Hidup Ernest di Layar Lebar; Ngenest!
Kita tidak bisa memilih berasal dari mana kita dilahirkan,
kalimat narasi pembuka film yang cukup engage buat penonton. Film Ngenest
besutan Ernest Prakarsa sebagai sutradara sekaligus penulis cerita ini patut
diawasi. Pasalnya bukan saja bertabur komedi di mana-mana, tapi juga sarat akan
makna dan perenungan. Ernest memulai plot cerita secara kronologis dari kecil-sampai
dewasa. Tidak menghadirkan pemain-pemain cantik bintang lima, tapi film Ngenest
rupanya bergaransi membuat penonton tertawa.
Bagusnya, film ini memberikan ruang improvisasi terhadap
semua pemain; baik pemeran utama maupun pemeran pendukung. Setiap kehadiran
pemain selalu memberikan dampak pada cerita maupun menguatkan karakter tokoh
utama. Hasilnya, jokes padat dan nyaris hadir di setiap lima menit selama film
berjalan.
Ernest sebagai sutradara paham betul, pemain yang juga
rata-rata komika tentu punya sense humor sehingga keterlibatan mereka
dibebaskan untuk berekspresi—tentu saja berdasarakan arahan dan skenario.
Dari sisi cerita plot mengalir dan rapi. Terlihat eskalasi
konflik didasarkan pada keputusan tokoh utama. Tidak ada kebetulan dan
ujug-ujug. Semua step cerita terbentuk karena aksi-reaksi.
Ernest kecil dibully lalu mencari cara keluar dari masalah
ini dengan berteman dengan pembully. Ernest Cina ingin keluar dari masalah Cina
dengan menikahi pribumi. Setelah menikah masalahnya anaknya bakal mirip Ernest
apa Meira. Setiap masalah yang terjawab melahirkan masalah baru. Sehingga
filosofi Tokai jadi solusi yang tak terbantahkan.
Keputusan Ernest yang menunda momongan dianggap sebagai
pemantik konflik utama. Lalu situasi meningkat ketika Meira depresi melihat
banyak pertanyaan dan desakan. Kontrasnya bertemu saat Patrick merayakan
anniversary dan Ernest memberikan kado. Di situ Ernest dan Patrick “boy talk”
soal pernikahan masing-masing. Keduanya sama-sama belum dikaruni anak. Patrick
bilang, “sudah cek dokter sih, katanya bagus tapi mungkin belum dikasih aja,”
kalimat ini sebenarnya dot yang akan mengait di scene yang lain.
Ketika Meira hamil besar dan butuh kehadiran Ernest, cerita
membuat penonton marah dan menyalahkan Ernest yang justru kabur dari kenyataan.
Ernest kehilangan fokus, mengabaikan tugas pekerjaan, bahkan berbuntut
kecelakaan. Tempo ketegangan meningkat ketika Meira tak berhasil menghubungi
Ernest setelah itu. Patrick yang mengetahui di mana sahabatnya itu bersembunyi
menemuinya di markas; gedung kosong. Di situlah dot kontras keduanya
diperlihatkan.
Gue suka secara ceritanya karena berstruktur. Kehadiran turning
point dan eskalasi konflik disusun dengan baik. Bahkan resolusi yang dihadirkan
sangat aman dan membahagiakan penonton.
Dari sisi gambar meski diakui banyak shot yang biasa saja,
tapi gue menemukan transisi gambar sudah bercerita. Sebut saja ketika Patrick
bilang, “nunggu apalagi, istri lo keburu tua dan keriput,” setelah kata
keriput, gambar berganti dengan dodol cina yang terlihat keriput. Jelas, ini
adalah kelebihan film yang ikut bernarasi secara visual lewat gambar. Kemudian
ketika rasa depresi Meira melihat ketidaksiapan Ernest dan marah keluar dari
mobil pulang naik bajaj. Meira terduduk di kamar yang dipersiapkan untuk sang
buah hati, gambar landscap bangunan kota di malam hari yang meredup kemudian
berganti dengan raut muka Meira yang bersedih, menggambarkan kelamnya rumah
tangga keduanya.
Tapi, gue melihat beberapa scene yang ‘bocor’ dalam layar.
Misalnya ketika pertama kalinya Ernest bertamu ke rumah Meira. Meira menyuruh
Ernest minum, “diminum tehnya” tapi terlihat jelas isi gelas Ernest adalah air
putih. Lalu gambar shot Bandung ketika transisi Ernest kuliah, gambar diambil
di kawasan Braga tampak logo HUT RI ke-70 menempel di kaca. Hal ini sebenarnya
miss minor, mungkin penonton yang jeli yang dapat menemukannya.
Selain itu yang terasa kurang adalah tokoh bapaknya Ernest
di awal film, terlihat sekali itu adalah Ernest hanya dibikin seperti
kebapak-bapakan ditambah wig dan kumis tipis. Kemudian saat Ernes parno soal
kehadiran bayi di mimpi pertama, dokter kandungan menggendong bayi yang rupanya
mirip Ernest. Tapi dokter kandungan yang memakai masker itu adalah Acho. Pada
kenyataanya dokter kandungan yang membantu persalinan Meira juga Acho. Mimpi
dan kenyataan sama; apa Ernest punya penglihatan di masa depan. Bagian ini
menjadi kurang realistis.
Penampilan yang patut diacungi jempol layak disematkan
kepada duet maut Adjis Doaibu dan Awwe meski sebagai pemeran pendukung kedua
tokoh ini jaminan bikin ketawa. Celetukan, reaksi, bahkan raut muka keduanya
apa adanya yang justru terlihat sangat lucu. Kemudian acting Acho sebagai
dokter kandungan dengan logat Makassar juga dirasa pas dan kental. Acho cocok ketika
bicara aksen bugis. Gue ikut “nggak
percaya” Acho bisa begitu natural memerankannya.
Ernest berhasil menyingkirkan stereotipe Cina menjadi
tontonan yang menghibur dan kontemplatif. Sebagai film pertama, ‘Ngenest’
menjadi torehan yang membanggakan. Selamat kepada Ernest Prakarsa, film Ngenest
sebagai salah bukti Cina juga akan merambah menduduki perfilman Indonesia.
1 komentar
Film Single bagus dan cukup bikin gue ketawa. Tapi, film ngenest jauh lebih bikin gue ketawa. Film ini emang lucu banget Bang. Haha
BalasHapus