a true friend is deserted

by - 17.46


Aku sendiri, terkurung dalam sepi dan ruang gelap yang menyelimuti. Aku tidak benar-benar menginginkan untuk lahir. Aku kesepian, karena kegelapan mengajariku mengenali hitam. Aku tidak punya teman berbagi cerita. Sejak kecil, sebelum aku membuka mata dan melihat dunia. Aku begitu banyak merasakan keheningan. Namun kedamaian itu begitu singkat. Setelah ada yang mengandungku memaksaku, mendorongku dengan mengejan. Aku dipaksa keluar. Kau meraba-raba dinding rahimku seperti ingin mengetahui, dan telinga yang mendekat seperti ingin mendengar bisikan kecil. Bahkan kau menayangkan seluruh aktivitasku pada layar monitor. Aku terganggu dan sesekali menendang. Karena aku tidak bisa menggedor-gedor pintu bahkan berteriak lantang. Rahimku begitu sempit dan lembab, kegelapan dimana-mana dan kutemukan banyak makanan di sini, aku suka. karena tidak perlu kemana-mana. Karena rahimku sangat nyaman, tidak ada beban dan pikiran. Semua hal yang kurasakan begitu pribadi, sendiri tak perlu diperhatikan. Berenang di dalam tabung seperti berputar perlahan. Aku tahu selaput ini pasti akan pecah, namun aku ingin berlama-lama di sini. Menikmati kesepian yang membelaiku. Dimana tidak ada rindu dan tangis menyatu. Apa yang terlihat selalu gelap dan mataku belum terbuka namun telingaku mampu mendengarkan denyut yang mengganggu. Tapi mengapa kau menginginkanku lahir. Lalu ada bisikan kecil malaikat seperti meniupkan angin di daun telingaku tentang rahasia. aku terpaksa karena tidak berdaya. Ketika dua buah tangan menyentuh kepalaku, usapan tangan mengelus dinding rahimku. Aku terpaksa keluar dan melihat kenyataan dunia yang palsu. Bahkan mereka merobek dinding dengan alat tipis mengilat tajam. Saat itu aku tahu bahwa semua kenyataanku mulai berjalan, rahasia yang dibisikkan lewat telingaku tenggelam bersama deru nafasku yang mulai tertahan. Aku menangis lantaran sinar dunia yang menyilaukan mengelabuiku dengan pesona yang ditawarkan, tangisku belum mereda dan semakin kencang saat kedua buah mata orang menatapku haru dan tertawa menganggapku lucu. Aku tidak suka, aku ingin kembali ke rahim dan sendiri tanpa perlu ditemani. Mengapa kau paksa aku datang. Ketika aku merasa nyaman berada di dalam rahim. Aku tergeletak sendiri dalam balutan kain putih halus dalam sebuah keranjang kecil. Aku masih menangis dan orang mulai memandangiku, seseorang menyentuh jariku dan menggerak-gerakkan sedikit sambil menggeleng-gelengkan kepala dengan kedua alis terangkat. Raut muka yang dibuat seolah menghiburku, namun ternyata tidak lucu sama sekali. Aku benci, mengapa aku ditertawakan. Saat aku mulai mengenal orang kurasakan masalah mulai berdatangan. Adam dulu tidak bermasalah saat belum bertemu hawa. Kesendirian itu menyelamatkan, teman hanya menimbulkan masalah. Teman sejati hanyalah sepi, yang mau berbagi dan meneduhkan. Mungkin perlu dihapus saja rahasia dari kamus. Aku mengenal rahasia saat malaikat meniupkannya seperti berbisik-bisik. Karena saat mati pun aku akan seorang diri dan berada dalam kegelapan dan ruangan sempit. Aku tidak perlu membagi rahasia pada siapa pun karena akan menjadi bukan rahasia lagi. Aku harus terbiasa dengan kesepian. Karena tidak ada yang bisa menemaniku bahkan mati. Aku tidak takut gelap dan malah merasa betah. Kegelapan mengajariku kehitaman, sedangkan warna lain hanya mengelabuiku. Pernahkah kau melihat hitam dalam garis pelangi. Sedangkan matamu hitam kecoklatan. Saat aku bermasalah tentu aku lebih merasa nyaman sendiri. Karena kesendirian mengajari hidup, selamanya aku tidak