Diberdayakan oleh Blogger.

Professional Time Waster

Udara ibu kota tercemar polusi ketika pedagang gemblong mangkal di tempat biasa. Karbon monoksida bercampur di udara. Bising deru kendaraan yang bergegas saling menyalakan klakson. Di tengah hiruk pikuk klakson dan padatnya jalanan protocol Jakarta, terjadi sebuah kecelakaan. Seorang bapak yang pulang dari rutinitas bekerja, mobilnya tak sengaja menyenggol motor yang melaju kencang. Begitu mobil bapak itu menyenggol, motor langsung tak terkendali dan jatuh. Seorang anak yang kebetulan tak memakai helm itu tersungkur dan kepalanya menghantam bahu jalan. Darah merah langsung tercecer di tepi jalan.
Sore hari yang macet itu, seorang anak terkapar di tengah jalan. Pelipis kanannya berdarah. Tak ada yang mengenali anak kecil itu. Pakaian lusuh dan celana pendek yang dikenakannya tampak kumal. Dilihat lebih dekat, celana itu adalah seragam sekolah. Tak jauh dari anak kecil terkapar, teronggok sepeda motor. Sebelahnya mobil mewah terparkir begitu saja. Kemudian tergesa-gesa bapak-bapak berpakaian kemeja rapi dan berdasi keluar dari mobil mewah itu. Tangan kanannya masih menggenggam gemblong. Dengan raut pucat pasi dan keringat dingin bapak itu mendekati anak yang terkapar. Anak itu lemah tak berdaya. Dia tak sadarkan diri. Motor yang berada tak jauh darinya terlihat rusak parah. Bahkan stang kemudinya bengkok. Bapak itu langsung terduduk dengan perasaan kacau.
Dia tak mengira anak itu sudah tak sadarkan diri. Suara klakson mobil di sekitarnya semakin membuatnya cemas. Dalam perjalanan pulang seperti ini kemacetan memang tak terhindari. Tapi, siapa sangka melaju sepeda motor yang menerobos dan menyalip di antara sela-sela padatnya mobil. Menyedihkan, bapak itu masih ingat detik-detik sebelum bumper depan mobilnya menyenggol motor yang membuat oleng dan jatuh. Dengan panik, dia mengeluarkan handphone untuk melakukan panggilan darurat panggilan ambulance. Tetapi, di tengah kemacetan seperti ini tak mungkin bantuan segera datang.
Siapa sangka, anak kecil yang terkapar dan berdarah di pelipis kanannya adalah seseorang yang sangat ia cintai. Padahal, baru kemarin rasanya bapak itu menghabiskan waktu bersama anaknya sendiri. Baru kemarin, tepat di akhir pekan bapak itu menghadiahinya sepeda motor. Bahkan, dia rela membatalkan janji meeting besar perusahaanya demi bertemu anaknya yang baru naik kelas. Tak ada yang tahu, gemblong di tanganya masih tergenggam. Tak jauh dari kemacetan itu, tukang gemblong masih berjualan seperti biasa. Tak ada yang tahu gemblong yang dimakan bapak itu, tercemar polusi. Gemblong yang dimakan mengakibatkan daya konsentrasi bapak menurun dan memicu kecelakaan tunggal sore ini.
Ternyata, tak ada yang tahu gula yang dipakai untuk membuat gemblong adalah gula kimia yang berbahaya. Tak ada yang tahu cinta yang begitu besar tak mampu mencegah datangnya kematian dan celaka.


