Diberdayakan oleh Blogger.

Professional Time Waster

Pada akhirnya kau akan berpikir untuk memilih apa yang ingin kau lakukan dan harus dilakukan. Sementara waktu seakan perlahan menggerus usia dan menyadari kau tidak mendapatkan apa-apa. Apa yang kau cari dari ketiadaan. Apa yang meresahkan dari kekhawatiran tanpa alasan. Dari mana rasa takut itu muncul dan menguasai diri.

Apa sih yang tergambar di masa depan. Apa yang menyenangkan ketika menjadi dewasa. Kenapa ada kesunyian di antara keramain. Mengapa hati kecil ini gusar atas apa yang belum terjadi. Ke mana harus kucari ketenangan batin. Di manakah tempat untuk memutar waktu kembali.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Aku tak pernah menyangka. Jika ujung sumbu itu akan meledak. Ketika luapan dalam dada berdebar dan kau menyalakan pemantik api untuk mengobarkan kepedihan hatiku. Bara kecil yang menyulut melepuhkan perasaanku. Kau bilang sahabat, tapi kau perlakukan lebih dari dekat. Denting kristal hujan yang jatuh di ujung daun meruak lahar yang menempa. Perih, luka. Pergilah jika itu harus. Matikan rasaku akan cinta yang menggebu. Bunuh ketika kau hunuskan kata, bukan untukku tapi untuknya. Kata rindu yang selama ini kita sangkarkan dalam tuah sakral. Kau sembahkan itu kepada karib kau kata lekat. Inginku hujamkan benci yang tertanam melumpuhkan persendian hatiku. Butakan mata hatiku tuk melihat hangat kasih cinta, yang terbagi untuknya. Seperti belati, kau tancamkan rindu bukan padaku tapi untuknya. Menerbitkan kebencian dalam kekekalan. Meretas sumpah akan cinta yang semena-mena, kini ditinggal pergi pemiliknya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
“Aku mau ngomong serius sama kamu, sambil makan malam aja.”
“Di mana?”
“Terserah kamu.”
“Di tempat favorit kita ya.”
Kau tiba-tiba mengirim pesan singkat. Tak seperti biasa. Aku pun terlonjak meraih jaket dan segera menembus jalanan yang kulihat langit mulai diselimuti mendung. Dengan kecepatan di atas rata-rata aku berusaha secepat mungkin bertemu kamu. Menepiskan keresahan yang terbit setelah membaca pesanmu.
Sepanjang jalan, aku menerka-nerka. Apa yang ingin kamu sampaikan. Pikiranku terusik dan tak fokus menatap jalanan yang cukup lengang. Begitu sampai kulihat kamu telah duduk manis menunggu sambil termangu.
Aku berjalan mendekatimu, menyapamu dengan senyum termanis yang bisa kuberikan.
“Sudah lama?”
“Baru, kok.”
Kamu sengaja menempati tempat kita. Di sudut paling pojok di bawah lampu remang dekat jendela. Tetapi dari sudut lain tempat kamu duduk, tergantung lukisan tentang hamparan langit malam dan bulan purnama. Aku menarik kursi dan duduk.
Malam itu, kau tampak berbeda. Raut muka tak bersinar seperti dahulu. Kau tersenyum canggung terkesan dipaksakan. Sekilas aku tak menemukan lagi rona cahaya mengkilat di matamu. Aku tak mengerti, apa yang terjadi. Adakah yang berubah?
“Kamu sudah pesan?”
“Belum.”
“Aku pesankan spageti carbonara, ya dan satu ice lemon tea.”
“Terima kasih.”
Sengaja kupesan menu makanan istimewa kesukaanmu, juga minuman favoritmu. Aku sengaja mengajakmu ke tempat di mana kita pertama bertemu. Tempat di mana aku mulai berani menatapmu tanpa malu. Kau mengiyakan dan datang tepat waktu, bahkan lebih dulu.
Aku menatap lukisan. Kau sibuk memainkan ujung daun dari setangkai bunga mawar plastik di atas meja.
“Mau langsung, atau makan dulu?”
“Kukira, makan dulu aja.”
Aku mengenakan baju pemberianmu, sengaja kusemportkan parfum terbaru yang kamu rekomendasikan dari majalah langgananmu. Kau pun mengenakan baju yang kusuka, berwarna biru pastel dan motif kupu-kupu.
