Dongeng Kristal Ibu

by - 15.30

Malam kian ranum tatkala ibu masih rebah di atas kasur. Sudah tiga malam, ibu tak angkat bicara. Parasnya pias nan muram. Aku cemas dan khawatir. Duka lara apa yang Ibu simpan seorang diri. Beliau tak juga membagi kisahnya kepadaku. Di antara malam-malam yang lain biasanya ibu selalu mendendangkan cerita untuk mengantarkanku tidur. Tapi, kini sudah tak ada lagi. Ibu hanya mengurung diri diam di kamar.
Setiap malam, ibu akan beringsut di balik selimut dan bersembunyi dari terangnya lampu. Beliau selalu menyuruhku membuka jendela agar cahaya bulan bisa masuk. Aku pun termangu menatap langit yang bertabur bintang mempertanyakan Ibu. Sejak tak ada kabar dari Ayah, ibu jadi pendiam seribu bahasa. Sepertinya, beliau berhenti untuk bicara.
Lalu, ketika malam beranjak larut. Samar-samar aku mendengar sesenggukan dan isak tangis tertahan dari dalam kamar Ibu. Kamar yang seharusnya juga diisi oleh Ayah itu kian sepi. Aku merapatkan telinga ke dinding berharap mendengar curahan hati ibu rerdengar di antara derai tangis yang pilu. Sebaliknya, tanpa pengantar dongeng dari Ibu, mataku jadi tak bisa terpejam. Aku selalu terjaga meskipun telah larut malam.
Malam itu, tak ada suara isakan tangis. Purnama kian ranum. Semilir angin berembus masuk melewati celah ventilasi di atas jendela. Derap langkahku terdengar. Dari balik pintu dengan debar dan ragu, aku putar tuas pintu. Hanya terdapat selimut yang menutupi seluruh badan Ibu. Aku bahkan, tidak bisa melihat parasnya. Dengan bersijingkat, aku terpana melihat butiran-butiran Kristal berserakan di lantai kayu rumah.
Dari manakah semua Kristal itu berasal, apakah perhiasan ibu?
Lalu, kubuka jendela agar sinar purnama bebas menyelinap masuk. Aku pun dapat mengintip bintang dari kamar Ibu. Kupungut satu per satu Kristal yang berserakan di lantai. Kumasukkan ke dalam kain kecil tempa biasa kusimpan kacamata dulu. Ibu masih tergolek di atas kasur berselimutkan kain perdu. Aku mendekatinya penuh hati-hati tanpa bersuara.
Aku tak mau mengusik tidurnya barangkali terganggu. Namun, mataku terperanjat begitu kusibakkan selimut dari tubuh ibu. Ibu meringkuk lemas memeluk lututnya sendiri, sambil merintih. Lirih isakan itu tak terdengar tapi matanya begitu terpejam. Lalu, dari matanya keluar butiran kristal-kristal berkilauan yang berserakan itu. Sedu-sedannya memang tak terdengar. Tapi, air matanya berganti dengan kristal-kristal yang kukumpulkan. Beliau tak bersuara, tapi kuyakin kesedihannya tak terkira
Aku duduk di tepi ranjangnya sambil menyeka pipinya perlahan. Mengusap punggungnya. Kesedihan membuat air mata jatuh tak berkesudahan.
Sudahlah, Bu. Meski ayah tak pernah pulang lagi sejak peristiwa pesawat itu. Cinta Ibu begitu besar untuknya. Berhentilah menangis, Bu.
Aku memeluk Ibu dalam dekapan yang begitu erat. Ibu menggenggam secarik foto Ayah. Aku pun mendendangkan kisah kepada Ibu tentang arti cinta yang begitu besar, penantian seorang Ibu yang ditinggal ayah pergi tak kembali. Lamat-lamat dalam hati aku berdoa. Semoga masih ada kesempatan untuk bertemu ayah, meski tak mungkin.
Lalu, aku menutup jendela. Menyalakan lampu kamar. Merias wajah ibu dengan bedak. Memulas lipstick merah di bibir ibu yang pucat. Meski, aku tak yakin. Masih adakah harapan untuk kita.


You May Also Like

1 komentar

  1. Aku belum bisa merangkai kata - kata jadi semenarik itu. Gimana mau buat buku. Fiuh

    BalasHapus