Hujan Membekas di Hati
Bagaimana rasanya ketika hati tak lagi menemukan ruang untuk
singgah, bahkan untuk ditempati. Jika pada akhirnya hati tak lagi memilih
melainkan pergi. Aku bisa membaca jelas sorot matamu yang begitu dingin memandangku.
Padahal, kemarin kau masih ceritakan kisah roman picisan yang berakhir bahagia.
Lalu kenapa itu tidak terjadi pada kisah cinta kita?
Aku menggenggam tanganmu melingkarkan jemari untuk merasakan
hangat telapakmu. Seandainya kamu tahu, debar dada yang membuncah selama ini sama
sekali tak berkurang. Kau memandangku tapi kosong. Aku tak menemukan lagi rinai
hujan membias di matamu.
Mengingat, saat-saat kau berlari menghindari gerimis hujan
dengan tumpukan buku di atas kepala. Aku rela menunggumu lebih dari sejam.
Hanya untuk memastikan kau datang di halte yang dijanjikan. Bisa dipastikan langit masih mengabu karena
mendung menyelimuti. Aku ingin melihatmu untuk terakhir kali.
“Sampai kapan hujan ini mereda?” tanyamu dengan paras begitu
cemas.
“Mungkin, sebentar lagi. Biarkan kita menikmati sisa hujan,”
kataku.
Aku ingin membekukan waktu dan berharap pertemuan ini
terulang kembali. Meski akhirnya aku tahu tak ada lagi pelukan. Tak ada lagi
senyuman. Taka da lagi sebentuk kecil perhatian. Kau seutuhnya kukenang dalam
ingatan. Jejak dirimu tergambar dalam tayangan panjang film dalam imajinasiku.
Kau sama sekali tak akan hilang.
Kita berdiri bersisian sementara hati tak lagi beriringan.
Meski, dulu kita terjalin rasa tapi hal ini tak berlangsung lama. Kau memandang
jalanan yang basah. Aku berdiri di antara tepian hati yang sebentar lagi
terpisah.
“Mengapa kau tega melakukan ini?” tanyaku lagi.
“Bukankah pada akhirnya, kita juga akan berpisah. Meski
dengan cara yang lain.” tambahnya.
Aku masih sempat melihat parasnya yang lembut dari ekor
mataku sambil mencuri pandang. Kau sama sekali tak membalas. Genggaman tangaku
tak juga kau jabat. Aku membayangkan bagaimana rasanya menari di bawah hujan
bersamamu. Sementara, hal itu tak mungkin terjadi.
“Apakah kamu masih mencintaiku?” tanyaku lagi dengan getir.
“Masih.”
“Lalu, kenapa kau memutuskan untuk berpisah?”
Kau terpaku, tak lantas langsung menjawab. Sambil menarik
helaan napas dan udara dingin kau berusaha membaca pikiranku. Aku menggigit
bibir bawah menahan gemas menantikan jawabmu. Jika saja hujan akan berakhir. Harusnya
perasaanku ikut berakhir sementara rasa sayang itu masih ada.
“Cinta datang dan pergi, seperti hujan. Barangkali begitulah
perasaanku.”
Rintik hujan masih terdengar mengalun di atas atap halte
tempat kita berteduh. Menepikan hati yang sebentar lagi jatuh. Sementara cinta
harus berakhir. Perasaan pun semestinya disudahi. Adakah hati yang bisa
memaksakan diri jika nyatanya masih memiliki cinta.
Hal itu masih jadi tanda tanya. Kita bergenggaman tangan.
Hati kita sudah berseberangan jalan. Pandangan mata pun berbeda ke depan. Meski
kita berdiri di bawah langit yang sama, tapi sudah berbeda arah dan tujuan.
“Tak semestinya cinta kita berakhir seperti ini,” kataku.
“Saat hujan berhenti, tak ada lagi kita.”
Haruskah kucari alasan untuk berhenti mencintai, sementara mencintaimu
tak butuh alasan, melainkan ketulusan. Garis tipis antara gulita dan cahaya
melukiskan langit mendung tak disinari pancaran mahatari. Semoga ada pelangi
setelah hujan.
3 komentar
Beehhh. Dalem, Bang. Pembacanya terhanyut. :))
BalasHapusEh iya, ada beberapa typo itu, hehe.
Dalem bang, rada miris bacanya. Andaikan gue sendiri yang berada di posisi karakter di postingan itu. Ppppffttt..
BalasHapuskena banget bang, sepertinya ini kisah saya
BalasHapus