Langit Seketika Runtuh

by - 16.40

Kepulan asap putih cappuccino terhidang bersama guratan cemas menunggu. Memang, menanti selalu dekat dengan ketidakpastian. Kedai kopi yang biasa ramai, sore ini tampak lengang. Hanya satu dua orang saja yang terlihat memenuhi kursi. Bahkan, tak ada gelak tawa dari barista yang biasa dia temui kala memesan green tea latte seminggu yang lalu.
“Katanya, akhirnya kamu putus sama Bram. Gimana perasaanmu?” tanya Kinna khawatir.
“Iya, cowok brengsek jangan pernah dikasih hati, pake alasan nggak kuat LDR. Lagian aku mudah melupakannya.”
“Ya sudah kamu nanti ceritakan gebetan baru kamu ya,”
Kinna, menyesap bibir cangkir dengan pelan. Hatinya begitu cemas karena Melani tak kunjung datang. Dari waktu yang dijanjikan, bahkan dia sudah telat sekitar setengah jam. Hari ini adalah keputusan, tapi juga bercampur dengan keraguan. Melani mengabarkan baru pulang dari Australia dan membawa oleh-oleh. Sahabatnya itu bercerita telah menyelesaikan studi.
“Aku akan pulang ke Jakarta, melanjutkan mimpiku yang terunda,” ungkap Melani setibanya di bandara.
“Kamu tidak perlu banyak bicara, kita lanjutkan di kedai kopi langganan,” kataku
“Baiklah, aku pastikan datang di sana tepat waktu.”
Di antara detik yang mulai gugur dan daun-daun di sekitar kedai bahkan tak pernah layu karena terbuat dari plastik. Kinna menatap kosong kaca yang mulai berdebu. Di antara waktu yang terlewati selama ini bersama Melani, malam ini dia akan memutuskan sesuatu.
“Aku kangen kamu, kangen kekonyolan kita bersama,”
“Iya, di Australia nggak seru, temen-temen pada serius semua.”
Kinna kembali teringat perbincangan telepon bersama Melani. Sudut matanya terlihat mengkilat karena berkas bening membasahi. Pramusaji yang mengenakan seragam berwarna abu itu datang menghampiri. Dengan senyum ramahnya pramusaji menuangkan gula cair kemudian berlalu pergi. Secangkir kopi, angin sore, dan kenangan selalu dekat dengan ingatan yang menayangkan kejadian-kejadian di masa lalu.
Lalu pintu kedai terbuka disusul dengan Melani yang datang dengan memakai dress berwarna merah panjang dan belahan di bagian paha. Rambutnya yang terikat cepol membuatnya terlihat manis. Sepatu high heels hitam dan tas kecil itu digenggamnya erat. Tampak rautnya ceria dan menahan kerinduan yang teramat sangat.
Kinna bangkit berdiri. Melani semakin mendekat. Mereka larut dalam pelukan panjang. Kinna mengusap bahu Melani dan dibalas dengan guncangan pelan olehnya. Kini, dua sahabat yang terpisah dua negara akhirnya kembali dipertemukan.
“Akhirnya kita bertemu,”
“Iya, aku kangen sekali.”
Lalu Kinna mengacungkan tangan memanggil pramusaji dan memesan green tea latte kesukaan Melani. Terlihat Kinna menarik napas panjang. Telapak tangan terasa lebih dingin. Guratan cemas kembali tercetak jelas di keningnya. Melani hanya tersenyum puas memandang sahabatnya itu.
“Kamu kelihatan lebih kurus,” ungkap Melani.
“Kamu kelihatan jauh lebih cantik,” balas Kinna
Pramusaji datang dengan nampan dan gelas berisi minuman hijau. Sementara Kinna berusaha sibuk memutar cangkir karena cappuccino tinggal seteguk lagi. Melihat air muka Melani, Kinna jadi menahan diri. Dia membiarkan sahabatnya itu mengambil jeda untuk menuntaskan dahaga dan rasa lelah.
Waktu semakin gugur dan bunga plastik akan selalu terlihat sama. Tak ada yang bisa mengelak dari perubahan, termasuk bergulirnya waktu.
“Aku tidak punya banyak waktu,” Kinna membuka kalimat.
Lalu disingkapnya tangan sebelah kanan untuk memperlihatkan jemari sebelah kiri. Berkilau ujung batu berlian yang memantul oleh sinar lampu tersemat cincin di jari manis Kinna. Tak perlu waktu lama Melani mampu menangkap wujud benda itu. Sangat mencolok dan indah. Tak sadar Melani menyambut tangan kanan Kinna dan mengusapnya lembut. Disentuhnya cincin yang melingkar itu dan ditatapnya dengan nanar.
Kinna semakin cemas, tapi berusaha menyembunyikannya.
“Selamat ya, akhirnya kamu akan menikah,” kata Melani.
“Iya, terima kasih.”
Seolah Melani tak bisa membaca keresahan Kinna malah fokus pada jemarinya. Melani begitu terpesonanya dengan batu berlian di tangan sahabatnya itu. Angin sore semakin senyap. Bunga plastik di tepi meja tak sanggup menandingi indahnya cincin Kinna. Satu tegukan terakhir berharap mampu membasuh kebimbangannya.
Kinna menarik kursi mundur ke belakang. Mata berusaha tajam menatap sahabatnya. Sudut mata Kinna terbit seberkas bulir bening.
“Tapi, aku masih harus meminta restu.”
“Dari siapa?” tiba-tiba Melani tersentak
“Dari kamu,”
Melani masih menggenggam jari manis Kinna. Tangannya memutar cincin dengan hati-hati. Terukir nama, “Bram.” Langit seketika runtuh.




You May Also Like

1 komentar