whispering sand

by - 21.18

Tahukah kamu pasir yang berserakan di sepanjang tepi pantai selalu mendesah-desah seolah terpasung luka oleh perih yang diantarkan ombak pada buih-buih yang tersisa dan sekejap menghilang. Pasir yang terbawa arus dan gelombang laut menyeretnya ke dalam palung, hembusan angin terkalahkan debur ombak yang menerjang karang. Keteguhan hatiku remuk dipalu godam melebur bersama pasir yang terabaikan, aku terombang-ambing dalam kekalutan yang memenjaranku. Derai-derai tawa hanya sepeninggal cerita karena burung enggan bersiul menghibur diriku yang terhempas oleh waktu.
Tidak ada cinta, aku selalu berbisik pada angin manakala rindu menjelma sendu dan karang hanya terpaku terbelai angin dan ombak itu. Aku disini menatap kekosongan hati dan deru angin menusuk-nusuk kalbu. Perih. Ketika asin dalam garam membekapku. Aku hanya bisa menyaksikan hamparan biru di langit mempesona. Dan kilau mentari begitu menyilaukan mataku untuk merasakan hangatnya pagi. Keindahan telah membutakanku pada satu arti. Ketulusan. bagian tubuhku terpisah berkeping-keping, seperti guci pecah yang terbanting. Tak ada yang bisa merekatkan hatiku. Senyum yang aku miliki telah hilang diterpa angin, karang tak lagi melindungiku dari badai, dari deru ombak, dari tsunami, dari kuli bangunan yang mengangkutku ke dalam truk. Aku bukan pasir putih yang indah. Aku hanya pasir yang terbelah dari bongkahan karang yang hancur. Aku terabaikan. Pecahanku tak berarti.
Pagi yang biasa, tak ada deru angin yang memburu, karang masih tegak membatu. Sinar mentari pagi masih malu-malu, awan putih yang menggumpal saling beradu. Lambaian nyiur merayu, ikan-ikan kecil bersembunyi di balik batu. Aku masih membisu. Hanya desah. Seperti bisik-bisik kecil yang merendah. Berbisik pada siapa. Pada langitkah?
Nelayan sibuk dengan jaring dan kail pancing yang tersimpan di dalam kotak kayu. Tak ada yang memperhatikanku. Seperti noda tercampakkan yang perlu dihapus dengan sabun. Tak perlu ada. Keberadaanku adalah ketiadaan.
Buah kelapa coklat yang jatuh berdebam menabrakku. Aku tidak mengerang. Aku tidak merasakan sakit. Aku hanya bisa berbisik. Tapi kelapa tidak mendengarkan. Mungkin membiarkan.
Tak ada yang membuatku bertahan, sapuan gelombang laut dengan mudah menyeretku ke tengah lautan. Bahkan terinjak-injak oleh kepiting kecil yang berlarian mengejar laut. Anak kura-kura yang merangkak pun tak pernah mau mendengarkan desahan nafasku.
Biarkan aku tetap disini, berdiri dengan kesadaranku sendiri. Aku tidak mau dibawa angin. Tidak mau diseret ombak. Dan tidak mau berlindung di bawah ketika karang yang angkuh namun rapuh.
Hanya bahasa bisik yang bisa kuterjemahkan menjadi desah yang memapahku berjalan, sedikit demi sedikit suara dalam parauku terbawa oleh gelombang air laut yang naik saat pasang.
Dimanakah cinta, ketika yang kumiliki hanya kemungkinan. Saat aku menggenggam diriku maka bagianku yang lain berlari melalui jemariku dan menjauhiku. Apakah aku tak sempat mengatakan rindu pada angin yang membawaku pada tepi laut. Karang-karang yang tenggelam ke dasar laut mungkin akan mendengarku. Namun apakah ombak bisa kupercaya ketika gelombang juga menelan buih-buih.
Aku ingin bertemu kerang untuk memuji keindahan mutiara. Tapi aku tidak bisa membenamkan diriku terlalu dalam. Laut sangat mengancam. Butir pasir sepertiku hanya titik yang tak pernah menjadi koma. Seperti kata yang harus dihapus karena tidak perlu dituliskan.
Nyanyian burung tak lagi terdengar, manakala suka berubah duka dan hatiku terlalu terluka. Aku tak bisa menangis karena aku tak punya air mata. Aku hanya punya air laut yang dipinjamkannya. Aku sebatang kara karena karang hanya menjagaku sementara. Ketika ombak datang menjemputku, aku harus siap terbawa arus dan terbengkalai seperti semak yang tercerabut. Aku tak punya pegangan.
Tak ada lagi cerita. Sepanjang hari hanya dipenuhi diam dan suara-suara kecil membisik. Bahkan sisik-sisik ikan pun enggan mendengar. Lubang-lubang karang tempatku bersembunyi selalu diketahui. Tidak ada tempat berlindung selain matahari. Tapi sengatanya malah membuatku tersiksa pedih oleh terik yang mencekik. Keberadaanku tak menyisakan cerita.
Kala malam datang dan gelap menghantui. Tak ada terang yang membantuku. Saat para nelayan mulai menarik perahu dan berlayar mengarungi laut mencari ikan. Aku tak pernah ikut serta. Aku telah melepaskan diriku pada keabadian, tapi teburai oleh angin yang menerbangkanku perlahan. Selalu terhisap ombak dan berserakan dimana-mana. Tak ada kepastian.
Aku ingin menyaksikan senja sebelum tenggelam. Tapi mataku tertutup dan mulutku terbungkam kecuali bisik-bisik yang tak terdengar. Tak ada kesempurnaan kecuali mentari yang berubah jingga dengan kilau keemasan menerpaku dalam senyap yang dingin dan sepoi-sepoi mengantarkan angin pada gelombang laut yang berkejaran.
Seorang nelayan yang menyaksikan reruntuhan rumahnya terpaku dengan melipat tangan menutup muka. Goncangan dari dasar laut begitu dahsyat meluluhlantakkan segalanya. Pepohonan, karang, rumah, cinta dan semua yang dimilikinya.
Aku tergenggem olehnya. Seketika panik melanda. Aku dimasukkan ke dalam botol kecil. Aku meronta. Hanya bisik-bisik yang tidak menimbulkan berisik. Kemudian botol ditutup dengan kayu dan aku terlempar jauh ke tengah laut, bersama secarik surat dan harapan seorang manusia pada kehidupan. Aku tak bisa membacanya. Tapi aku bisa mengejanya. Bahwa perasaan ini begitu dalam untuk terbelenggu bersama waktu dan dipendam bahkan jauh ke dasar lautan. Seketika untuk pertama kalinya aku bisa berkata.
“Bawalah aku pergi menuju kedamaian.”

You May Also Like

0 komentar