perempuan terdampar di beranda

by - 11.44

Suatu malam yang dingin, selepas hujan yang basah oleh gerimis. Kulihat seorang perempuan terdampar di beranda, menyembunyikan senyum. Wajahnya yang manis terbungkus matanya yang sayu. Ujung jari manisnya menjepit sepuntung rokok yang tinggal setengah. Asap kecil menguap diterbangkan angin. Di sudut bibirnya terdapat luka kecil yang mengering. Dia terlihat cemas, duduknya gusar dengan tangan kiri menopang dagu. Ada senandung sendu yang digumamkan hatinya. Guratan kesedihan terukir jelas di bawah kelopak matanya, karena garis air mata seringkali melintas di permukaan pipinya. Aku tidak melihat sinar dari matanya yang sendu. Perempuan itu seorang diri menyandar dinding putih di sebelah pintu toko. Dia mengenakan pakaian yang telah basah dan dingin. Puntung rokoknya yang terbakar mulai padam. Aku melihatnya sedikit gemetar dan giginya saling mengunci. Hembusan nafas yang berat dari hidungnya masih menyisakan kepulan asap. Rambutnya tidak terlihat karena dia mengenakan kain pembungkus kepala, tapi di lehernya terdapat seuntai kalung yang tenggelam diantara belahan dadanya. Malam menerpakan angin dan dingin. Perempuan itu terus menggigil memeluk dirinya sendiri.
Aku tidak mengenalnya, kemudian tiba-tiba aku sudah duduk sedekat ini. Merasakan hembusan nafasnya yang bercampur asap. Tapi kilatan cahaya lampu yang memantul dari matanya membuatku semakin mendekat. Aku ingin mengetahui, apa yang dirasakanya. Sebentuk kegetiran yang bisa dihabiskan bersama. Malam yang dingin saat purnama bercumbu, apakah dia mempedulikan kisah seorang perempuan yang terdampar, aku semakin merapat. Aku tidak menunggu perintah dan duduk di sebelahnya. Kunyalakan api kecil untuk membakar sisa rokoknya, tak ada kata-kata. Aku tidak perlu ungkapan manis, kita bisa saling berbicara dengan hati. Tidak perlu bahasa, cukup sederhana sebagaimana angin mengirimkan kabar rindu pada pujangga. Aku bercengkrama dengan kerinduan ini dalam waktu lama. Dia seolah tidak menolakku. Kedipan matanya yang dalam dan gerakan bibirnya yang berirama saat menghisap tembakau yang terbakar itu. Aku menyukainya.
Dia masih terdiam memaku tanpa mengakui sesuatu. Malam seperti ini selalu dingin bagiku. Padahal badanku hangat dan aku bisa sedikit memberikan api kecil lagi untuknya. Dia hanya menggelengkan kepala, dan memandangku seolah tak percaya. Sebotol minuman yang kubawa kuletakkan begitu saja di sebelahnya, berharap dia tertarik untuk meraih lalu meminumnya. Dia menghisap rokok lagi lebih dalam, cahaya putih lampu mulai meredup. Kini keremangan menyelimuti dan dia sepertinya tidak takut sama sekali, terutama terhadapku. Dia masih tidak berbicara, aku ingin dia tetap seperti itu, kemudian membilas matanya yang sayu agar tetap terjaga. Agar kita bisa bercengkrama lebih lama dan saling menatap satu sama lain tanpa perasaan.  Bagiku, kebersamaan selalu memberi arti tersendiri, walaupun kita tidak saling mengerti.
Aku menggenggam telapak tangan yang mulai beku oleh dingin. Lalu lintas jalan  mulai sepi dan sejauh pandangan mataku terasa lengang tanpa cahaya lampu. Aku tidak merokok dan sebenarnya membenci asap. Kepulannya itu seringkali membuatku tersedak hingga batuk. Tapi dia sepertinya menikmati itu dan aku tidak bisa merebut kenikmatan itu darinya. Aku tidak memiliki secangkir kopi hangat, minuman yang kubawa terlalu dingin untuk diminum. Jadi aku tidak bisa membagi kehangatan dengannya selain api, yang mungkin bisa membakar hatinya. Aku masih tidak berani bertanya atau menyebutkan nama, tidak perlu. Aku sama sekali ingin duduk di sini dan mendekatinya, itu saja. Tanpa perlu berbasa-basi dan bercerita banyak tentang kehidupan. Buat apa aku menceritakanya kembali, sedangkan kehidupan adalah cerita itu sendiri. Atau mungkin setiap orang punya cerita yang berbeda dalam hidupnya. Jadi aku lebih baik menyimpannya sendiri.
Dia terlihat pucat setelah hisapan rokoknya yang terakhir dan menatap mataku tidak biasa. Abu yang berjatuhan itu hilang tersambar angin dan lenyap begitu saja tak bersisa. Kemudian dia memegang botol minumanku dan membenturkanya ke dinding, gaduh membelah sepi ketika botol itu pecah dan berhamburan. aku mulai takut, perasaan khawatir mulai timbul. Pecahan botol yang masih dipegangnya tiba-tiba dia hunuskan kepadaku dengan mata jalang, dia tidak berteriak. Sorot matanya yang tajam bagiku lebih dari mengancam. Dia bangkit berdiri dan tangannya menepis dinding, menjaga keseimbangan agar tidak jatuh. Lalu aku sedemikian terkejut karena ujung pecahannya yang lancip ia arahkan ke perutnya sendiri. Aku terpana.
Aku tidak bisa berbuat banyak, kejadiannya sedemikian cepat. Dia tiba-tiba kalap dan hilang kesadaran, aku tidak bisa mencegahnya karena tatapan matanya yang galak. Aku hanya ingin mendekatinya, tapi ujung botol itu menakutiku. Dalam beberapa detik kudengar jeritan kesakitan dari bibirnya yang berwarna gelap. Dan aku bisa merasakan hembusan nafasnya terhenti setelah tersengal-sengal. Darah mengalir dari balik bajunya yang basah oleh darah. Aku tidak tahu, dan hanya bisa menatapnya iba. Dia tidak bergerak sama sekali.
Sayup-sayup terdengar suara begitu halus dan merdu, seperti bisikan yang dipenuhi desahan lembut dan manja, aku masih tidak percaya dan tidak mencari sumber suara. Kupikir salah dengar dan bisa saja suara itu timbul dari pikiranku sendiri.
“Mas, boleh minta apinya?”
Aku menyalakan api dan tersenyum padanya karena perempuan yang terdampar di beranda kini bisa kudengar suaranya. Aku terlalu jauh membayangkanya dan sadar bahwa dia masih di depanku dalam keadaan baik-baik saja.

You May Also Like

0 komentar