bisa bergantung pada orang lain. Teman, sebagaimana angin bisa membelai lembut juga bisa menjadi badai yang mengancam. Aku tidak pernah mengetahui apa pun mengenai rahasia. Karena kenyataan selalu terjadi seakan tidak membuatku memilih. Aku tidak bisa melewatinya tanpa risiko dan pilihan ditentukan seperti melempar dadu. Dan aku berani bertaruh untuk seluruh hidupku jika harus menjadi korban. Tidak perlu berandai-andai, karena mimpi hanya menghiburku untuk bertahan. Hidup harus dijalani seperti terbentang, sedang jalan itu tidak pernah terpandang. Sedangkan aku tidak bisa memastikan kaki berpijak pada tanah yang tidak salah. Mataku terpejam. Pikiranku mengembara melintasi banyak benua, namun hati tak pernah bisa menepi seperti kapal yang berlabuh. Menyusuri sepanjang sungai yang panjang. Siapa bisa menerka kedalaman laut itu tidak melebihi kedalam dasar hati. Kehidupan yang berjalan seperti sisifus pun ingin merasakan ketenangan. Cinta selalu menjadi arti, ketika perasaan itu tidak mampu lagi diterjemahkan. Aku menyesapi sisa coklat yang melekat di bibir gelas. Aku bercumbu dan memagutnya penuh rindu, namun nafasku terburu angin seperti kepulan asap. Kemudian aku harus menelan kecewa jika kenyataan itu tidak memihakku pada keyakinan yang kumiliki selama ini. Menelan semua kegelisah dan kecemasan yang merajaiku. Tapi aku tidak bisa meredam hasrat jika keinginan selalu menuntut menyeretku pada pilihan sulit. Jika kebutaan ini akan mengakhiri harapanku. Apakah aku kehilangan pikiran dan arti pada diriku sendiri. Aku masih terbungkus kain dan maninan berwarna-warni tergantung di tali berputar-putar seperti kemidi. Mataku tak selalu basah, tapi hatiku perih dan terlalu terluka. Jika bahasa kesedihan tak mampu diungkapkan oleh air mata dan tangis itu teredam oleh kepedihan itu sendiri. Jika hujan mendatangkan bencana dan gerimis itu membuatku menangis. Maka tidak perlu aku mengenal semua itu. Aku hanya akan berkenalan pada kesunyian yang mengajariku ketenangan dan kedamaian dalam hati. Pernahkah kau merasa sangat terluka karena temanmu. Sungguh menyakitkan, terlebih orang yang menyakitimu adalah orang yang paling kau sayangi. Kebencian kemudian datang seperti tetangga, antara suka dan benci menjadi garis tipis kulit bawang yang terkupas. Apa yang harus kau lakukan jika segala hal yang kau bangun selama ini terbuang percuma. Apa rahasia terbesar hidupmu, adakah sesuatu yang harus kau sembunyikan. Jika kau tidak bisa menyimpannya lagi, maka perasaan itu hanya akan terpendam seperti harta karun yang tak pernah digali sementara sebenarnya tidak ada. Aku menikmati saat kesendirianku menyandar kaca dan melihat pemandangan di baliknya. Atau terduduk sendiri menunggu bis datang dan pikiranmu sibuk dengan masalah sementara matamu tertuju pada novel. Perasaan cemas menanti balasan pesan dari orang tersayang. Kau berjalan sendiri menyusuri gang kecil di belokan dan menghilang setelah menutup pintu. Kau matikan lampu dan bersembunyi di balik selimut berusaha memejamkan mata, namun pikiranmu terbelenggu masalah yang cukup parah, dan matamu basah. Mungkin saatnya menghapus beberapa nama yang membuatmu menderita. Karena tidak semua nama-nama itu memberikan pengaruh dalam hidupmu. Lantas, aku berpikir “Kalau aku bisa menulis seperti Walmiki kukira aku bisa mengubah perjalanan hidupku.” Sepertinya menyenangkan, jika aku bisa mengubah jalan hidupku sendiri, seperti menulis cerita. Aku pun mengubah jalan cerita hidupku. Barangkali sendiri lebih menyenangkan. Karena semua hubungan yang tersambung selalu berujung pada masalah. Tidak