wild thoughts

by - 18.53


aku tidak menyangka bakal separah ini, bahkan lebih parah. Aku mulai menjauh dari keramaian dan mengurung diri di kamar. Mematikan lampu. Dan mengumpulkan barang-barang aneh, apa saja. Aku memang tertutup, bahkan mungkin tertekan. Tapi aku tidak pernah benar-benar menyanggupi masalah itu. Bahkan aku bisa memaki-maki orang lewat sebuah surat dan menuduhnya telah menyadap dan memasang kamera cctv sehingga aku merasa selalu diintai. Saat tengah malam aku berjalan sendiri dengan gontai menyusuri jalanan setapak dan lorong-lorong gelap yang becek tergenang air hujan. Kemudian aku pulang hampir pagi dengan mata lesu dan sayu. Aku merasa tidak ada lagi orang yang bisa kupercaya. Sekalinya kubuka rahasia itu pada seseorang, ternyata dia tidak bisa menjaga dan menyimpanya. Aku tidak suka orang lain mengetahuinya, terlebih ikut mencampuri urusanku, peduli apa. Kau tidak perlu bersusah payah membantuku, aku cukup kuat untuk berdiri dan bertahan. Semua orang memang seperti itu, tidak bisa memegang kepercayaan, padahal aku sudah sepenuhnya memberikan hal itu. Ternyata pengkhianatan lebih menyakitkan daripada sekedar tidak menepati janji. Aku merasa kesepian dalam keramaian. Aku tidak tahu pasti, inginku sendiri, dan melenyapkan semua orang yang membuatku seperti ini. Aku mulai akrab dengan kucing dan banyak kuhabiskan waktu bersamanya, kucing itu manis dan manja, dia terkadang menggeliat dan menyandarkan tubuhnya pada kaki dan aku akan merasa kegelian saat ekornya membelai telapak kakiku. Walaupun cakarnya tajam tapi dia tidak benar-benar menggunakannya jika tidak diperlukan. Dia bisa menjadi sangat manis dan manja saat suasana hatinya tenang namun bisa menjadi seekor kucing yang liar dan beringas jika ada makhluk lain yang mengancam termasuk kucing yang lain. Tapi aku bukan kucing, aku tidak punya cakar, dan aku tidak bisa bersandar pada kaki orang lain. Aku harus berdiri dengan kakiku sendiri. Walaupun ada orang lain yang mengancamku aku tidak bisa berbuat apa-apa selain menyembunyikan sebilah pisau di balik punggungku, tapi tidak pernah kulakan. Andai saja aku bisa mengeluarkan cakar dari kesepuluh jariku mungkin aku bisa merobek mukanya dengan senang. Pintu kamar kukunci. Lampu kupadamkan. Kipas angin kubiarkan berputar-putar. Handphone genggam kunyalakan, tapi kubiarkan tergeletak walaupun ada seseorang memanggil-manggil di seberang. Biarkan saja, aku tidak ingin bicara. Aku ingin diam dan menekuri kertas putih yang kosong. Kemudian aku mengambil kuas tipis yang panjang dan beberapa warna cat air yang terbungkus seperti pasta gigi. Kutuangkan warna merah, merah menyala, bukan seperti api, tapi lebih mirip lahar dingin yang meleleh dari kawah gunung, tentunya sangat panas dan mendidih. Aku suka. Kucelupkan saja ujung kuas dengan cepat dan aku mulai membuat garis, asal garis. Tidak lurus, kubuat meliuk-liku. Aku mulai menikmati, tapi mataku semakin buram. Cahaya mentari tidak masuk karena tirai tidak kusibakkan. Biarkan saja kegelapan menyelimuti, karena merah ini akan menyala dan menjadi terang. Tiba-tiba aku kesal, kuas itu kuhentak-hentak menimbulkan cipratan merah yang menawan, kemudian aku coret-coret sembarang, benar-benar berantakan. Tapi ada nuansa abstrak dengan garis tegas dan kuat. Aku lempar kertas itu. Aku seperti melihat bayangan hitam bersayap dilangit-langit, kemudian aku merapat ke belakang menyandar dinding, memeluk lutut dan gemetar. Aku menangis hebat, mataku deras bercucuran, kemudian meraung-raung dan menarik-narik apa saja. Seprai itu hingga sobek dan ujungnya merah tertimpa cat. Noda itu seperti darah. Lalu aku muntah, perutku mual dan seperti dikocok-kocok. Kubuka pintu dan pergi ke wastafel. Air itu kubiarkan mengucur dan sedikitnya kuminum setelah kedua telapak tanganku berimpitan membentuk mangkok. Kepalaku sengaja kucelupkan, otakku berasap, jadi kurendam saja. Tiba-tiba ada tangan yang menahanku, aku tersedak. Tangan itu memaksa kepalaku semakin masuk ke dalam air. Air memenuhi rongga dadaku, lubang hidungku. Nafasku mulai tersengal, kemudian rasa perih menjalari mataku. Kupejam tapi air telah memenuhi saluran hidung. Pusing mulai terasa. Kemudian aku berteriak, sekencang-kencangnya. Suaraku parau terendam air. Pita suaraku pecah terbelah sendiri. Air mulai membasahi gendang telinga, aku tidak bisa mendengar kecuali riak air dari kran yang terbuka. Kuangkat wajahku memaksa, tak ada tangan yang memegang. Aku mulai mengatur nafas, mataku berair. Aku pergi dari kamar dan menuju halaman bebas. Aku seperti terperangkap dalam ruangan dan memilih keluar. Menghirup udara bebas dan membuka mata selebar-lebarnya. Barangkali aku harus pergi jauh. Bayang-bayang bersayap itu mulai mengikutiku. Entahlah, aku hanya ingin menjauh, menjauh dari sekat-sekat yang membatasi gerakku. Andai saja tidak ada yang melingkupi diriku dan bisa mengabaikan ocehan semua orang, aku akan bertelanjang dada dan menari, aku suka menari karena akan sangat terasa bebas. Bahwa secara alamiah aku mampu bergerak dan meliuk-liuk kemudian berputar. Lalu tanpa malu berguling-guling di taman dan kubayangkan adalah kasur empuk yang terhampar. Sangat nyaman dan terik matahari itu akan memaksa keringatku bercucuran. Seluruh tubuhku mandi keringat dan kulit mulai terbakar kecoklatan, lama-lama orang lain tidak mengenaliku. Aku berlari sejauh kakiku terbentang. Aku melompat seperti katak yang baru belajar melompat. Kaki menghempas jalan dan debu beterbangan. Kini tubuhku penuh dengan debu karena jalanan begitu berdebu. Aku ingin menjadi debu yang diterbangkan angin sehingga dengan mudah hinggap di tempat yang kusukai, kemudian aku melekat dengan permukaan dan aku menjadi bagian darinya. Aku bisa berkembang biak dengan mudah dan bersembunyi sesukaku. Jalanan berbatu menghambat jalanku, aku tidak bisa menari dengan keadaan tanah seperti ini. Aku tidak melihat pohon tapi aku ingin memanjat, meraih dahan dan ranting lalu kutunggangi seperti kuda dan kubangun rumah di atasnya. Aku tidak bisa berjalan jauh lagi karena tenagaku mulai habis, persediaan makanan dalam tubuhku mulai menipis dan aku merasakan lapar yang melilit. aku bisa menahan pikiranku tapi tidak untuk masalah yang satu ini. Aku meronta-ronta sambil memegangi perut. Lambungku bergetar. Mungkin gara-gara muntah sehingga perutku kosong. Aku tidak suka muntah, karena muntahannya sangat menjijikan. Tidak sampai hati aku membuang isi perutku, tapi untuk melihat saja aku tidak ingin, karena aku akan muntah lagi dan perutku semakin mual. Aku tidak ingin menghisap darah seperti pemakai narkotika yang kecanduan. Kemudian mengikat lengan dengan ikat pinggang dan menariknya dengan gigi kuat-kuat, satu sayatan pisau tipis mengucurkan darah dan diisap dengan penuh nafsu, kemudian tubuh menggelepar seperti ikan terdampar. Aku menemukan rerumputan, tapi tidak berselera kumakan, karena itu makanan kambing dan aku tidak setega itu memakan jatah makan kambing. Dalam lapangan terbuka seperti ini bayang-bayang bersayap tidak akan menampakkan dirinya. Karena sinar matahari bisa melepuhkan seluruh tubuhnya. Melewati jembatan yang tinggi membuatku berfikir untuk meloncat, dan terjun dengan penuh semangat. Air sungai dibawahnya jernih dan aku bisa minum sepuasnya. Aku bisa mencari ikan disana. Menuruni tangga dan batu-batu sungai itu membuatku berhati-hati berjalan, sedikit saja lengah aku akan terjatuh dan sekujur tubuh akan basah dan bisa-bisa terbawa arus yang deras. Aku tidak melihat ikan, aku ingin sekali melihatnya. Ikan tawar sangat bergairah sehingga berenang dengan cepat dan menghilang. Aku berani bertaruh jika seseorang bisa menangkapnya dengan tangan maka aku akan mencoba ratusan kali untuk itu. Aku tidak tahan lagi karena ingin pingsan, dan seluruh tubuhku lemas. Aku harus memilih tempat yang nyaman untuk pingsan, kalau aku pingsan di tepi sungai maka aku akan tercebur dan tenggelam bersama ikan-ikan yang mengerumuniku. Matahari semakin terik dan aku kehilangan keseimbangan. Aku roboh di tanah kering. Bunyinya berdebam sehingga menerbangkan debu di sekitarnya. Semoga ada yang menemukanku. Oh tidak, aku tidak ingin ditemukan, aku ingin bangkit dengan sendirinya dengan keadaan pusing dan lemas. Tidak ingin disangka mayat yang terbuang. Semua akan mengira bahwa aku korban tindak kriminal. Atau orang gila yang tidak menemukan jalan pulang. aku harus kuat, mataku mulai terlihat gelap untuk terbuka. Meraba-raba sesuatu yang bisa kupegang dan membantuku berdiri. Tapi tidak ada, aku melihat kaki, kaki seseorang dengan banyak bulu di betisnya memakai celana pendek yang lebar. Aku tidak sempat melihat mukanya karena terlalu tinggi. Dan aku diangkatnya perlahan sambil mengulurkan dengan susu ditanganya. Menawarkan. Tapi lebih tepat memberikannya padaku dengan cuma-cuma. Padahal aku tidak ingin, tapi kukira cukup untuk mengganjal perutku. Kuterima, terpaksa. Benar-benar terpaksa sambil memalingkan muka, kuminum susunya dan aku mulai membersihkan debu-debu yang menempel. Dia memegang tanganku, tentu aku sangat tidak suka. Aku melawan dan memberontak. Tapi dia malah mengenggamku sangat kuat seakan tidak ingin aku mengambil kesempatan untuk berlari. Semakin aku meronta semakin kuat cengkeramannya, apa yag dia pikirkan. Jelas-jelas aku tidak suka dengan tindakannya padaku. Ternyata kebaikan hatinya mempunyai niat buruk yang tersembunyi. Dia mau melukaiku, atau jangan-jangan mendoaiku. Pikiran buruk mulai menyesaki otakku, bayang-bayang mengerikan menjejali isi kepalaku dan tentu aku sangat ketakutan. Mataku melotot dan aku melolong seperti serigala kesakitan. Aku mulai menarik-narik dan memaksa melepaskan genggamannya. Aku terpaksa menggigitnya, sampai biru bahkan sedikit berdarah. Kesempatan itu kuambil untuk berlari dan melemparkan botol kosong bekas susu tepat mengenai dadanya. Aku berlari sebisa mungkin menghilang dari pandangannya jika bersembunyi mungkin aroma tubuhku masih bisa tercium dan dengan mudah aku bisa ditemukan. Dia akan sangat senang menganiayaku, aku tidak ingin. Pelarian sungguh melelahkan dan aku tidak mau lagi berlari. Lebih baik berjalan dan sesekali duduk di tepi jalan. Aku ingin pulang dan segera tidur setelah menghabiskan makan. Semoga makanan masih tersisa di meja dan aku bisa melahapnya dengan puas. Tapi langkahku terasa berat dan aku tida bisa menahannya lagi lebih lama. Persendianku sakit dan lapar itu mulai mengancam. Aku kehabisan akal untuk mengalihkan perhatianku menuju pandangan yang lain. Karena tetap saja lapar itu menderaku habis-habisan.

You May Also Like

0 komentar