Hujan Membekas di Hati

by - 14.57

Bagaimana rasanya ketika hati tak lagi menemukan ruang untuk singgah, bahkan untuk ditempati. Jika pada akhirnya hati tak lagi memilih melainkan pergi. Aku bisa membaca jelas sorot matamu yang begitu dingin memandangku. Padahal, kemarin kau masih ceritakan kisah roman picisan yang berakhir bahagia. Lalu kenapa itu tidak terjadi pada kisah cinta kita?
Aku menggenggam tanganmu melingkarkan jemari untuk merasakan hangat telapakmu. Seandainya kamu tahu, debar dada yang membuncah selama ini sama sekali tak berkurang. Kau memandangku tapi kosong. Aku tak menemukan lagi rinai hujan membias di matamu.
Mengingat, saat-saat kau berlari menghindari gerimis hujan dengan tumpukan buku di atas kepala. Aku rela menunggumu lebih dari sejam. Hanya untuk memastikan kau datang di halte yang dijanjikan.  Bisa dipastikan langit masih mengabu karena mendung menyelimuti. Aku ingin melihatmu untuk terakhir kali.
“Sampai kapan hujan ini mereda?” tanyamu dengan paras begitu cemas.
“Mungkin, sebentar lagi. Biarkan kita menikmati sisa hujan,”  kataku.
Aku ingin membekukan waktu dan berharap pertemuan ini terulang kembali. Meski akhirnya aku tahu tak ada lagi pelukan. Tak ada lagi senyuman. Taka da lagi sebentuk kecil perhatian. Kau seutuhnya kukenang dalam ingatan. Jejak dirimu tergambar dalam tayangan panjang film dalam imajinasiku. Kau sama sekali tak akan hilang.
Kita berdiri bersisian sementara hati tak lagi beriringan. Meski, dulu kita terjalin rasa tapi hal ini tak berlangsung lama. Kau memandang jalanan yang basah. Aku berdiri di antara tepian hati yang sebentar lagi terpisah.
“Mengapa kau tega melakukan ini?” tanyaku lagi.
“Bukankah pada akhirnya, kita juga akan berpisah. Meski dengan cara yang lain.” tambahnya.
Aku masih sempat melihat parasnya yang lembut dari ekor mataku sambil mencuri pandang. Kau sama sekali tak membalas. Genggaman tangaku tak juga kau jabat. Aku membayangkan bagaimana rasanya menari di bawah hujan bersamamu. Sementara, hal itu tak mungkin terjadi.
“Apakah kamu masih mencintaiku?” tanyaku lagi dengan getir.
“Masih.”
“Lalu, kenapa kau memutuskan untuk berpisah?”
Kau terpaku, tak lantas langsung menjawab. Sambil menarik helaan napas dan udara dingin kau berusaha membaca pikiranku. Aku menggigit bibir bawah menahan gemas menantikan jawabmu. Jika saja hujan akan berakhir. Harusnya perasaanku ikut berakhir sementara rasa sayang itu masih ada.
“Cinta datang dan pergi, seperti hujan. Barangkali begitulah perasaanku.”
Rintik hujan masih terdengar mengalun di atas atap halte tempat kita berteduh. Menepikan hati yang sebentar lagi jatuh. Sementara cinta harus berakhir. Perasaan pun semestinya disudahi. Adakah hati yang bisa memaksakan diri jika nyatanya masih memiliki cinta.
Hal itu masih jadi tanda tanya. Kita bergenggaman tangan. Hati kita sudah berseberangan jalan. Pandangan mata pun berbeda ke depan. Meski kita berdiri di bawah langit yang sama, tapi sudah berbeda arah dan tujuan.
“Tak semestinya cinta kita berakhir seperti ini,” kataku.
“Saat hujan berhenti, tak ada lagi kita.”
Haruskah kucari alasan untuk berhenti mencintai, sementara mencintaimu tak butuh alasan, melainkan ketulusan. Garis tipis antara gulita dan cahaya melukiskan langit mendung tak disinari pancaran mahatari. Semoga ada pelangi setelah hujan.


You May Also Like

3 komentar

  1. Beehhh. Dalem, Bang. Pembacanya terhanyut. :))
    Eh iya, ada beberapa typo itu, hehe.

    BalasHapus
  2. Dalem bang, rada miris bacanya. Andaikan gue sendiri yang berada di posisi karakter di postingan itu. Ppppffttt..

    BalasHapus
  3. kena banget bang, sepertinya ini kisah saya

    BalasHapus