Bakso Kenangan Kita

by - 18.21

Menahan getir, membuang rasa khawatir memikirkanmu. Meski, hujan belum reda. Aku masih menunggumu di bawah payung merah di sudut kantin sebelah gerobak bakso. Iya, bakso kesukaan kamu. Setiap kali musim hujan, kita akan betah berlama-lama menikmati daging bulat yang empuk itu. Meski dingin, bersebelahan denganmu terasa hangat. Pernah, suatu kali kamu kesal karena semangkok bakso yang telah dipesan tidak ada kucainya. Kamu suka sayuran, aku suka daging. Kita jelas berbeda tapi bersatu dalam mangkuk yang sama.
Tukang bakso itu adalah kenangan. Sesendok teh sambel bisa membuatku kepedesan, berkeringat dingin. Kamu tertawa melihat ekspresi mukaku yang merah padam. Bahkan, cerita romantis kita ada di tukang bakso. Kamu pernah menitipkan surat ketika tukang bakso lagi mencacah sawi sebelum dicampurkan ke dalam kuali yang panas. Surat itu aku ambil sepulang dari sekolah begitu memesan satu porsi dibungkus.
Kamu, lebih menikmati bakso selagi hujan. Kupikir, apa bedanya? Aku lebih menikmati semangkok bakso ketika bersamamu. Meski aku membeli baksonya saja, tanpa kuah dan sayur. Kemudian seperti anak kecil, aku membeli biji baso yang kecil ditusuk ke lidil. Tukang bakso punya resep sendiri ketika memberi bumbu sate bakso milikku. Biar tidak terasa pedas, mang bakso memberikan lada. Lalu dguyur kecap manis dan sedikit air cuka.
Apa yang kamu pikirkan dengan semangkuk bakso. Ketika mang bakso sibuk melayani pembeli lalu aku menunggu giliran sambil menantikan kedatanganmu. Semangkok bakso lebih dari sekadar kenangan untuk memikirkanmu.
Hujan belum reda, tukang bakso pun sibuk mengaduk-aduk kuali. Biasanya, kamu memesan semangkok bakso bening tanpa sayur dan bihun. Kamu menyebutnya bakso polos. Aku lebih suka menyebutnya bakso kesepian. Hanya biji baso berendam di kuah bening tanpa kecap maupun sambel. Hanya sedikit terasa asin dan gurih berkat taburan bawang goreng.
Saat itu, kamu mengomentari gambar ayam di mangkok yang tak pernah berkokok. Padahal, dia sendiri dan selalu kesepian. Kataku, mereka tak pernah kesepian karena selalu ditemani tukang bakso. Bahkan, sampai sekarang kamu tak pernah mau menyebut nama tukang bakso itu. Kita hanya menyebutnya, Mang Bakso. Selain karena tipikal mukanya yang bulat, sikapnya pun sehangat kuahnya. Aku pun kurang lebih banyak memiliki kemiripan dengannya.
Menantikan hujan reda berdiri di sebelah gerobak bakso, jelas membangkitkan kemesraan kita saat berlari menghindari hujan. Berdiam diri menunggu jemputan sambil duduk memesan semangkok bakso. Bahkan, pernah suatu hari kita berbagi bakso dalam satu mangkok. Itu rasanya lebih romantis saat aku menikmati bihun di salah satu ujungnya, dan kamu menyeruput ujung bihun lainnnya. Mata kita bertemu dan berkedip-kedip karena asap bening panas kuah bakso. Lalu, kita tertawa. Tertawa bahagia.
Caramu memakan bakso, kedipan matamu saat menahan panas sebelum sesuap kuah bakso masuk ke dalam mulut. Membuatku merinding mengenangmu. Biasanya, ketika musim hujan kamu lebih rela basah karena tak sempat berteduh untuk mengejar tukang bakso sebelum pergi. Tukang bakso favorit kita akan berkeliling jika jam sekolah habis.
Tapi, perasaanku tak pernah habis. Semangkok bakso bisa jadi cara bagiku untuk mengekalkan bayangmu dalam kerinduanku.
Ada saat merindukanmu begitu menyenangkan sambil menunggu hujan reda di sebelah gerobak tukang bakso, sambil membayangkan kehadiranmu. Lantas aku tersenyum bukan karena mengingat tempat favorit kita, tapi obrolan kita. Tentang filosofi bakso. Bedanya bakso urat dan bakso daging. Bedanya pakai bihun dan mi kuning. Bedanya, bakso berkuah dan bertusuk kayak sate. Kita bicara banyak, bakso bukan sekadar makanan. Bakso adalah kenangan.
Jika hal sederhana mengingatmu menyunggingkan senyum, kamu berhasil membuat garis lurus bibirku melengkung menerbitkan seulas senyum yang menawan. Aku di sini, tepat di sebelah gerobak tukang bakso akan selalu berusaha membuatmu senang. Seandainya, kau di sini masih menyukai semangkok bakso kenangan. Meski kau tak bisa kumiliki. Meski kau hanya berkas asap bening yang mengepul ketika tutup kuali dibuka dan diterbangkan angin, tak mampu kugapai.
Aku akan selalu di sini, membantu mang bakso mencacah sayur kucai dan menaburkan serpihan perasaanku untuk semangkok bakso yang kamu pesan. Persembahan dariku, ketulusan hati untuk terus membuatmu tersenyum menikmati hidangan bakso. Bakso jualan aku dan ayahku.


You May Also Like

2 komentar