Hidup Ernest di Layar Lebar; Ngenest!

by - 11.29



Kita tidak bisa memilih berasal dari mana kita dilahirkan, kalimat narasi pembuka film yang cukup engage buat penonton. Film Ngenest besutan Ernest Prakarsa sebagai sutradara sekaligus penulis cerita ini patut diawasi. Pasalnya bukan saja bertabur komedi di mana-mana, tapi juga sarat akan makna dan perenungan. Ernest memulai plot cerita secara kronologis dari kecil-sampai dewasa. Tidak menghadirkan pemain-pemain cantik bintang lima, tapi film Ngenest rupanya bergaransi membuat penonton tertawa.

Bagusnya, film ini memberikan ruang improvisasi terhadap semua pemain; baik pemeran utama maupun pemeran pendukung. Setiap kehadiran pemain selalu memberikan dampak pada cerita maupun menguatkan karakter tokoh utama. Hasilnya, jokes padat dan nyaris hadir di setiap lima menit selama film berjalan.
Ernest sebagai sutradara paham betul, pemain yang juga rata-rata komika tentu punya sense humor sehingga keterlibatan mereka dibebaskan untuk berekspresi—tentu saja berdasarakan arahan dan skenario.
Dari sisi cerita plot mengalir dan rapi. Terlihat eskalasi konflik didasarkan pada keputusan tokoh utama. Tidak ada kebetulan dan ujug-ujug. Semua step cerita terbentuk karena aksi-reaksi.
Ernest kecil dibully lalu mencari cara keluar dari masalah ini dengan berteman dengan pembully. Ernest Cina ingin keluar dari masalah Cina dengan menikahi pribumi. Setelah menikah masalahnya anaknya bakal mirip Ernest apa Meira. Setiap masalah yang terjawab melahirkan masalah baru. Sehingga filosofi Tokai jadi solusi yang tak terbantahkan.
Keputusan Ernest yang menunda momongan dianggap sebagai pemantik konflik utama. Lalu situasi meningkat ketika Meira depresi melihat banyak pertanyaan dan desakan. Kontrasnya bertemu saat Patrick merayakan anniversary dan Ernest memberikan kado. Di situ Ernest dan Patrick “boy talk” soal pernikahan masing-masing. Keduanya sama-sama belum dikaruni anak. Patrick bilang, “sudah cek dokter sih, katanya bagus tapi mungkin belum dikasih aja,” kalimat ini sebenarnya dot yang akan mengait di scene yang lain.
Ketika Meira hamil besar dan butuh kehadiran Ernest, cerita membuat penonton marah dan menyalahkan Ernest yang justru kabur dari kenyataan. Ernest kehilangan fokus, mengabaikan tugas pekerjaan, bahkan berbuntut kecelakaan. Tempo ketegangan meningkat ketika Meira tak berhasil menghubungi Ernest setelah itu. Patrick yang mengetahui di mana sahabatnya itu bersembunyi menemuinya di markas; gedung kosong. Di situlah dot kontras keduanya diperlihatkan.
Gue suka secara ceritanya karena berstruktur. Kehadiran turning point dan eskalasi konflik disusun dengan baik. Bahkan resolusi yang dihadirkan sangat aman dan membahagiakan penonton.  
Dari sisi gambar meski diakui banyak shot yang biasa saja, tapi gue menemukan transisi gambar sudah bercerita. Sebut saja ketika Patrick bilang, “nunggu apalagi, istri lo keburu tua dan keriput,” setelah kata keriput, gambar berganti dengan dodol cina yang terlihat keriput. Jelas, ini adalah kelebihan film yang ikut bernarasi secara visual lewat gambar. Kemudian ketika rasa depresi Meira melihat ketidaksiapan Ernest dan marah keluar dari mobil pulang naik bajaj. Meira terduduk di kamar yang dipersiapkan untuk sang buah hati, gambar landscap bangunan kota di malam hari yang meredup kemudian berganti dengan raut muka Meira yang bersedih, menggambarkan kelamnya rumah tangga keduanya.
Tapi, gue melihat beberapa scene yang ‘bocor’ dalam layar. Misalnya ketika pertama kalinya Ernest bertamu ke rumah Meira. Meira menyuruh Ernest minum, “diminum tehnya” tapi terlihat jelas isi gelas Ernest adalah air putih. Lalu gambar shot Bandung ketika transisi Ernest kuliah, gambar diambil di kawasan Braga tampak logo HUT RI ke-70 menempel di kaca. Hal ini sebenarnya miss minor, mungkin penonton yang jeli yang dapat menemukannya.
Selain itu yang terasa kurang adalah tokoh bapaknya Ernest di awal film, terlihat sekali itu adalah Ernest hanya dibikin seperti kebapak-bapakan ditambah wig dan kumis tipis. Kemudian saat Ernes parno soal kehadiran bayi di mimpi pertama, dokter kandungan menggendong bayi yang rupanya mirip Ernest. Tapi dokter kandungan yang memakai masker itu adalah Acho. Pada kenyataanya dokter kandungan yang membantu persalinan Meira juga Acho. Mimpi dan kenyataan sama; apa Ernest punya penglihatan di masa depan. Bagian ini menjadi kurang realistis.
Penampilan yang patut diacungi jempol layak disematkan kepada duet maut Adjis Doaibu dan Awwe meski sebagai pemeran pendukung kedua tokoh ini jaminan bikin ketawa. Celetukan, reaksi, bahkan raut muka keduanya apa adanya yang justru terlihat sangat lucu. Kemudian acting Acho sebagai dokter kandungan dengan logat Makassar juga dirasa pas dan kental. Acho cocok ketika bicara aksen bugis.  Gue ikut “nggak percaya” Acho bisa begitu natural memerankannya.
Ernest berhasil menyingkirkan stereotipe Cina menjadi tontonan yang menghibur dan kontemplatif. Sebagai film pertama, ‘Ngenest’ menjadi torehan yang membanggakan. Selamat kepada Ernest Prakarsa, film Ngenest sebagai salah bukti Cina juga akan merambah menduduki perfilman Indonesia.

You May Also Like

1 komentar

  1. Film Single bagus dan cukup bikin gue ketawa. Tapi, film ngenest jauh lebih bikin gue ketawa. Film ini emang lucu banget Bang. Haha

    BalasHapus