ada yang bisa menahan masalah itu datang. Karena setiap kemungkinan menimbulkan risiko. Saat aku menghela nafas pun, maka udara itu sepertinya tak tertahankan lagi. Pernahkah kau merasa bahagia dengan sendirinya. Sejenak, menikmati kesunyian di balik selimut dan merasakan kegelapan seperti udara yang sejuk. Kau bisa bergumul dan menindih kemudian berguling-guling penuh nafsu karena kegelapan itu tidak memenjarakanku. Kau bebas memilih dan menyentuh bagian mana pun. Sampai aku sekap dan jerat semua bagian seperti menghisap. Coba bayangkan kesepian itu mengantarmu pada ketenangan seperti terayun oleh lagu-lagu klasik instrument yang mengalun merdu dan mendayu. Memijit tuts-tuts papan tombol seperti gerakan lambat menekan tuts-tuts piano. Kau bisa merasakan hembusan angin pelan itu seperti dawai biola yang digesekan penuh nada dan menyayat. Atau debur ombak di pagi hari saat laut tengah pasang dan nyiur melambai-lambai seperti mengucapkan selamat tinggal pada perahu yang mulai melaut. Debu-debu yang diterbangkan angin di padang gersang tak pernah terbayang akan menempel dimana. Hatiku pun tak pernah terpikirkan singgah dimana, ketika pikiranku berkecamuk seperti mengamuk dan aku kehilangan akal. Siapa sangka aku tidak bisa menahan diri untuk emosi, meluapkan amarah dalam bentuk begitu rupa. Malam yang penuh luka menatap langit berwarna jingga saat matamu tertutup kabut dan tersaput. Menatap bintang-bintang aku menjadi merasa sangat kecil. Bintang yang bertaburan itu seperti kerlip cahaya kecil yang berserakan, sedang aku merasa sendiri seperti bulan malam ini. Kau tahu hatiku pernah merasa gersang layaknya dahaga. Semut-semut kecil beriringan berjalan menapaki rerumputan yang basah. Aku menunduk dan melihat embun diujung daun menyentuh tanah. Mimpi memang selalu ada dalam setiap kepala. Namun mimpi yang menguatkan selalu membuatku bertahan, meyakini sebuah hal yang tak pernah terjadi. Berharap tidak sekedar menjadi keinginan dan hasrat. Sebuah perjalanan berliku yang menemukan jalan lurus. Cahaya kecil itu akan menuntunku melangkah pergi. Dalam kesendirian aku berjalan. Tapi hatiku mendua dengan seseorang yang selalu kupuja. Jika nanti menjadi sekarang dan masa depan mudahlah ditentukan. Aku menginginkan hari ini menjadi hari terakhir. Karena tidak ada lagi hari yang kupercaya menjadi indah. Dibandingkan apa yang kurasakan saat ini, bayangan-bayang terlintas seperti angin. Dan aku menemukan dirimu dalam mimpiku semesra dahulu. Bercengkrama dalam bayangan semu dan aku mendapati senyummu yang dulu. Kau bercerita seolah-olah kau menikmatinya, dan aku hanya mengamati kedipan matamu yang indah, dan bibir itu selalu mengembang layaknya bunga yang merekah. Dimanakah aku harus menuntaskan kerinduan ini padamu, ketika kucari angin yang membelai di tepi laut hanya kutemukan karang-karang yang terhempas di tepian. Seperti kudekap erat namun bayangmu jauh. Aku masih melangkah dengan resah yang tersisa, sebungkus plastik tergeletak berserak di jalan. Adakah hatiku akan seperti ini, terbuang dan tak berdaya di jalan. Tak ada yang tersisa kecuali kepedihan. Luka yang tertutup perban dan kau balut itu menimbulkan bercak merah. Langkahku gontai merasakan hawa sejuk pantai. Pikiranku terlempar jauh ke seberang sana, mengelana dalam semesta. Aku ingin tak menemukan jalan kembali pulang. biarkan aku di sini terdiam sepi dan duduk di atas batang kelapa yang terseret ombak, dan kutemukan pasir putih itu menimbun kakiku. Dan aku bisa merasakan harum laut seperti harum tubuhmu selepas mandi.

You May Also Like

0 komentar