Moammar Emka's Jakarta Undercover: Sex Supermarket?
“Untuk pertama kalinya aku
berkenalan dengan wajah-wajah Jakarta yang tidak pernah kulihat sebelumnya”
Narasi yang cukup mengikat ketika
menonton trailer Jakarta Undercover. Film dari buku Moeammar Emka ini bukan
saja menarik tapi menyuguhkan potret realita wajah Jakarta yang humanis. Meski
dibalut dengan ingar-bingar kehidupan malam tidak serta merta membuat film ini
telanjang secara artifisial. Secara plot film ini memang seolah-olah
menelanjangi kehidupan glamour-nya ibu kota. Tapi, acapkali kita luput untuk
menyoroti hal yang selama ini enggan untuk diungkap. Bukan saja sebagai penikmat,
tapi mampu menelusuri lebih dalam mata rantai bisnis hiburan dari pelaku,
pemasok, bahkan faktor pendukungnya
Film garapan sutradara Fajar
Nugros ini mampu menampilkan sisi Jakarta yang berbeda. Pesan yang subtil dan
transisi shoot yang cantik. Bahkan, film ini naratif secara visual. Semua
elemen dalam frame jadi signifikan; dari main cast, cameo, bahkan figuran.
Menjadikan film ini terasa real. Set yang aesthetic dan memang sesuai kebutuhan
cerita. Di mana banyak tempat-tempat yang asing kita jamah tapi cukup
meyakinkan. Dari acting pemain cukup menjanjikan. Film ini memberikan garansi
kualitas acting dari sekelas Baim Wong yang luput dari perhatian kita. Ganindra
Bimo bermain sangat baik mengundang decak kagum begitu total memerankan awing.
Oka sebagai Pras tampil sesuai proporsi karakternya pun cukup membuat saya
bertepuk tangan. Sense sang sutradara dalam menerjemahkan narasi Mas Emka menjadi visual
mampu terwakili dengan baik. Tak ada yang dilebih-lebihkan. Selain itu DJ Tiara
Eve yang bermain sebagai Laura memberikan sumbangsih yang penting di film
ini memerankan karakter PSK. Ada Nikita Mirzani yang juga memberikan fakta berbeda soal dunia prostitusi.
Cerita begitu dramatis. Tumpang
tindih antara kebutuhan dan keinginan. Dilematis antara cita-cita dan persahabatan.
Pras (Oka Antara) seorang pemuda yang merantau ke Jakarta demi mimpi jadi
wartawan harus ikut terseret dinamika bisnis hiburan. Namun, hal itulah yang
menjadi sumbu cerita di mana Pras merasa dirinya bisa jadi signifikan.
Sementara, teman satu kos yang bernama Awing justru menjadi plot poin dari
setiap fase dari film ini. Pras yang terinspirasi dari Djarwo, wartawan senior (Lukman
Sardi) yang merekrutnya berjuang untuk pembuktian diri. Awinglah yang membawa
Pras masuk di circle bisnis hiburan bersama Yoga—Bandar pesta Ibukota. Namun,
dia harus bergelut dengan gejolak batin antara memilih kesetiaan tau kariernya.
Tentu saja, supply dan demand
jadi penentu berputarnya roda bisnis yang dijalankan Yoga. Baik dari drugs
(obat-obatan terlarang) maupun wanitanya. Dia pun mendapatkan asupan teman
kencan dari Mama San, yang sangat baik diperankan oleh Agus Kuntjoro.
Jujur, banyak sekali adegan
sensual. Nyatanya bukan dorongan nafsu yang timbul, tapi kita seperti disajikan
lukisan yang realis. Indah. Bentuknya menjadi sebuah kekaguman penuh rasa syukur. Karena kita dipaksa
untuk fokus pada cerita. Bukan pada elemen seksi, vulgar, dan pornografi. Saya cukup khidmat dan khusyuk pada aksi pemain. Scene demi scene yang membuat mata kita awas
terjaga mengikuti alur cerita. Dialog yang terjahit rapi, dibantu transisi
gambar yang dinamis. Pengambilan angle shoot pada beberapa set yang cukup bikin
geleng-geleng kepala. Pesta yang tak pernah usai. Digelar dalam berbagai
dimensi dan model.
Saya tidak akan banyak
membocorkan point penting dari cerita film ini. Banyak scene favorit yang bisa
saya tandai. Dialog Yoga dan Pras sedang menonton wanita bergoyang. Dialog
Awing dan Pras pulang usai pesta dini hari melewati lorong gang sempit masih
dalam kondisi mabuk. Set perjamuan yang berkelas makan sushi dengan pengalaman tak terbayangkan di rooftop. Dan, masih banyak yang lainnya.
Meski kental dengan drama, film
ini nyatanya tetap memancing saya untuk tertawa. Banyak sekali bahan yang bisa
ditertawakan dalam Jakarta Undercover.
Keseluruhan isi bahkan sebenarnya tercermin dari sosok orang gila di depan mini
market tempat Pras dan Laura sering janjian bertemu. Orang “gila” dalam tanda
petik, ambisi orang-orang di Jakarta yang harus bergelut antara kepentingan
atau kesetiakawanan.
Pergesekan nilai ini jadi bumbu
utama dalam cerita. Di mana arti sahabat menjadi dipertanyakan. Kalau setiap
orang berusaha mengejar “mimpi & cita-cita” di Jakarta, lantas kepada siapa
kita menggantungkan hidup? Lalu apa yang harus kita lakukan untuk menjadi
signifikan? Saya baru melihat “anjing” dilafalkan dengan begitu fasih dan mendengar
“kangen” diungkapkan dengan ledakan emosi yang dalam.
Sebenarnya film ini justru membuat
saya sadar, Jakarta membuat saya berkenalan dengan wajah-wajah Jakarta yang
tidak pernah kulihat sebelumnya. Kalau kamu mau berkenalan, nonton film Jakarta
Undercover! Mungkin kamu akan melihat wajah-wajah yang sebenarnya tak asing, malah ada di sekitar kita…
0 komentar