Selembar Tisu
Malam ini gue pilek dan kerjaan nggak berhenti-berhenti. Tiba-tiba
hidung gue meler. Sepanjang jalan kaki dari kosan menuju MCD sekitar 800 meter
hidung gue disumbat tisu. Pukul 12 malam jalan kaki gontai sepanjang jalan
dilihatin sama orang.
“Ini orang gila apa zombie ya.”
Gue jalan kayak zombie, kelakuan kayak orang gila. Wajar sih,
daripada gue dibilang mayat hidup kalo dua lubang hidung gue disumbat pake
kanebo?
MCD lagi asyik playlistnya buat ngerjain editan. Namanya
juga editor, ya tugasnya ngedit. Kalo benerin genteng namanya apa ya? Lo tahu
nggak sih kalo hidung lagi meler kena dingin jadi merinding nggak jelas, gue
takut pilek tambah parah. Sekarang Jakarta lagi cuaca ekstrem, kalo siang sampe
37 derajat celcius. Panasin dikit mendidih deh tuh.
Di sudut pojok MCD gue lihat ada ibu-ibu yang termenung
menatap kosong dengan tangan terlipat di dada.
“Ada apa ya dengan ibu-ibu itu?”
Gue nggak berani negor atau pedekate. Jelas, hidung gue masih tersumbat tisu.
Kedua, gue bisa dipanggil sekuriti karena dugaan perkosaan nenek-nenek di MCD. Kebayang
nggak sih, kalo ibu-ibu itu ternyata kehilangan anaknya? Atau berduka karena
ditinggal suaminya yang nikah dengan daun pintu, eh daun muda.
Bagi sebagian orang, melihat orang asing tentu nggak
kepikiran berbuat apa. Apalagi lihat ibu-ibu duduk pukul 12 malam sendirian di
MCD. Ibu-ibu dengan garis kerutan di wajah, kantung mata dan rambut yang
memutih. Membuat siapa pun yang melihatnya menerka bahwa ibu tersebut menua. Bahkan,
di hari tuanya dia harus kesepian duduk di MCD seorang diri. Merindukan
sesuatu.
“Ibu siapa ya?”
Gue mendekat ke kasir sambil memesan segelas es kopi tanpa
float. Kesempatan untuk bertanya siapa tahu kasir penjaga MCD itu tahu siapa ibu
yang duduk terlihat kedinginan itu.
“Mbak, ibu itu siapa?”
Penjaga kasir yang terlihat mengantuk menjawab, “nggak tahu.”
“Mbak udah lama jaga hari ini?”
“Iya, dari sore.”
“Ibu itu udah berapa lama duduk di sana?”
“Kira-kira tiga jam lebih.”
Gue membayar pesanan es kopi dan menerima struk dengan
malas. Percakapan antara gue dan kasir penjaga MCD berakhir. Gue memilih kursi
di sudut sebelah jendela kaca. Sekalian mencari posisi yang nyaman untuk
mengedit sambil mendengarkan lagu. Dari arah seberang, ibu-ibu itu masih duduk.
Gue mengambil tisu dan menyumbatnya ke hidung. Seandainya tidak
disumbat, hidung gue bocor tanpa waterpoof.
Terdengar pelan alunan lagu the script yang gue nggak tahu judulnya, tapi sering diputar di
beberapa radio. Gue membuka laptop dan mulai menyiapkan dokumen yang ingin
diedit. Sambil melirik ke arah ibu-ibu duduk, gue sesekali minum es kopi
melalui sedotan. Rasa kopi dan dingin langsung menjalar ke tenggorok begitu gue
telan.
Faktanya, gue pilek dan gue minum es kopi. Gue duduk di
bawah ac yang dingin dan melanjutkan pekerjaan sambil sibuk menerka siapakah
ibu yang duduk di sudut kursi berwarna hijau tersebut. Di sudut lain televisi
32 inch menyala menampilkan pertandingan bulu tangkis yang tidak begitu
menarik. Gue pun hanya sekilas memandang dan tak tertarik menyaksikan. Mata gue
kembali mengarah pada ibu-ibu tua yang masih duduk.
“Apa ibu itu nunggu dijemput anaknya?”
Dalam hati, kenapa juga ya gue mikirin ibu-ibu yang nggak
gue kenal itu. Ngapain juga harus peduli asal-usul dan cerita hidupnya. Entah,
gue merasa dari sorot matanya ibu-ibu itu seperti menyimpan sesuatu. Sorot mata
lelah yang menahan kantuk itu hanya ditemani soft drink yang esnya mulai
mencair. Bahkan, rasanya mungkin sudah tak manis. Tapi, ibu-ibu tetap duduk
setia seperti menanti. Gue tak berani menatapnya lebih lama, karena tentu saja
mengundang curiga.
Lalu, gue kembali melanjutkan pekerjaan dan tenggelam dengan
deretan aksara yang perlu diperbaiki. Mata gue sibuk mengawasi celah kesalahan
yang terselip di antara kalimat dan gagasan yang tak logis. Sesekali, gue
meneguk es kopi agar mata tetap terjaga menatap layar. Dalam beberapa menit gue
mencoba konsentrasi pada kerjaan.
Tiba-tiba, hidung gue gatal dan tak kuasa menahan diri untuk
bersin. Gue menoleh ke samping, dan ternyata ibu-ibu itu sudah nggak ada. Bahkan,
dia meninggalkan segelas soft drink yang masih tersisa. Gue nggak ambil pusing
dan tetap melanjutkan pekerjaan.
Sejam berlalu, malam beranjak pagi. Petugas MCD sudah
merapikan kursi dan membersihkan noda di meja. Gue harus bersiap untuk pulang. Mata
gue lelah rasanya seharian duduk dan menatap layar. Sisa tisu yang masih ada
gue ambil dan masukkan ke dalam lubang hidung.
Gue kembali kayak zombie berjalan gontai menyusuri trotoar
yang sepi. Jarang kendaraan melintas dini hari. Sepanjang jalan pikiran gue
dipenuhi oleh pertanyaan, kenapa lagu di MCD enak-enak. Baru berjalan sekitar
100 meter dari depan MCD mata gue menangkap sosok yang tak asing.
“Kayaknya gue tahu deh orang itu.”
Sosok ibu-ibu yang gue lihat di MCD tidur di emperan toko
beralaskan koran tepat di sebelah gerobak berisi kardus bekas dan terlihat
balita yang tertidur pulas. Seketika, nurani gue terketuk. Giliran mata gue bocor, tak ada tisu yang tersisa.
“Siapakah ibu-ibu itu?”
0 komentar