blade pierced my heart

by - 17.38


Membayangkan saja, arti kehilangan begitu menyesakkan dada. Sampai tanpa terasa bulir bening pun perlahan membasahi kelopak mata. Seberapa kuat kita bertahan menjaga dan berusaha mempertahankannya tetap saja menjadi kehilangan yang menyedihkan.

Arti kehilangan selalu saja menimbulkan duka. Menumbuhkan rasa haru yang tersedu. Meretas air mata yang turun satu-satu. Mengapa harus dipertahankan, ketika apa yang terasa berbenturan selalu menjadi alasan. Bertemu tanpa menyatu, bersua tanpa menyapa. Ada cinta yang tersisa, tapi terbagi sepi dan api. Sehingga berakhir pada perpisahan yang tak terelakkan, bukan tanpa menyadari, karena sepenuhnya tidak ada yang bisa dipertahankan lagi.
Hatiku terlalu terluka ketika darah itu menghitam dan lukaku dalam tergores mata pisau, parauku berteriak mendekamku. Haruskah aku mati bila rasa ini begitu menyiksa, aku terus berjalan walaupun terseret-seret karena kakiku berdarah dan sebagian tulangku patah bersama runtuhnya persendianku yang kokoh.
Telah banyak harap kudekap. Telah mati rasa kurasa bila semua asa terpaksa menutupi hati. Bahkan kutumpahkan air mataku hingga meledak-ledak tangisku pecah berubah menjadi isakan yang tertahan, selalu ada rintihan hati yang menggapai-gapai mata. Agar kesedihan cepat mereda. Mungkin aku bisa bertahan, tapi aku tak pernah bisa menguatkan. Karena hatiku bukanlah sebongkah baja yang tertancap di dalam saga. Ketika kepingan perasaanku terbanting bersama kekecewaan dan pengkhianatanmaka sekalipun tak akan kau temukan lagi kepingan yang serupa.
Ketika aliran darahku terhenti dan sesaat nafasku tercekat, aku terjaga saat malam tengah bermesra bersama purnama, dan peluh membasahi seluruh tubuh. Karena dadaku bergetar. Air mataku tak terbendung dan aku hanya bisa memeluk dadaku sendiri dengan melipat tangan hingga dingin merasuk.
Aku tidak melihat pengertian apa-apa darinya
Dimanakah matamu bila yang kau lihat selalu melukaiku. Dan ujung matamu menancap dalam lubuk hatiku hingga mengeras seperti cadas. Tapi bukan saja menusukku bahkan kau merobek mata hatiku, sampai mata bathinku buta untuk melihat realita. Tak bisa kubedakan lagi antara dendam dan benci ketika selaput mata seperti tak terbiaskan. Cinta tak pernah lagi tersisa karena habis kau telan bersama air mataku yang kau minum perlahan. Aku ingin membalasmu, merasakan kepedihan yang tak terperi karena kau telah membutakan mata hatiku, tapi apa yang bisa kuperbuat jika matamu tajam mengancamku, bahkan tak memberiku kesempatan untuk mengedipkan mata dan beberapa detik kemudian kau hunuskan pisau itu ke dadaku.
Aku pembunuh, lebih
Kau menyeringai dan membilas ujung pisau dengan lidah hingga mengkilat. Aku meremas tanganku dan mencengkeram jemariku. Kukepalkan niat untuk meracunimu, karena cinta telah membiusku hingga seperti ini. Bukan saja menyihir tapi telah menggelapkan pandangan mataku. Hingga aku terabaikan oleh nuraniku sendiri, tega! Sungguh tega kau tikam mata pisaumu ke dadaku hanya untuk sebuah alasan palsu yang kutahu tidak sepenuhnya jujur dari hatimu. Mengapa kau dustakan arti ketulusan dan memaksaku memutuskan. Hingga kupersembahkan sayapku untuk kau pergi setelah kau puas mencabut nyawaku.
Sejelasnya aku tergores karenanya
Pergilah jauh hingga tak pernah kulihat lagi matamu. Karena di balik punggung pun kau menyimpan muka untuk bersembunyi saat rupamu tak lebih dari dustamu. Hatiku meraung-raung seperti jasad yang terpasung luka hingga lama mengering dan basah terbelai angin, perih. Kau menyebabkanku mati. Terkapar hingga ke dasar sampai sukar kutemukan belukar. Aku benci! Sampai kapan pun tak ada lagi alasan untuk hati menetapi. Kau mendorongku hingga tersangkut duri. Bisanya mernyeruak masuk hingga ke pembuluh nadi. Dan seranganya menimbulkan desahan seperti meronta. Bahkan saat terlelap pun aku masih menitikkan air mata.
Mengapa tak pernah kau mau memberiku penawar luka. Ketika harapan yang kau tawarkan hanyalah sebuah ucapan semata, yang terbang dan membubung tinggi seperti balon yang tertiup angin dan pecah di angkasa karena teriknya membelahnya menjadi serpihan yang tercerai. Hatiku beku lantaran dingin menyatu bersama deru nafasku yang terburu. Tak ada denyut kehidupan ketika dadaku terguncang dan aku tidak bisa bernafas beberapa saat setelah mengucapkan kata itu. Kata yang sebenarnya sangat kau tunggu. Karena kata yang membebaskanmu dari belenggu. Membebaskanmu dari kemelut bathin yang rumit dan menyulitkan. Aku pun perlu menghimpun tenagaku untuk menyimpan oksigen di dadaku. Karena detaknya berdebam seperti ban yang roboh.
Sampai aku membaca hembusan nafasmu. Aku ragu untuk tetap tegak berdiri. Dan air mata tumpah berjelaga seperti embun yang luruh bersama-sama.
Kerongkonganku panas layak direndam api
Kata-kata yang kurangkai terbakar amarahku, kilatanya menyambar-nyambar sampai ke lidahku menjadi kelu. Dan suarau hilang terserap. Kau mencekikku kasar dan seketika sekujur tubuhku rapuh seperti debur tanah yang gembur, aku pasrah atas kematianku. Bahkan telah kusiapkan satu persembahan untukmu. Ketika jalan yang kau pilih berbeda, telah kutaburkan duri-duri tajam itu di setiap derap langkahmu. Agar kau tahu tetesan darahku akan selalu menyertaimu, menyaksikanmu meratapi luka yang menganga.
Erangan menjadi jeritan pahit
Aku menyadari sepenuhnya suatu saat akan kau alami. Bahkan kau tangisi, bukan saja kepergianku tapi perasaanku yang tertingga balas menghujammu dari belakang. Tak kan kau sadari sebilah pisau bersarang di hatimu.
Sakit ini begitu mendera dan teriakanku tak pernah membuat luka menjadi jera. Aku ingin memelukmu terakhir kali dengan membisikan mutiara di balik daun telinga dan samar-samar kau dengarkan karena suaraku terlalu kecil seperti desahan.
“Aku sangat ingin mati rasa
karena aku tersiksa karena apa yang aku rasa”

kau tahu serigala melolong memecah kesunyian karena dia merasa terbelenggu sepi dan tidak ada sebentuk kasih sayang kecuali suara lain yang menyahut seperti memanggil
sedangkan bulan hanya menyaksikan dia menggigil kedinginan
sendirian di tengah hutan yang mencekam

You May Also Like

0 komentar