“Kamu tahu, sebenarnya kamu tak benar-benar ada di sini.”
“Kok, bisa?”
“Iya, kamu seperti kupu-kupu, hinggap dan terbang lagi...” “... dan aku akan jadi bunga keabadian untukmu, ketika kau hinggap dan mengambil saripati, tak kuizinkan lagi pergi,”
“Nggak bisa, dong”
Kali ini, kau tak beraksi sambil tertawa. Kau lebih banyak diam, sesekali melemparkan pandangan ke luar dan mengintip langit. Sedangkan kutahu langit gelap dan sebentar lagi hujan. Kau tidak tertarik lagi dengan bujuk rayuanku.
Aku berusaha menepiskan prasangka buruk dan kecemasan. Kau justru memalingkan muka untuk menghindari tatapan mataku. Atau kau memilih tertunduk dan ujung jarimu mengetuk-ngetuk ujung meja. Sejenak keheningan tercipta.
“Pertama ke sini, kamu bicara banyak soal lukisan itu.”
“Iya, lukisan itu masih sama.”
“Tapi, langit malam ini tak sama.”
Menanti menu pesanan datang, aku berusaha memancing pembicaraan kita tentang langit, lukisan, bulan purnama. Kau sama sekali tak tergerak dan tak berselera. Kulirik pasangan yang duduk di meja dekat kasir, biasanya kita men-dubbing pembicaraan mereka dan menjadikan lelucon yang mengundang tawa. Kamu membacakan dialog pertengkaran karena pasangannya terbukti selingkuh, sementara aku kerap berusaha menyangkal dan ujungnya kita tertawa bersama-sama.
Tapi, malam ini kau hanya diam membisu. Guratan wajahmu tak mampu kubaca, keresahan di sudut matamu tak sanggup kuterjemahkan.
“Jadi, katanya kamu mencoba resep baru di rumah?”
“Iya, dibantu Mama.”
“Bagaimana rasanya?”
“Enak.”
Hampir saja, rasanya frustrasi. Aku terus berusaha mendesak bibirmu agar menyunggingkan senyum semanis dulu. Tapi kau hanya menimpali pertanyaanku dengan sekadarnya. Tiba-tiba aku teringat film kesukaanku yang sengaja kubawa di dalam tas, “Before Sunset”. Langsung kuambil dan meletakannya di atas meja.
“Ini film favorit kita, sampai kita tonton tiga kali.”
“Iya, aku juga suka.”
“Kamu percaya takdir?”
“Iya, aku percaya.”
Lalu aku membahas film itu panjang lebar. Pertemuan kembali Jesse dan Celine, mereka pun bertemu lagi di Paris setelah selama 9 tahun tidak bertemu. Mereka bernostalgia dan mengenang kebersamaan di masa lalu.
Kemudian aku mengutip salah satu dialog dalam film tersebut, “Memories are wonderful things, if you don’t have to deal with the past.” Kamu setuju dan mengangguk.
Tiba-tiba pramusaji datang dengan dua piring pesanan kita. Seketika pembahasan film terhenti dan aku tersenyum. Kamu mengambil sepiring spageti. Aku memesan ayam goreng rica-rica dan segelas susu putih.
“Lebih baik, makan dulu,” katamu
Aku mengangguk, tapi tak ingin kulewatkan kesempatan ini untuk terus berbincang denganmu. Dalam satu suapan sendok yang berhasil masuk ke dalam mulut, tiba-tiba kau angkat bicara.
“Besok aku akan pergi ke Jerman.”
“Apa?!” aku nyaris tersedak, jika tak buru-buru kuteguk susu.
“Makannya, pelan-pelan dong.”
“Kenapa begitu mendadak? Kenapa nggak bilang-bilang.”
“Aku sudah bilang tentang beasiswa itu sama kamu, dulu.”
“Iya, aku pikir cuma rencana, karena kamu bilang ingin kuliah di dalam negeri saja.”
Seketika, aku kehilangan nafsu makan. Bentangan ribuah mil terpancang jauh terbayang dalam benakku. Memikirkan intensitas pertemuan yang tak akan pernah terjadi lagi.
“Tapi, kenapa akhirnya kamu terima?”
“Iya, aku merasa harus mengejar mimpiku.”
“Lalu bagaimana dengan kita?”
Sama sekali, aku tak ingin menghabiskan makanan. Sama sekali, aku merasa oksigen tiba-tiba habis di dalam ruangan. Kemudian perlahan gerimis turun di luar sana meriakkan rintik tangis dalam hati yang masih sanggup kutahan.
