Dongeng Kristal Ibu
Malam kian ranum tatkala ibu masih rebah di atas kasur. Sudah
tiga malam, ibu tak angkat bicara. Parasnya pias nan muram. Aku cemas dan
khawatir. Duka lara apa yang Ibu simpan seorang diri. Beliau tak juga membagi
kisahnya kepadaku. Di antara malam-malam yang lain biasanya ibu selalu
mendendangkan cerita untuk mengantarkanku tidur. Tapi, kini sudah tak ada lagi.
Ibu hanya mengurung diri diam di kamar.
Setiap malam, ibu akan beringsut di balik selimut dan
bersembunyi dari terangnya lampu. Beliau selalu menyuruhku membuka jendela agar
cahaya bulan bisa masuk. Aku pun termangu menatap langit yang bertabur bintang
mempertanyakan Ibu. Sejak tak ada kabar dari Ayah, ibu jadi pendiam seribu
bahasa. Sepertinya, beliau berhenti untuk bicara.
Lalu, ketika malam beranjak larut. Samar-samar aku mendengar
sesenggukan dan isak tangis tertahan dari dalam kamar Ibu. Kamar yang
seharusnya juga diisi oleh Ayah itu kian sepi. Aku merapatkan telinga ke
dinding berharap mendengar curahan hati ibu rerdengar di antara derai tangis
yang pilu. Sebaliknya, tanpa pengantar dongeng dari Ibu, mataku jadi tak bisa
terpejam. Aku selalu terjaga meskipun telah larut malam.
Malam itu, tak ada suara isakan tangis. Purnama kian ranum. Semilir
angin berembus masuk melewati celah ventilasi di atas jendela. Derap langkahku
terdengar. Dari balik pintu dengan debar dan ragu, aku putar tuas pintu. Hanya terdapat
selimut yang menutupi seluruh badan Ibu. Aku bahkan, tidak bisa melihat
parasnya. Dengan bersijingkat, aku terpana melihat butiran-butiran Kristal berserakan
di lantai kayu rumah.
Dari manakah semua Kristal
itu berasal, apakah perhiasan ibu?
Lalu, kubuka jendela agar sinar purnama bebas menyelinap
masuk. Aku pun dapat mengintip bintang dari kamar Ibu. Kupungut satu per satu Kristal
yang berserakan di lantai. Kumasukkan ke dalam kain kecil tempa biasa kusimpan
kacamata dulu. Ibu masih tergolek di atas kasur berselimutkan kain perdu. Aku mendekatinya
penuh hati-hati tanpa bersuara.
Aku tak mau mengusik tidurnya barangkali terganggu. Namun,
mataku terperanjat begitu kusibakkan selimut dari tubuh ibu. Ibu meringkuk
lemas memeluk lututnya sendiri, sambil merintih. Lirih isakan itu tak terdengar
tapi matanya begitu terpejam. Lalu, dari matanya keluar butiran kristal-kristal
berkilauan yang berserakan itu. Sedu-sedannya memang tak terdengar. Tapi, air
matanya berganti dengan kristal-kristal yang kukumpulkan. Beliau tak bersuara,
tapi kuyakin kesedihannya tak terkira
Aku duduk di tepi ranjangnya sambil menyeka pipinya perlahan.
Mengusap punggungnya. Kesedihan membuat air mata jatuh tak berkesudahan.
Sudahlah, Bu. Meski ayah tak pernah pulang lagi sejak peristiwa pesawat itu. Cinta Ibu begitu besar
untuknya. Berhentilah menangis, Bu.
Aku memeluk Ibu dalam dekapan yang begitu erat. Ibu
menggenggam secarik foto Ayah. Aku pun mendendangkan kisah kepada Ibu tentang
arti cinta yang begitu besar, penantian seorang Ibu yang ditinggal ayah pergi
tak kembali. Lamat-lamat dalam hati aku berdoa. Semoga masih ada kesempatan
untuk bertemu ayah, meski tak mungkin.
Lalu, aku menutup jendela. Menyalakan lampu kamar. Merias wajah
ibu dengan bedak. Memulas lipstick merah di bibir ibu yang pucat. Meski, aku
tak yakin. Masih adakah harapan untuk kita.
1 komentar
Aku belum bisa merangkai kata - kata jadi semenarik itu. Gimana mau buat buku. Fiuh
BalasHapus