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Terakhir yang kuingat adalah genggaman tanganmu, kilatan basah di matamu. Saat, aku tahu kau akan pergi tanpa meninggalkan pelukan.  Kau begitu ketakutan, menaiki wahana ini. Aku menggenggam tanganmu erat. Kau bilang akan pergi jauh, sehingga aku ingin hari pertemuan terakhir kita begitu berkesan.
“Aku takut ketinggian.”
“Aku jauh lebih takut kehilanganmu.”
“Kenapa kau mengajakku ke sini?”
“Agar kamu tahu seberapa besar ketakutanku kehilanganmu.”
Kau bilang, akan kuliah di luar negeri. Dari puncak bianglala aku bisa melihat pemandangan kota. Aku bisa melihat resah yang menggelayut di parasmu. Dan seolah luka menanti di depan mata. Aku mendekatkan diri dan merapatkan bibir untuk mengecup keningmu. Aku tak ingin dilupakan.
Begitu berada di puncak, kau terkejut setangah mati. Debar itu terasa begitu tanganku menyentuh lehermu.
“Kelak, kamu akan tahu begitu beratnya merindukanmu.”
Mungkin aku tidak akan mendapat pelukan, tapi aku akan mengecupmu lebih lama, sampai wahana ini berhenti. Atau detak jantungku berhenti.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Sebut saja Supri, dia sangat mencintai Ningsih. Setelah dua tahun berpacaran rupanya kantor menugaskan dinas keluar negeri ke Jepang. Ningsih mendengar kabar itu dengan senang bercampur sedih. Senang, karena akhirnya Supri mendapat promosi jabatan dan naik secara finansial. Tapi, dia juga sedih karena harus berpisah jauh dengan Supri.
Supri akan menjalani long distance relationship dengan Ningsih. Hal itu berarti Supri harus mempersiapkan hati sekuat baja dan kesabaran setebal tembok Cina.
“Ningsih, aku akan pergi jauh.”
“Iya, Bang. Aku juga tak sanggup melepasmu pergi.”
Kemudian mereka berpelukan sangat erat di bandara, kayak biskuit oreo. Ningsih yang ke mana-mana selalu diantar dan dijemput oleh Supri merasa kehilangan tukang ojek langganan. Supri dengan jaket kulit hitam yang sudah mengelupas, pun harus menghadapi kenyataan ini.
“Ningsih, ini jaket abang satu-satunya. Simpan ya layaknya hati abang.”
“Berarti hati abang udah jelek, dong.”
“Nggak apa-apa, jelek-jelek sayangnya sepenuh hati.”
Ningsih tersipu malu sambil menggerak-gerakkan ekornya. Ekor matanya. Ningsih yang suka menghangatkan Supri selama ini pun tak mau kalah memberikan cinderamata. Belum sempat Supri menarik napas, Ningsih mendekapnya. Kemudian kedua tanganya menyusup ke balik bajunya. Menyentuh punggungnya.
“Ini akan menghangatkanmu di perjalanan.”
“Terima kasih, Ningsih.”
Ningsih masih mengusap-usap punggung Supri untuk kali terakhir. Semakin lama dekapan pun semakin erat.
“Rasanya, kini jadi panas ya, Ningsih.”
“Iya, Bang.”
Hidung Supri mulai menghidu aroma ganjil dan terlihat tak nyaman. Dia meregangkan pelukan Ningsih.
“Abang malu ya, dilihatin banyak orang di bandara seperti ini.”
“Bukan, pelukan kamu biasanya hangat. Sekarang terasa panas membakar kulitku.”
“Iya, bang biar awet selama di jalan.”
“Emang, kamu pake apa, Ningsih?”
“Balsem hot, Bang.”
“Cukup, Ningsih.”
Mereka kemudian berdiri saling berhadapan. Di bandara, ruang tunggu. Mereka seakan ingin membekukan waktu. Detik jam terasa begitu cepat seperti kilatan pesawat jet.
“Semoga pesawatnya delay,” ucap Supri dalam hati.
Ada keheningan tercipta. Ningsih menyentuh pipi Supri dengan lembut. Mata Supri berkaca-kaca. Bening Kristal itu tak sanggup dibendungnya.
“Kamu jangan bersedih meninggalkanku, Supri.”
Supri masih terisak. Bulir bening itu akhirnya menetes. Getir itu tergambar jelas di raut  wajah Supri. Ningsih semakin lembut mengusap pipi Supri.
“Abang harus kuat, ya.”
Supri mengangkat dagu. Disedotnya cairan bening yang mulai menggumpal di lobang hidungnya.
“Panas, Ningsih. Tanganmu bekas balsam panas!”
“oh… oh, maaf, Bang.”
Supri pun mengusap sisa air mata dengan lengannya. Lalu lalang orang di ruang tunggu semakin sepi. Satu per satu masuk ke dalam pesawat. Ini adalah momen mengharukan melapaskan pergi seseorang yang begitu dicintai.
“Abang jangan lupa ngabarin aku, ya.”
Supri hanya menggangguk lemas.
“Ingat, Bang. Chat aku harus dibalas. Sudah cukup cintaku dulu pernah tak kau balas.”
Supri menggangguk cepat. Kemudian hening lagi. Tangan Ningsi menggenggam Supri, menggenapkan sela jemari dengan erat. Seolah jabatan tangan terakhir kalinya.
“Abang, boleh kau memenuhi permintaanku?”
“Apa saja, boleh untukmu Ningsih.”
“Aku mau ngupil, tapi tanganku bekas balsam. Bolehkah aku meminjam jarimu untuk mengupil?”
Supri langsung tari saman. Kemudian dia duduk di antara dua sujud cukup lama. Ningsih pun mengurungkan permintaan itu.
“Aku cuma minta kamu setia, Abang.”
“Baik, aku pegang janji dan amanat untuk setia kepadamu.
“Kita seperti adegan AADC di bandara ya.”
Supri hanya tersenyum simpul. Dia menunduk mengambil tiket dari tas yang diletakkan di lantai. Akan tetapi, seperti geluduk di pematang sawah dan menyambar tiang listrik kemudian roboh menimpa warung di pinggir jalan, ternyata Supri sedang makan mie goreng di warung itu. Dia kaget bukan kepalang matanya tertuju pada jari manis Ningsih. Jari itu sudah tak lagi dilingkari cincin pemberian Supri. Melainkan cincin lain.

Supri sedih berlinang air mata. (lanjutkan ending cerita ini versi kamu dalam kolom komentar)

*kisah Supri dan Ningsih ada di buku #Relationshit Alitt Susanto
Share
Tweet
Pin
Share
15 komentar


Cinta selalu saja menyuguhkan cerita. Seperti dua pasangan yang bersama tapi tak bisa menyatu. Atau dua manusia yang mengikat janji tapi tak ditepati. Masih ingat kan di mana pertemuan pertama berama dia? Hal-hal kecil tentang dia yang selalu terkenang. Menerbitkan benih-benih senyum seorang diri. Membayangkannya saja melegakan hati.
Tapi, siapa menyangka cinta juga memuat prahara. Cinta menjadi rumit, mengartikan rindu yang tak lagi sederhana. Menerjemahkan sikap yang tak lagi terarah. Mengertikan pembicaraan yang berujung pertengkaran. Cinta menyalakan sumbu percikan api, membakar seluruh gelora asmara yang ada. Kini, perasaan itu kian padam.
Meski, jarak bukan halangan. Waktu kembali mengancam. Intensitas terbatas jadi pemicu keharmonisan hubungan. Rentang lama cinta merajut rindu tak menjadi ukuran karena cinta soal perasaan. Cinta soal tanda tanya. Soal bahagia. Jika tak kunjung datang, selalu meneguhkan keresahan batin tak terkira.
Bukan jauhnya bentangan jarak di antara kita yang membuat sulit menggenapkan rindu dalam genggaman tangan. Bukan pula lawa waktu kita habiskan bersama menikmati sisa pelukan yang panjang. Bukan pula pengertian yang berseberangan tentang persepsi mimpi dan bahagia. Tapi, kita sudah tak lagi sejalan. Kita tak lagi jalan bersisian. Kita tak lagi sama.
Seolah, hati kita semakin menjauhkan diri. Berpaling dan memilih pergi.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • ►  2017 (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (8)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2015 (17)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (2)
    • ►  Januari (3)
  • ▼  2014 (45)
    • ▼  Desember (4)
      • Sisa gemblong di tangan
      • Lebih dari rasa takut
      • Long Distance Relain-ship
      • Long Distance Relain-sip
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (16)
  • ►  2013 (16)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2012 (59)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (9)
    • ►  Oktober (9)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (116)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (16)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (14)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Juni (14)
    • ►  Mei (17)
    • ►  April (14)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2010 (39)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (14)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2009 (12)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (2)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates