Diberdayakan oleh Blogger.

Professional Time Waster



“Kamu akhir-akhir ini berubah,”
“Nggak, kok.”
“Sekarang kamu cuek kayak nggak nganggap aku lagi,”
Segelas cokelat hazelnut dibiarkan dingin dibelai udara kosong. Kamu dengan sudut mata yang mulai basah lekat menatapku. Aku terdiam sambil memikirkan bagaimana caranya menjelaskannya kepadamu.
“Aku sudah bilang, sama sekali nggak ada yang berubah.”
“Tapi, kenapa kamu jarang ngabarin aku.”
“Aku, tuh sibuk. Lagi banyak kerjaan.”
“Tapi, emang sesibuk itu sampe nggak sempet ngabarin atau balas chat aku?”
Lagi-lagi aku hanya tertunduk dengan bibir tergigit getir. Sama sekali, tak ada yang berubah dari diriku. Kau, selalu menuntut perhatian. Aku tahu, hal ini tak lagi mudah untukmu. Segelas green tea latte di depanku tak segera kusambut. Kubiarkan batu esnya melebur dengan sisa greentea menawarkan rasa manis yang telah pudar.
“Awal kita pacaran, kamu baik banget sama aku.”
“Ya, kan itu beda.”
“Kenapa harus beda? Katanya kamu sayang?”
“Ini masalah waktu.”
Kamu tak terima jawabanku. Kamu mengungkit masa lalu. Kedai kopi tempat kencan kita menjadi saksi sejarah pertemuan, di mana aku bertemu kamu. Sudut meja yang kuingat, lukisan tanpa pigura yang tergantung di dinding. Kotak dadu yang tersimpan di meja kasir, begitu juga bel berwarna alumunium yang sering kau mainkan. Semua memori tempat ini tersimpan.
“Apa kamu sudah nggak sayang lagi sama aku?”
“Masih, kok.”
“Kenapa lantas kamu jadi berubah, aku nggak ngenalin kamu lagi,”
“Kamu salah menilai aku.”
Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hubungan kita. Untuk hal sederhana menjadi rumit. Satu menit lebih tiga puluh detik aku terlambat membalas chatmu, kamu marah minta turun harga BBM. Jelas, kamu semakin menuntut perhatian. Aku, tak lagi menyediakan perhatian sebanyak dulu.
“Dulu, awal pacaran kamu romantis banget sama aku. Sekarang nggak ada tuh,” katamu sambil melirik pasangan yang duduk tak jauh dari kita saling meniupkan kopi di sendok teh. Kamu melirik iri.
“Ya, kita kan beda.”
“Dulu, kalo greentea latte punyamu kurang manis, kamu minta aku meniupnya sampai dingin. Kamu bilang semua yang manis berasal dariku.”
“Tapi, kalo kemanisan aku takut diabetes.”
Kamu mendengus kesal. Aku berpura-pura sibuk mengaduk segelas green tea yang sudah tak menarik lagi. Seperti percakapan kita, ingin segera berakhir. Malam semakin larut, keramaian kedai kopi berangsur sepi. Kita berdua duduk berhadapan, tak lagi saling mengisi. Meski, kedua tangan saling tergenggam tapi hati tak lagi saling mengingini.
“Kamu bosan ya sama aku? Apa karena aku sering mengajakmu ke sini?”
“Bukan itu.”
“Berarti benar kamu merasa bosan?”
“Nggak, kok.”
Malam minggu mungkin jadi malam yang panjang. Tetapi, bagiku malamini jadi malam terpanjang. Percakapan yang tak menemukan titik temu. Pelayan yang mondar-mandiri melintas tempat duduk kita. Kamu lebih tertarik memandang layar televisi yang terpasang di sudut belakang, menampilkan pertandingan bola dengan keriuhan penonton. Mungkin, inilah rasanya sepi dalam keramaian. Pertandingan sepak bola sama sekali tak menyedot perhatianku.
“Aku capek, Sayang.”
“Istirahatlah.”
“Jadi, kamu mau melepasku pergi?”
“Bukan maksudku begitu.”
Detik berguguran sementara langit berubah pekat beranjak suram. Dalam sekejap, kulihat kilatan cahayamu terpantul dalam keremangan lampu. Matamu, basah. Aku menahan getir karena tak ingin ada tangis yang memecahkan pertemuan kita. Kamu, sama sekali tak memandangku. Pandanganmu kosong menatap layar televisi, seolah pertandingan final yang selama ini dinanti-nanti.
“Apa kamu menemukan seseorang yang lebih baik menurutmu?”
“Tidak, jangan menuduh hal itu.”
“Seseorang yang lebih cantik, lebih menarik perhatianmu!”
“Aku lebih tertarik kepadamu.”
“Bohong!” hardikmu kesal.
Aku terkesiap dan meraih tanganmu. Kuseka lembut perlahan mengusap punggung tanganmu. Menyelipkan jemariku agar mengisi sela jemarimu, yang mungkin membutuhkan sentuhan. Aku menggenggam tanganmu erat seolah malam ini kau tak tergapai lagi. Matamu nanar memandangku dan kilatan basah semakin tak terbendung manakala berkas bening itu semakin membanjiri sudut matamu.
“Kumohon, jangan menangis” ucapku
Tak ada suara. Tak ada gegap gempita malam ini. Segeas coklat dan greente tak tersentuh lagi. Aku dan kamu mengurai cinta yang tak lagi sepaham.
Kata Oka @daraprayoga_ orang yang jatuh cinta itu keinginannya sederhana: berdua dalam cinta. Benar, kan? Berdua dalam cinta memang manis. Tapi ternyata tidak selamanya cinta itu manis. Cinta itu banyak rasa. Mulai dari manis, asam, sampai pahit.
Bagaimana akhir kisah cinta mereka? Sertakan jawabanmu dalam kolom komentar ya


Share
Tweet
Pin
Share
14 komentar
Malam ini gue pilek dan kerjaan nggak berhenti-berhenti. Tiba-tiba hidung gue meler. Sepanjang jalan kaki dari kosan menuju MCD sekitar 800 meter hidung gue disumbat tisu. Pukul 12 malam jalan kaki gontai sepanjang jalan dilihatin sama orang.
“Ini orang gila apa zombie ya.”
Gue jalan kayak zombie, kelakuan kayak orang gila. Wajar sih, daripada gue dibilang mayat hidup kalo dua lubang hidung gue disumbat pake kanebo?
MCD lagi asyik playlistnya buat ngerjain editan. Namanya juga editor, ya tugasnya ngedit. Kalo benerin genteng namanya apa ya? Lo tahu nggak sih kalo hidung lagi meler kena dingin jadi merinding nggak jelas, gue takut pilek tambah parah. Sekarang Jakarta lagi cuaca ekstrem, kalo siang sampe 37 derajat celcius. Panasin dikit mendidih deh tuh.
Di sudut pojok MCD gue lihat ada ibu-ibu yang termenung menatap kosong dengan tangan terlipat di dada.
“Ada apa ya dengan ibu-ibu itu?”
Gue nggak berani negor atau pedekate.  Jelas, hidung gue masih tersumbat tisu. Kedua, gue bisa dipanggil sekuriti karena dugaan perkosaan nenek-nenek di MCD. Kebayang nggak sih, kalo ibu-ibu itu ternyata kehilangan anaknya? Atau berduka karena ditinggal suaminya yang nikah dengan daun pintu, eh daun muda.
Bagi sebagian orang, melihat orang asing tentu nggak kepikiran berbuat apa. Apalagi lihat ibu-ibu duduk pukul 12 malam sendirian di MCD. Ibu-ibu dengan garis kerutan di wajah, kantung mata dan rambut yang memutih. Membuat siapa pun yang melihatnya menerka bahwa ibu tersebut menua. Bahkan, di hari tuanya dia harus kesepian duduk di MCD seorang diri. Merindukan sesuatu.
“Ibu siapa ya?”
Gue mendekat ke kasir sambil memesan segelas es kopi tanpa float. Kesempatan untuk bertanya siapa tahu kasir penjaga MCD itu tahu siapa ibu yang duduk terlihat kedinginan itu.
“Mbak, ibu itu siapa?”
Penjaga kasir yang terlihat mengantuk menjawab, “nggak tahu.”
“Mbak udah lama jaga hari ini?”
“Iya, dari sore.”
“Ibu itu udah berapa lama duduk di sana?”
“Kira-kira tiga jam lebih.”
Gue membayar pesanan es kopi dan menerima struk dengan malas. Percakapan antara gue dan kasir penjaga MCD berakhir. Gue memilih kursi di sudut sebelah jendela kaca. Sekalian mencari posisi yang nyaman untuk mengedit sambil mendengarkan lagu. Dari arah seberang, ibu-ibu itu masih duduk.
Gue mengambil tisu dan menyumbatnya ke hidung. Seandainya tidak disumbat, hidung gue bocor tanpa waterpoof.
Terdengar pelan alunan lagu the script yang gue nggak tahu judulnya, tapi sering diputar di beberapa radio. Gue membuka laptop dan mulai menyiapkan dokumen yang ingin diedit. Sambil melirik ke arah ibu-ibu duduk, gue sesekali minum es kopi melalui sedotan. Rasa kopi dan dingin langsung menjalar ke tenggorok begitu gue telan.
Faktanya, gue pilek dan gue minum es kopi. Gue duduk di bawah ac yang dingin dan melanjutkan pekerjaan sambil sibuk menerka siapakah ibu yang duduk di sudut kursi berwarna hijau tersebut. Di sudut lain televisi 32 inch menyala menampilkan pertandingan bulu tangkis yang tidak begitu menarik. Gue pun hanya sekilas memandang dan tak tertarik menyaksikan. Mata gue kembali mengarah pada ibu-ibu tua yang masih duduk.
“Apa ibu itu nunggu dijemput anaknya?”
Dalam hati, kenapa juga ya gue mikirin ibu-ibu yang nggak gue kenal itu. Ngapain juga harus peduli asal-usul dan cerita hidupnya. Entah, gue merasa dari sorot matanya ibu-ibu itu seperti menyimpan sesuatu. Sorot mata lelah yang menahan kantuk itu hanya ditemani soft drink yang esnya mulai mencair. Bahkan, rasanya mungkin sudah tak manis. Tapi, ibu-ibu tetap duduk setia seperti menanti. Gue tak berani menatapnya lebih lama, karena tentu saja mengundang curiga.
Lalu, gue kembali melanjutkan pekerjaan dan tenggelam dengan deretan aksara yang perlu diperbaiki. Mata gue sibuk mengawasi celah kesalahan yang terselip di antara kalimat dan gagasan yang tak logis. Sesekali, gue meneguk es kopi agar mata tetap terjaga menatap layar. Dalam beberapa menit gue mencoba konsentrasi pada kerjaan.
Tiba-tiba, hidung gue gatal dan tak kuasa menahan diri untuk bersin. Gue menoleh ke samping, dan ternyata ibu-ibu itu sudah nggak ada. Bahkan, dia meninggalkan segelas soft drink yang masih tersisa. Gue nggak ambil pusing dan tetap melanjutkan pekerjaan.
Sejam berlalu, malam beranjak pagi. Petugas MCD sudah merapikan kursi dan membersihkan noda di meja. Gue harus bersiap untuk pulang. Mata gue lelah rasanya seharian duduk dan menatap layar. Sisa tisu yang masih ada gue ambil dan masukkan ke dalam lubang hidung.
Gue kembali kayak zombie berjalan gontai menyusuri trotoar yang sepi. Jarang kendaraan melintas dini hari. Sepanjang jalan pikiran gue dipenuhi oleh pertanyaan, kenapa lagu di MCD enak-enak. Baru berjalan sekitar 100 meter dari depan MCD mata gue menangkap sosok yang tak asing.
“Kayaknya gue tahu deh orang itu.”
Sosok ibu-ibu yang gue lihat di MCD tidur di emperan toko beralaskan koran tepat di sebelah gerobak berisi kardus bekas dan terlihat balita yang tertidur pulas. Seketika, nurani gue terketuk. Giliran mata gue bocor, tak ada tisu yang tersisa. 
“Siapakah ibu-ibu itu?”


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • ►  2017 (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (8)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2015 (17)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (2)
    • ►  Januari (3)
  • ▼  2014 (45)
    • ►  Desember (4)
    • ▼  Oktober (2)
      • Analogi Cinta Berdua
      • Selembar Tisu
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (16)
  • ►  2013 (16)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2012 (59)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (9)
    • ►  Oktober (9)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (116)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (16)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (14)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Juni (14)
    • ►  Mei (17)
    • ►  April (14)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2010 (39)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (14)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2009 (12)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (2)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates