UN 2011

by - 01.32

Rasa nyeri tak pernah sanggup kulepas. Apalagi luka pedih yang kau torehkan merobek hatiku. Aku tak mengerti. Setelah sekian janji dan ucapan manismu, aku begitu terlena. Hatiku hancur, berserakan. Entah tercecer dimana, barangkali sebagian terkoyak dan termakan anjing. Aku limbung, setelah perceraian kedua orang tuaku. Aku lebih mengenal murka dan teriakan. Ketika mereka berdua beradu mulut dan bertengkar dengan kasar, aku melihat Ibuku terpelanting ke lantai bersimbah air mata lalu kepalanya terbentur tembok dan cairan kental itu menghiasi dinding. Aku hanya bisa menatap dari kejauhan dengan nanar dan berurai air mata. Bahasa kesedihan ini tak mampu meredam emosi Ayah. Aku menangis. Tapi kau datang dengan penuh cinta, belaian manismu dan sentuhan manjamu. Membuat aku nyaman. Sampai suatu ketika aku lari dari rumah, karena tak tahan dengan pertengkaran. Lebih baik aku menemuimu, bersembunyi di balik selimutmu. Tapi aku lupa bahwa malam itu aku kira tidak akan bertemu purnama, ketika bulan begitu ranum dan kita bercinta layaknya sepasang serigala yang mengaum di ujung bukit. Aku lupa mematikan lampu karena begitu bergairah. Aku lupa bagian akibat dari perbuatanmu, kau tidak hanya membuatku bergelora, kau juga seperti secawan anggur yang tak habis sekali teguk. Kau membuatku begitu menginginkan hal itu. Tapi aku lupa bahwa kau tidak hanya memberikan cinta, kau juga memberikan sperma. Aku lupa pelajaran biologi. Akhirnya rasa pedih itu bercampur darah. Ketika beberapa bulan berikutnya badanku semakin membesar. Aku lupa kalau aku perempuan, dan berpotensi hamil. Tingga beberapa hari lagi aku harus mengikuti ujian nasional. Dan tiba-tiba aku tidak hanya lupa pelajaran biologi, tetapi aku juga lupa pelajaran kimia. Kubeli beberapa macam zat kimia di toko seberang jalan rumahmu, tempat kita memadu asmara, dan kau tinggalkan selimutku karena bercak darahku dan kucuci sendiri tengah malam. Esok menjadi tak penting lagi. Kau menghilang dan ditelan angin. Kau seperti manusia bertopeng yang dicari polisi. Sedangkan aku hanya bisa menyimpan murkaku disini, di dalam rahimku. Semoga aku tak ditemukan kedua orang tuaku.
Pagi hari pelaksanaan ujian, aku datang. Penuh percaya diri, membawa majalah mode dan koran, untuk pengawas ujian, tidak lupa kubawa roti untukku sendiri. Untuk sarapan pagi. Semuanya begitu tenang mengerjakan. Tak kulihat dirimu di bangku yang seharusnya kau tempati, nomer dua dari depan sebelah jendela, biasa kau lirikan matamu padaku dengan tatapan sendu. Kemudian kubuka tas dan mengambilnya. Aku lupa sarapan, roti yang kubawa pun ingin segera kutelan. Dan aku ingat semalam aku tidak belajar lantaran sibuk mencampurkan zat kimia ke dalam roti. Berharap aku cepat mati. Tentu saja, pengawas tak melihatku terkapar karena sibuk membaca koran, terlebih teman-temanku. Mereka tidak ada yang curiga busa yang keluar dari mulutku, dan darah yang menetes dari balik celana dalamku.    

You May Also Like

0 komentar