unplug my life

by - 11.14


Aku terpeleset dan menyenggol vas bunga. Pecahannya berserakan dan sekeping kaca tertancap di dadaku. Ada darah yang menetes-netes seperti sisa hujan yang turun dari atap. Bunga aglomeria pun terhempas dan ternodai darahku. Aku tidak bisa bangkit karena kaca itu menusuk tepat di jantungku. Seketika darahku berhenti mengalir dan sisanya menetes-netes membasahi lantai. Aku tidak sempat mengerang. Hanya desahan nafas terakhir yang sempat bergulir bersama serpihan kaca yang terpelanting. Tusukan itu tepat merobek saraf jantung dan denyutan terakhir belum sempurna sehingga sisa darah memuntahkan seperti lahar yang dingin. Tak ada gigil dan gemerutuk gigi karena hanya bunyi berdebam yang ada saat kepalaku membentur lantai dan mataku menatap kosong ke langit-langit yang putih. Bajuku basah oleh percikan darah yang terlempar bersama angin dan membuat warna bajuku tampak lebih gelap. Pembuluh darah yang lain ikut berhenti dan membeku perlahan-lahan sehingga bibirku membiru seperti kedinginan. Kukuku mulai berwarna ungu karena darah telah terenggut oleh pembuluh yang lain. Aku tidak bisa menggapai-gapai karena seketika seluruh tubuhku lumpuh. Air mataku luruh sampai memudarkan darah yang membekas di pipi. Kakiku mengejang dan urat leherku mengeras menahan tarikan dada yang kian sesak dan dalam beberapa detik seperti terguncang hebat. Hatiku tak sempat berkata apa-apa karena kata-kata sepertinya tidak berguna diucapkan sekalipun. Tak ada yang bisa mengubah kenyataan ini. Tak ada maaf yang bisa menyembuhkan luka. Karena perihnya pun tak kan mau memberikan kesempatan kedua. Inikah yang dinamakan mati. Saat seluruh nadi tertarik seperti kawat yang menegang terserang listrik dan seketika padam. Kemudian mataku dipenuh kilatan cahaya putih dan menutup seluruh pandanganku. Aku tak mampu mengedipkan mata. Karena seluruh saraf dan otot tidak berfungsi dan aku tidak memiliki energi cadangan seperti mesin yang bisa dihidupkan secara otomatis. Sakitnya seperti duri mawar beracun yang tak pernah menawarkan luka. Tusukannya membuat mata tiba-tiba perih dan berair seperti bola lampu tersiram hujan. Pedih. Tak ada yang bisa menolongku. Karena aku menghendaki ini terjadi pada diriku, sehingga orang lain tidak perlu tahu dan aku tidak akan dibawa ke rumah sakit untuk diobati. Buat apa ketika kepedulian hanya menimbulkan masalah bagi orang lain. Aku tidak ingin menyusahkan siapa pun. Sehingga aglomeria mahal pun tak berharga jika hanya disimpan di dalam vas bunga. Keindahannya menawan dan harum membelai lembut udara. Namun tak ada lagi yang tersisa. Jika vas bunga itu jatuh dan terbanting dilantai. Dadaku pun tertusuk pecahan kaca. Dan tusukannya menembus daging. Hingga menohok tulang rasa sakit sampai tidak terperikan. Kaca itu sangat tipis dan tajam sehingga mengkilat diterpa cahaya lampu. Tapi aku bahkan tidak bisa berkaca karena mataku tertuju pada objek yang lain. Tapi nafasku masih tersisa sehingga rasa sakit tertinggal di ujung tarikan nafas. Cabutlah sekarang. Jangan kau tunda lagi sehingga kau bebas tersenyum sambil meringis didepan mataku. Sehingga tidak sakit yang tak tertahankan lagi. Biarkan nyawa ini melayang bersama kekecewaan dan kau bebas membawaku pergi. Sehingga tak ada tangis yang menderas seperti hujan lagi karena tubuhku kaku seperti membeku dan aku tidak berharga lagi. Tidak ada lagi harapan ketika pecahannya tak terelakkan dan seketika kepercayaan runtuh bersamanya. Siapa yang kejam antara aku yang membanting vas bunga, kaca yang menusukku atau malaikat yang mencabut nyawaku. Ini terjadi begitu saja dan kadang aku tak bisa mengelak pada kesalahan yang tak perlu karena kenyataan terjadi seperti angin yang menghampiri begitu saja. Ketika aku menyesal dan vas bunga terlanjur pecah maka aglomeria akan selamanya membenciku terlebih darah menodainya tidak akan mengubah apa pun. Aku telah menodai kemurnian. Apa aku masih percaya pada ketulusan jika kaca itu menusuk dadaku dan aku sampai tak mampu mengucap maaf padanya yang balik menyerangku. Maafkan aku. Karena salahku kau tikamkan kaca padaku. Biarkan darah ini habis hingga memenuhi lantai. Saat ingin kuraih bunga mataku hanya mampu berkaca-kaca dan kau tak akan mengerti bahasa itu. Kepalaku membentur lantai dan sisa darah di dalam tempurung bercucuran pelan sehingga otakku kehabisan darah. Aku tak mampu berpikir apa-apa, lebih baik aku menikmatinya saja. Karena aku tak memiliki apa-apa lagi. Harapan dan keyakinan yang bertahan selama ini hancur seperti mesiu yang meledak, serpihanya berhamburan diterbangkan angin dan hilang. Aku tak mengerti kenapa bisa terjadi tapi aku menyadari kesalahanku dan memohon maaf atasnya. Jika tak ada maaf yang tersisa kau boleh hujamkan pecahan kaca yang lain pada mataku. Sehingga aku tak perlu mengenal luka, melihat nestapa, menatap duka, menyimpan isak tangis. Kau bisa keluarkan mataku dan mengirisnya terbelah dua sampai kau memerasnya menjadi darah segar yang bisa kau minum. Cabutlah nyawaku seperti pohon toge yang tercabut tak pernah sempat menjadi pohon. Tak perlu ragu. Karena keraguan akan mengelabuimu dan aku tersiksa pedih. Aku telah memecahkanmu dan kau bebas melakukan apa pun padaku. Terserah saja. Jika aku hanya menyakiti dan tak perlu ada maaf. Hatiku hancur bersama kata yang tak sempat kuucapkan. Karena lidahku membeku bersamaan dengan aliran darahku yang terhenti dan aku kehabisan nafas. Seolah kedipan mata tak berharga dan aku rubuh dengan kepingan kaca yang jatuh. Bawalah aku pergi untuk selamanya. Karena waktu tak pernah memberiku janji seperti apa peristiwa ini terjadi. Dan aku hanya kehilangan waktu sebelum hidupku berakhir. Tak perlu berpikir karena otak bisa mendustaimu dan aku hilang kesabaran karena menunggumu menyelesaikan penderitaan ini. Tak perlu menarik nafas karena tubuhku terlanjur terhempas. Saat kata maaf hanya terdiri dari empat huruf yang bersatu tak kan berhaga jika tidak pernah ditambah di-kan karena maaf seperti kehilangan jiwanya. Seperti dahaga tak pernah sembuh oleh airmata. Aku bersalah tapi kau malah memenjarakanku pada sakit yang membelenggu. Tak pernah ada vonis. Dan kasus ini menggantung seperti terabaikan. Aku tak lain terdakwa yang menunggu eksekusi jika tak kau segera ambil jiwaku. Lebih baik kau rengkuh jantungku agar kepedihan ini tak menjadi lama. Sungguh maafkan aku. Aku memilihmu karena suka. Tapi cinta tak pernah bisa terbeli. Dan kau bebas menawarkan harga mati. Ketika tanganku tersentuh adenium tak berarti perhatianku lebih padanya karena aglomeria tak pernah tergantikan. Dan ketulusanku jatuh pada dirimu. Jika malaikat memberiku nyawa maka kugantikan vas bunga kaca menjadi besi yang bertahan saat terbanting sekalipun. Kubeli berapa pun harganya. Jika tak ada pilihan maka hunuskan kaca itu lebih dalam sehingga menjadi erangan terakhir. Dan aku bisa menjadi tanah untukmu.

You May Also Like

1 komentar

  1. hm....cerita yang keseluruhan kata-katanya adalah puisi. aku suka nih yang kayak gini.

    BalasHapus