Mencari Arti Puisi

by - 02.29

Suatu malam yang dingin dan udara masih berhembus sama, aku mulai berpikir tentang kesejatian dan makna. Selama ini tak dapat kutemukan arti dan makna yang selama ini kucari; puisi.
Untuk apa menulis puisi, ketika tidak ada secercah cahaya makna yang mudah untuk dimengerti. Ketika harus meraba untuk memahami, puisi tak sekadar kata. Bahkan puisi tak sekadar ungkapan. Banyak pujangga dan penyair melahirkan puisi. Bahkan dari rahimnya. Aku tak mengerti ketika puisi dianggap sebagai ekspresi jiwa, pengalaman bathin, kegelisahan dan pergolakan jiwa, pertanyaan dan tanda tanya, cerminan dari akar masalah, realita. Puisi tidak lebih dari kata-kata. Kata-kata yang tidak mudah untuk diterjemahkan.
Untuk apa menulis puisi jika tidak mengubah apa pun. Ribuan puisi lahir setiap hari, tumbuh berkembang dan beranak. Bermunculan dan berkeliaran. Puisi menjelma seperti deretan huruf kaku yang mati karena tidak lagi disenandungkan di atas panggung. Puisi hanya teronggok busuk di atas koran, di kumpulan lembar antologi. Sebenarnya untuk apa puisi lahir.
Terkadang aku juga membuat puisi, ketika kubaca terkadang aku juga sama tidak mengerti. Apakah dengan begitu adanya puisi lahir untuk tidak diketahui. Ketika puisi menjadi asing bagi penulis sendiri, bahkan untuk pembacanya. Puisi seperti narasi yang habis dibaca satu tarikan nafas, kemudian diulang, dicermati, bahkan dibedah. Banyak metode dan teori analisis puisi. Untuk mengupas dan menemukan kandungan makna puisi. Mengapa hal yang tampak sederhana menjadi rumit untuk dimengerti. kemanakah puisi bermuara, berteman, dan mencari pijakan. Seperti perasaan yang tak mudah untuk dijamah dan diterjemahkan dalam bahasa. Puisi terkadang tidak menemukan teman, kosa kata, bahasa yang mampu mewakili luapan perasaan sang penyair.
Apakah puisi itu? Sejenis ungkapan-ungkapan asing yang jarang dituturkan. Kembali kubertanya, aku mencari kesejatian dan kebermaknaan dalam setiap catatan dan episode kehidupan. Aku hanya mengajakmu berpikir dan bercanda. Disini, kita bisa duduk dan bersantai sambil berbincang mengenai puisi. Terkadang datang dari kekalutan dan badai dalam diri. Dada bergemuruh dan pikiran koyak lantaran hati terhempas oleh kebencian. Ada bulan dan purnama yang selalu kau puja lirih seperti semilir angin di tepi pantai yang menerpamu. Kedamaian hati yang kau temukan saat arus sungai kembali tenang dan binar matamu terpancar pelangi.
Puisi begitu memabukkan dengan kata-kata. Kata-kata berduyun-duyun dan berlarian di kepalamu. Satu persatu kau pilih manakah kata yang sesuai dan kau rasa perlu. Mempertimbangakn urutan dan rima sehingga terdengar merdu. Puisi terlihat mudah tapi tak mudah untuk kau nikmati, banyak kata yang menegaskan arti kata yang lain. Semiotik, simbol, gaya bahasa, konotasi, bahkan termasuk dalam makna-makna tertentu. Maka perlukan untuk mengutarakannya dalam bentuk yang lebih sederhana.
Jika dimungkinkan, aku malah berpikir kenapa harus menyulitkan diri. Puisi terasa ekslusif dan istimewa terselimuti oleh hijab dan kerudung. Tak mudah tersentuh bahkan kau raba. Puisi punya cita rasa dan gaya yang berbeda. Sedikit nakal, manja. Bahkan ada yang cenderung verbal dan vulgar. Puisi menentukan identitasnya sendiri oleh penulis. Maka dimanakah kutemukan makna dalam puisi yang mampu mengubah hidupku. Bahkan menginspirasiku. Bukan sekadar menuntaskan dahaga bathin dan kekosongan jiwa. Puisi tak lagi seperti bayang-bayang asing yang menggelayut di pikiranku.
Siapa yang bisa menjelaskan kepadaku tentang puisi. Tentang senandung lirih para penyair, tentang gejolak perlawanan, tentang eksistensi diri. Tentang arti yang mencari definisinya sendiri. Ketika kata mencari makna di balik setiap hubungan antarunsur, leksikal, gramatikal, derivasi. Kata-kata berdiri sendiri mengungkap arti yang tersembunyi. Kau mampu menjelajah makna dalam samudera luas pikiranmu. Aku tak mampu kembali dan tak kutemukan jalan pulang. Aku tersesat. Adakah yang seseorang yang mampu mengantarku pulang.
Puisi, bait dan bait, kemudian larik dan baris. Bersama-sama tersusun. Aku tak tahu apa yang sebenarnya diinginkan oleh puisi. Apakah letupan, ketika ujaran yang dihasilkan oleh daerah artikulasi yang sama melahirkan fonem-fonem yang berbeda dan secara fonetis menentukan hubunganya dengan unsur yang sejenis. Aku berkenalan dengan konsonan dan vokal. Grup vokal ini terpecah dan berteman dengan huruf-huruf konsonan, bahkan tidak sedikit diantara mereka yang berhubungan intim.
Aku masih tak menemukan inti dari persoalan ini, ketika puisi kuanggap menjadi hal yang tak perlu kupersoalkan lagi. Aku perlu jawaban. 

You May Also Like

0 komentar