Ada surat undangan yang kuterima, kertasnya indah berukir dan bertuliskan tinta emas. Ada kau disana, tertulis. Aku tahu, itu kau. Aku pun tak bisa berbuat apa-apa selain tersenyum getir menahan dada. Kemudian kubaca perlahan penuh seksama, bukan saja namamu. Tapi kulihat ada nama lain. Nama yang tidak begitu kukenal. Dia adalah orang lain. Aku hanya bisa menghitung hari, aku juga hanya menghitung jari. Memandang kosong hamparan rumput dan pemandang alam. Aku baru tahu, sebentar lagi....
Kau perlu tahu, ini untuk terakhir kalinya kusampaikan kepadamu. Aku mencintaimu. Terserah apakah ungkapan cinta ini seperti angin melintas saja bagimu. Cukup, lebih dari cukup untuk mencintaimu. Setelah kau biarkan aku dalam kesengsaraan ini. Mudah saja bagiku untuk menyudahinya. Jangan kau pikir aku tidak berani melakukannya. Kau tidak akan pernah melihatku lagi. Aku bisa pastikan itu dan hidupmu tidak akan terganggu olehku. Tidak perlu mengiba, tatapan matamu terlalu memesona. Aku tak sanggup untuk menolak segala...
Aku termenung beberapa saat, tanpa ditemani kata dan nada. Sendiri, mendekap sunyi dan mencoba bercengkrama dengan kesendirian. Baru saja, tidak lebih dari sejam, kuterima kirimanmu. Kugenggam sepucuk surat, ada semerbak aroma bunga. Diantara gulunganya terdapat pita berwarna merah muda merona yang kusuka. Kutahu, ada untaian rindu. Bisa kubayangkan, kalimat indah mengalun seperti nada dan puisi cinta sang pujangga yang dimabuk asmara di dalam surat itu. Terukir indah huruf yang tertulis disana. Aku masih terdiam. Belum...
Bulan tinggal sepotong, aku tak bisa membagimu. Di kamar ini cinta tinggal sepotong, aku pun tak bisa membagimu. Ketika jiwamu terlepas, selaksa butir kristal putih menggenang di permukaan mataku. Aku tak memaksa. Ragamu dekat lebih dekat dari pandangan mataku, tapi jiwamu terbang melintasi jutaan kota yang mati. Aku tak bisa mengembalikanmu. Selepas senja kau rebahkan dirimu di dadaku. Melabuhkan rindu dan penat yang menyatu. Pikiran kita berkelana pada rimba imaji dan persenggamaan yang bergelora. Berurai...
Sehangat mentari pagi. Kau pun tersenyum manis membingkai seulas pesona di antara sudut parasmu yang kukagumi. Ada getir. Kau pun menggenggam erat jemariku. Senyummu tak mampu membungkus resahmu. Tatapan matamu sendu. Aku mencoba gentar. Kau pun tak bicara, aku pun hanya terdiam berharap bisa membunuh waktu. Menikmati kebisuan yang terjebak karena perpisahan. Tak ada lagi yang bisa mengembalikannya. Ketika kau berdiri di hadapanku untuk terakhir kalinya. Kutatap matamu yang indah. Ada bias bening yang memenuhi...
Terkadang, kau tak pernah tahu bagaimana semuanya begitu saja terlewati. Sementara kau tak punya waktu untuk memastikannya dan membiarkannya pergi. Tapi sungguh. Aku telah mengenalimu. Aku juga telah menyadari perasaanku sepenuhnya kepadamu. Ketika setiap penantian dan iringan waktu berhenti tepat di hadapanku. Aku tak bisa membiarkanmu. Mendapati ribuan cahaya seperti kunang bekerlipan setiap malam. Aku pun ragu, untuk tetap menjagamu. Di antara deru ombak dan hempasan karang, kau selalu tak terlihat seperti tenggelam. Di balik...
Sadarkah, ketika hamparan langit yang membentang dan awan berarak beriringan. Perlahan sang surya perlahan kembali ke peraduan. Aku masih menunggumu. Untuk kesekian kalinya secangkir gelas tak mampu meredam kegelisahanku. Bahkan ketika segalanya berhasil kuabaikan. Aku tak bisa menghapus jejakmu. Di balik gerimis aku bersembunyi. Di balik hujan aku mencari. Kau selalu pergi. Aku masih saja menunggu senja yang telah habis. Kau, telah mencuri hatiku. Membawaku pergi jauh. Menitipkan sejuta rindu yang kau tanam jauh di...
Mungkin, kau tidak punya cukup waktu untuk memperbaikinya. Kau pun tak berdaya untuk mengikat kenangan itu terus dalam mimpi dan bayanganmu menjadi nyata. Terakhir kali kau ingat, kau menggenggam tanganku. Tapi kini semua telah berubah. Bahkan dari hal terburuk, kau telah terpisah. Tak ada lagi kesempatan. Hati yang terkoyak berkeping-keping. Sakit hati yang penuh kepiluan. Aku lebih dari sekadar mencintaimu. Namun apa daya. Kau tak bisa mengubah waktu menjadi kutukan untuk memperolehnya kembali. Cinta begitu...