Selembar Tisu

by - 01.05

Malam ini gue pilek dan kerjaan nggak berhenti-berhenti. Tiba-tiba hidung gue meler. Sepanjang jalan kaki dari kosan menuju MCD sekitar 800 meter hidung gue disumbat tisu. Pukul 12 malam jalan kaki gontai sepanjang jalan dilihatin sama orang.
“Ini orang gila apa zombie ya.”
Gue jalan kayak zombie, kelakuan kayak orang gila. Wajar sih, daripada gue dibilang mayat hidup kalo dua lubang hidung gue disumbat pake kanebo?
MCD lagi asyik playlistnya buat ngerjain editan. Namanya juga editor, ya tugasnya ngedit. Kalo benerin genteng namanya apa ya? Lo tahu nggak sih kalo hidung lagi meler kena dingin jadi merinding nggak jelas, gue takut pilek tambah parah. Sekarang Jakarta lagi cuaca ekstrem, kalo siang sampe 37 derajat celcius. Panasin dikit mendidih deh tuh.
Di sudut pojok MCD gue lihat ada ibu-ibu yang termenung menatap kosong dengan tangan terlipat di dada.
“Ada apa ya dengan ibu-ibu itu?”
Gue nggak berani negor atau pedekate.  Jelas, hidung gue masih tersumbat tisu. Kedua, gue bisa dipanggil sekuriti karena dugaan perkosaan nenek-nenek di MCD. Kebayang nggak sih, kalo ibu-ibu itu ternyata kehilangan anaknya? Atau berduka karena ditinggal suaminya yang nikah dengan daun pintu, eh daun muda.
Bagi sebagian orang, melihat orang asing tentu nggak kepikiran berbuat apa. Apalagi lihat ibu-ibu duduk pukul 12 malam sendirian di MCD. Ibu-ibu dengan garis kerutan di wajah, kantung mata dan rambut yang memutih. Membuat siapa pun yang melihatnya menerka bahwa ibu tersebut menua. Bahkan, di hari tuanya dia harus kesepian duduk di MCD seorang diri. Merindukan sesuatu.
“Ibu siapa ya?”
Gue mendekat ke kasir sambil memesan segelas es kopi tanpa float. Kesempatan untuk bertanya siapa tahu kasir penjaga MCD itu tahu siapa ibu yang duduk terlihat kedinginan itu.
“Mbak, ibu itu siapa?”
Penjaga kasir yang terlihat mengantuk menjawab, “nggak tahu.”
“Mbak udah lama jaga hari ini?”
“Iya, dari sore.”
“Ibu itu udah berapa lama duduk di sana?”
“Kira-kira tiga jam lebih.”
Gue membayar pesanan es kopi dan menerima struk dengan malas. Percakapan antara gue dan kasir penjaga MCD berakhir. Gue memilih kursi di sudut sebelah jendela kaca. Sekalian mencari posisi yang nyaman untuk mengedit sambil mendengarkan lagu. Dari arah seberang, ibu-ibu itu masih duduk.
Gue mengambil tisu dan menyumbatnya ke hidung. Seandainya tidak disumbat, hidung gue bocor tanpa waterpoof.
Terdengar pelan alunan lagu the script yang gue nggak tahu judulnya, tapi sering diputar di beberapa radio. Gue membuka laptop dan mulai menyiapkan dokumen yang ingin diedit. Sambil melirik ke arah ibu-ibu duduk, gue sesekali minum es kopi melalui sedotan. Rasa kopi dan dingin langsung menjalar ke tenggorok begitu gue telan.
Faktanya, gue pilek dan gue minum es kopi. Gue duduk di bawah ac yang dingin dan melanjutkan pekerjaan sambil sibuk menerka siapakah ibu yang duduk di sudut kursi berwarna hijau tersebut. Di sudut lain televisi 32 inch menyala menampilkan pertandingan bulu tangkis yang tidak begitu menarik. Gue pun hanya sekilas memandang dan tak tertarik menyaksikan. Mata gue kembali mengarah pada ibu-ibu tua yang masih duduk.
“Apa ibu itu nunggu dijemput anaknya?”
Dalam hati, kenapa juga ya gue mikirin ibu-ibu yang nggak gue kenal itu. Ngapain juga harus peduli asal-usul dan cerita hidupnya. Entah, gue merasa dari sorot matanya ibu-ibu itu seperti menyimpan sesuatu. Sorot mata lelah yang menahan kantuk itu hanya ditemani soft drink yang esnya mulai mencair. Bahkan, rasanya mungkin sudah tak manis. Tapi, ibu-ibu tetap duduk setia seperti menanti. Gue tak berani menatapnya lebih lama, karena tentu saja mengundang curiga.
Lalu, gue kembali melanjutkan pekerjaan dan tenggelam dengan deretan aksara yang perlu diperbaiki. Mata gue sibuk mengawasi celah kesalahan yang terselip di antara kalimat dan gagasan yang tak logis. Sesekali, gue meneguk es kopi agar mata tetap terjaga menatap layar. Dalam beberapa menit gue mencoba konsentrasi pada kerjaan.
Tiba-tiba, hidung gue gatal dan tak kuasa menahan diri untuk bersin. Gue menoleh ke samping, dan ternyata ibu-ibu itu sudah nggak ada. Bahkan, dia meninggalkan segelas soft drink yang masih tersisa. Gue nggak ambil pusing dan tetap melanjutkan pekerjaan.
Sejam berlalu, malam beranjak pagi. Petugas MCD sudah merapikan kursi dan membersihkan noda di meja. Gue harus bersiap untuk pulang. Mata gue lelah rasanya seharian duduk dan menatap layar. Sisa tisu yang masih ada gue ambil dan masukkan ke dalam lubang hidung.
Gue kembali kayak zombie berjalan gontai menyusuri trotoar yang sepi. Jarang kendaraan melintas dini hari. Sepanjang jalan pikiran gue dipenuhi oleh pertanyaan, kenapa lagu di MCD enak-enak. Baru berjalan sekitar 100 meter dari depan MCD mata gue menangkap sosok yang tak asing.
“Kayaknya gue tahu deh orang itu.”
Sosok ibu-ibu yang gue lihat di MCD tidur di emperan toko beralaskan koran tepat di sebelah gerobak berisi kardus bekas dan terlihat balita yang tertidur pulas. Seketika, nurani gue terketuk. Giliran mata gue bocor, tak ada tisu yang tersisa. 
“Siapakah ibu-ibu itu?”


You May Also Like

0 komentar