Aku sadar, kita kerap bertengkar. Terlebih, kita pernah bermasalah dengan masa lalu. Tapi, aku sudah meyakinkan bahwa perasaanku sudah jatuh kepadamu. Hatiku sudah bertekuk lutut di depanmu. Kita pun menjalin cinta selayaknya biasa dan dihujani kasih sayang yang melimpah.
Apakah kurang cukup bagimu?
Lalu yang terjadi hanyalah denting garpu dan sendok mewarnai kebisuan kita. Kamu juga tak bersemangat menikmati carbonara kesukaanmu. Aku hanya memainkan sendok agar terlihat sibuk, sementara hatiku mulai terkoyak dengan bayangan perpisahan.
“Tapi, kita masih bisa sama-sama, kan?”
Kamu tak langsung menjawab. Aku tahu, Jerman adalah negara impianmu. Teknologi dan keindahan negaranya membuatmu tersihir dan sering kali mengajakku. Tapi, kini kau hendak pergi seorang diri. Kamu tak membawaku serta diriku yang ditinggalkan dengan perasaan penuh kekalutan.
“Tapi, bukankah kita bisa bertemu kembali seperti Jesse dan Celine?”
Detik waktu terasa melambat. Rintik hujan menjadi terabaikan. Keramaian pengunjung lain hanya diorama bagimu. Kini, hatiku mulai membeku. Bukan saja membayangkan perpisahan, tapi aku tak sanggup untuk duduk di sini tanpamu lagi, suatu hari.
“Kamu pasti jarang pulang.”
Dia tak juga bersuara. Tanganya mengulur maju dan menyentuh tanganku. Jemarimu hinggap dan memenuhi sela jemariku. Kamu menggenggam tanganku. Terasa hangat. Tapi tak terlalu erat. Bahkan kau seperti memegang, bukan lagi menjabatku seperti berpelukan.
Bukankah genggaman tangan menunjukkan lebih dari kata cinta?
Lalu ujung jari telunjukmu menyentuh nadiku, merasakan detak yang berdebar. Kecemasan karena membayangkan kehilangananmu.
Katakan sesuatu, Sayang. Aku butuh suaramu, jawabanmu.
“Maukah kamu menjaga hatiku di sana demi janji kita, janji setia?”
“Tak ada lagi kita.”
“Tapi Jerman kan hanya persoalan jarak, Sayang?”

Kau hanya menggeleng. Menyesap es teh lemon dari ujung sedotan lalu mengerjap pelan. Aku menghela napas, mengirup udara sekuatnya menyingkirkan gusar yang tergambar di parasku. Barangkali, aku akan terlihat seperti batang kayu yang bersiap menjadi abu. Kau adalah nyala api dalam dadaku yang bukan saja berkobar tapi berakhir membakar seluruh perasaanku.

Bagaimana akhir kisah ini? Apa yang harus kulakukan untuk meyakinkan dia?

Tulis jawabanmu di kolom komentar ya... 
(*jangan lupa sertakan akun Twitter)
Share
Tweet
Pin
Share
21 komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • ►  2017 (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (8)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2015 (17)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (2)
    • ►  Januari (3)
  • ▼  2014 (45)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ▼  Agustus (3)
      • Quarter life crisis
      • Sumpah Mati
      • Demi Janji Setia
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (16)
  • ►  2013 (16)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2012 (59)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (9)
    • ►  Oktober (9)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (116)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (16)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (14)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Juni (14)
    • ►  Mei (17)
    • ►  April (14)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2010 (39)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (14)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2009 (12)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (2)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates