mei (17)
    • ►  April (14)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2010 (39)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (14)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ▼  2009 (12)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (4)
    • ▼  Oktober (2)
      • blade pierced my heart
      • whispering sand

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates