Diberdayakan oleh Blogger.

Professional Time Waster



Gimana udah nulis berapa halaman? satu paragraf? udah punya pacar belum? #editorPerhatian
Tahun baru ini memang gue lagi disibukkan dengan beberapa project menulis. Baik perorangan maupun tergabung dalam tim atau kelompok kecil. Ya, sesuai dengan resolusi gue menjalankan lebih banyak aktivitas menulis daripada mengedit. Tapi, tidak mengurangi kesenangan gue mengedit.
Berikut beberapa hal terakhir yang gue lakukan.
Gue baru menyelesaikan komik Yotsuba vol. 9; kebiasaan membaca komik gue loncat-loncat nggak berurut tapi tetep gue nikmati. Yotsuba adalah komik favorit gue. Cerita oke, jokes nyentil, dan sarat pesan tersirat. Bacaan yang santai tapi nggak buang-buang waktu. Gambarnya jelas berkualitas.
Gue baru menyelesaikan series kartun We Bare Bears; tiga hewan lucu, panda, beruang madu dan beruang kutub ini punya banyak cerita lucu, seru, dan menarik

Gue baru menyelesaikan project jadi ghostwriter; di mana gue sengaja menyembunyikan nama dari buku yang gue tulis. Hanya penulis di buku dan gue yang tahu. Sesuai namanya, gue dibayar memang untuk menuliskan buku. Ini juga jadi bentuk eksperimen gue dalam melatih kompetensi menulis
Gue baru saja mendapatkan poster film resmi; tahun lalu gue mengerjakan story script untuk film horor yang berjudul (Jangan Dengerin Sendiri) baru rilis poster. Tayang di bioskop masih menunggu slot jadwal yang tersedia. Doakan saja ya


Gue baru saja menyelesaikan project script film animasi; KiKO. Gue excited banget dengan project ini karena gue akhirnya dapat kesempatan mengerjakan script animasi. Ya, gue nggak sendirian bersama teman-teman dalam tim kecil yang develop story. Di project ini gue banyak belajar teknik menulis script. Akan launching tanggal 7 Februari 2016, tayang setiap hari Minggu di RCTI pukul 09.00

Gue baru saja menyelesaikan editan naskah komedi. Berhubung permintaan dari penulis sebelum terbit untuk dirahasiakan. Maka, di sini gue merahasiakan. Katanya nanti kalau sudah terbit dan jadi kovernya boleh dishare. Naskah biasanya dikirim email. Proses editing berjalan lancar dua arah dengan catatan komen dan notes. Gue memperbaiki dasar EYD, logika kalimat, keutuhan cerita, gagasan utama paragraf, sampai memberikan sugesti komedi.
Sebelum menutup bulan Januari, begitulah rekap  gue baru saja yang dilakukan. Semoga bulan ini semua pencapaian maksimal. Bulan depan siap mendapatkan kejutan dan tantangan baru lagi. Kalau ditanya soal kesibukan dan bagi waktu, gue bikin jadwal sesuai deadline. Jadi, nggak boleh mundur. Ya, semangat terus!
berharap, merekap, dan cemas... hehe
Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar


Kita tidak bisa memilih berasal dari mana kita dilahirkan, kalimat narasi pembuka film yang cukup engage buat penonton. Film Ngenest besutan Ernest Prakarsa sebagai sutradara sekaligus penulis cerita ini patut diawasi. Pasalnya bukan saja bertabur komedi di mana-mana, tapi juga sarat akan makna dan perenungan. Ernest memulai plot cerita secara kronologis dari kecil-sampai dewasa. Tidak menghadirkan pemain-pemain cantik bintang lima, tapi film Ngenest rupanya bergaransi membuat penonton tertawa.

Bagusnya, film ini memberikan ruang improvisasi terhadap semua pemain; baik pemeran utama maupun pemeran pendukung. Setiap kehadiran pemain selalu memberikan dampak pada cerita maupun menguatkan karakter tokoh utama. Hasilnya, jokes padat dan nyaris hadir di setiap lima menit selama film berjalan.
Ernest sebagai sutradara paham betul, pemain yang juga rata-rata komika tentu punya sense humor sehingga keterlibatan mereka dibebaskan untuk berekspresi—tentu saja berdasarakan arahan dan skenario.
Dari sisi cerita plot mengalir dan rapi. Terlihat eskalasi konflik didasarkan pada keputusan tokoh utama. Tidak ada kebetulan dan ujug-ujug. Semua step cerita terbentuk karena aksi-reaksi.
Ernest kecil dibully lalu mencari cara keluar dari masalah ini dengan berteman dengan pembully. Ernest Cina ingin keluar dari masalah Cina dengan menikahi pribumi. Setelah menikah masalahnya anaknya bakal mirip Ernest apa Meira. Setiap masalah yang terjawab melahirkan masalah baru. Sehingga filosofi Tokai jadi solusi yang tak terbantahkan.
Keputusan Ernest yang menunda momongan dianggap sebagai pemantik konflik utama. Lalu situasi meningkat ketika Meira depresi melihat banyak pertanyaan dan desakan. Kontrasnya bertemu saat Patrick merayakan anniversary dan Ernest memberikan kado. Di situ Ernest dan Patrick “boy talk” soal pernikahan masing-masing. Keduanya sama-sama belum dikaruni anak. Patrick bilang, “sudah cek dokter sih, katanya bagus tapi mungkin belum dikasih aja,” kalimat ini sebenarnya dot yang akan mengait di scene yang lain.
Ketika Meira hamil besar dan butuh kehadiran Ernest, cerita membuat penonton marah dan menyalahkan Ernest yang justru kabur dari kenyataan. Ernest kehilangan fokus, mengabaikan tugas pekerjaan, bahkan berbuntut kecelakaan. Tempo ketegangan meningkat ketika Meira tak berhasil menghubungi Ernest setelah itu. Patrick yang mengetahui di mana sahabatnya itu bersembunyi menemuinya di markas; gedung kosong. Di situlah dot kontras keduanya diperlihatkan.
Gue suka secara ceritanya karena berstruktur. Kehadiran turning point dan eskalasi konflik disusun dengan baik. Bahkan resolusi yang dihadirkan sangat aman dan membahagiakan penonton.  
Dari sisi gambar meski diakui banyak shot yang biasa saja, tapi gue menemukan transisi gambar sudah bercerita. Sebut saja ketika Patrick bilang, “nunggu apalagi, istri lo keburu tua dan keriput,” setelah kata keriput, gambar berganti dengan dodol cina yang terlihat keriput. Jelas, ini adalah kelebihan film yang ikut bernarasi secara visual lewat gambar. Kemudian ketika rasa depresi Meira melihat ketidaksiapan Ernest dan marah keluar dari mobil pulang naik bajaj. Meira terduduk di kamar yang dipersiapkan untuk sang buah hati, gambar landscap bangunan kota di malam hari yang meredup kemudian berganti dengan raut muka Meira yang bersedih, menggambarkan kelamnya rumah tangga keduanya.
Tapi, gue melihat beberapa scene yang ‘bocor’ dalam layar. Misalnya ketika pertama kalinya Ernest bertamu ke rumah Meira. Meira menyuruh Ernest minum, “diminum tehnya” tapi terlihat jelas isi gelas Ernest adalah air putih. Lalu gambar shot Bandung ketika transisi Ernest kuliah, gambar diambil di kawasan Braga tampak logo HUT RI ke-70 menempel di kaca. Hal ini sebenarnya miss minor, mungkin penonton yang jeli yang dapat menemukannya.
Selain itu yang terasa kurang adalah tokoh bapaknya Ernest di awal film, terlihat sekali itu adalah Ernest hanya dibikin seperti kebapak-bapakan ditambah wig dan kumis tipis. Kemudian saat Ernes parno soal kehadiran bayi di mimpi pertama, dokter kandungan menggendong bayi yang rupanya mirip Ernest. Tapi dokter kandungan yang memakai masker itu adalah Acho. Pada kenyataanya dokter kandungan yang membantu persalinan Meira juga Acho. Mimpi dan kenyataan sama; apa Ernest punya penglihatan di masa depan. Bagian ini menjadi kurang realistis.
Penampilan yang patut diacungi jempol layak disematkan kepada duet maut Adjis Doaibu dan Awwe meski sebagai pemeran pendukung kedua tokoh ini jaminan bikin ketawa. Celetukan, reaksi, bahkan raut muka keduanya apa adanya yang justru terlihat sangat lucu. Kemudian acting Acho sebagai dokter kandungan dengan logat Makassar juga dirasa pas dan kental. Acho cocok ketika bicara aksen bugis.  Gue ikut “nggak percaya” Acho bisa begitu natural memerankannya.
Ernest berhasil menyingkirkan stereotipe Cina menjadi tontonan yang menghibur dan kontemplatif. Sebagai film pertama, ‘Ngenest’ menjadi torehan yang membanggakan. Selamat kepada Ernest Prakarsa, film Ngenest sebagai salah bukti Cina juga akan merambah menduduki perfilman Indonesia.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Catatan kecil untuk tahun yang baru. Meninggalkan tahun yang penuh dengan keputusan. Akhirnya, setelah berpikir dan menimbang gue memutuskan berlari mengejar mimpi; menjadi seorang penulis. Baik penulis lepas, penulis skenario, maupun penulis novel. Meski gue masih mengerjakan editing naskah, tapi tidak menyurutkan semangat gue untuk menulis.
Gue sadar keputusan ini tidak mudah. Menulis sejatinya membutuhkan komitmen dan energi. Menulis seperti lari marathon, butuh napas panjang dan pijakan kaki yang kuat. Tapi, bukan hidup jika tak layak diperjuangkan. Bukan untuk mencapai garis finish, tapi untuk menemukan ending yang manis.

Lantas, apa mimpimu? Mari kita berlari.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • ►  2017 (2)
    • ►  Maret (2)
  • ▼  2016 (8)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ▼  Januari (3)
      • My Currently Project
      • Hidup Ernest di Layar Lebar; Ngenest!
      • Catatan Kecil untuk Mimpi yang Besar
  • ►  2015 (17)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (2)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2014 (45)
    • ►  Desember (4)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (3)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (5)
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (16)
  • ►  2013 (16)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2012 (59)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (9)
    • ►  Oktober (9)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (116)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (16)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (14)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Juni (14)
    • ►  Mei (17)
    • ►  April (14)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2010 (39)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (14)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2009 (12)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (2)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates