Aku terjatuh dan tak bisa bangun lagi. Ketika air mata mulai mengering di dasar hatiku. Tak ada yang tersisa kecuali dahaga dan rindu yang tak menentu. Tak ada arah jalan pulang. Tersesat dalam ruang hampa tak bersudut. Jika nanti, ada kesempatan membawaku kembali pada cinta yang sama. aku ingin kembali pada keyakinanku. Karena cinta telah menghabiskan percayaku tentang kesetiaan. Tentang waktu yang membuatku bertahan. Suatu ketika terkenang kembali aroma tubuhmu yang tercium samar-samar tak bisa...
Aku tahu, di sudut kecil hatimu masih kulihat pelita kecil yang menyala bergoyang. Aku tahu, diam-diam kutitipkan salam rindu yang kuhembuskan bersama angin setiap hela nafasku. Menyebut bilangan angka yang tak terhitung sejak pertemuan denganmu. Seketika perpisahan menjadi jawaban setiap keraguanku. Mataku menghangat dan bulir bening melelehi pipi. Dari bibir kering yang kemudian basah saat kukecup mengalirkan hangatnya debur dada dan jantung yang menyatu dengan perasaan cinta yang meletup. Letupan itu kini tak terasa lagi...
Tak kutunggu senja kembali, secercah harapan kosong mulai sirna. Lampu kota mulai temaram dan petang kini semakin muram. Jika aku menjadi orang lain untuk belajar mencari cara bagaimana menjadi diri sendiri. Seringkali aku tersesat di antara pertanyaan yang tak kutemui jawabnya. Setelah sekian lama meniti lembar bersama, aku masih ingat untuk pertama kalinya jantungku berdetak lebih cepat. Saat aku berniat untuk memanggilmu, dari seberang gagang telpon. Bertanya padamu, tentang kabar, tentang kamu. Kini, aku harus...
Tak terhitung berapa kali terbersit bayang wajahmu melintas di benakku, tak terukur jauh jarak untuk menggapaimu lagi. Aku kehilanganmu, itu cukup membuatku sedih menumpahkan air mata. Bukan saja semalam, waktu-waktu berganti dalam sekejap mata dan aku tidak bisa lari dari kesedihan. Selalu saja, kenangan seperti memutar waktu dan menampilkan seluruh adegan bersamamu. Saat itu, aku hanya bisa tersenyum. Kemudian waktu kembali merampas menjadi kepedihan hati yang tak terelakkan. Kau pergi, tak mampu membuat mataku melihat....
Semalam, aku jatuh terkulai bersimbah air mata. Memimpikanmu bersama orang lain dan aku tak bisa berbuat apa-apa selain merasakan mimpi seperti nyata. Waktu berjalan lambat dan aku tak bisa mempercepatnya seperti tiupan angin. Sementara, tetes embun dimataku basah mengalir cepat tak terhadang. Aku tak bisa membedakannya lagi. Bagiku mimpi dan nyata sama terasa menyakitkan. Kau pun pergi, bukan saja dalam hidupku. Kau juga pergi bahkan dari mimpiku, menghapus segala kenangan yang tersisa. Aku tak tahu...
Menunggu pagi. Akankah hujan masih terasa sama, miris diantara gerimis. Aku tak bisa mengabaikan keresahanku karena terbangun memimpikanmu. Sesaat, masa dapat terhapus. Akan tetapi kenangan begitu kuat tergambar di setiap malamku. Kemana harus kupergi jauh melangkahkan kaki, sedang jejak bayangmu masih tercetak jelas di sepanjang jalan. Menantikan pagi, yang habis perlahan bersama sisa keresahan. Aku hanya bisa bercumbu dengan bibir cangkir segelas kopi. Membayangkanmu, menikmati kehangatan yang tak bisa terulang. Seteguk, lalu habis. Tak ada...