Cerita Sepiring Nasi Goreng

by - 19.48



Untuk seseorang yang kusebut pahlawan. Meski tak ada jasa kepahlawanan. Selain, berjuang untuk keluarga.
Aku sama sekali tidak akan melupakan momen-momen bersamanya. Pagi-pagi, menguar aroma telur dari dapur dan aku baru bangun. Sepiring nasi goreng dan telur setengah matang sudah tersaji di atas meja.
“Papa tambahin potongan daging kambing, tapi telurnya tetap setengah mateng!” Serunya sambil berbalik ke dapur.
Belum kering dari guyuran air sehabis mandi, suara sendok yang mengaduk di gelas kemudian terdengar. Aku bisa tahu, teh merek Upet itu sudah terhidang bersama teko yang terbuat dari gerabah.
“Jangan langsung diminum, masih panas.”
Aku menyisir rambut dengan jari-jari tangan. Sosok itu masih sibuk memegang spatula dan menggoyang-goyangkan wajan di atas api. Nasi goreng untukku sudah jadi, tapi untuknya belum. Beliau sengaja membuatnya terpisah karena tahu bahwa aku tak suka pedas.
“Kalo mau lebih gurih ada bawang goreng di toples ya.”
Bunyi stainless steel yang beradu dengan teflon dan desis api membara membuat suasana pagi ramai serta hangat bersama secangkir teh. Belum aku sentuh sama sekali. Aku tahu, tak mau memulai sebelum beliau selesai masak.
Nasi goreng kecokelatan yang terpampang di tempatku sudah menanti disantap. Tapi, aku lebih memilih menunggu. Sampai beliau datang membawa sepiring nasi goreng untuknya.
“Nah, kalo ini ekstra pete bakar dan sambal sego jamblang.”
Aku tersenyum. Beliau menarik kursi lalu duduk. Kami berhadapan. Peluh tercetak jelas di dahinya belum sempat mengering. Aku menyodorkan tempat tisu. Beliau mengambil bersamaan sendok dan garpu.
“Ayo makan, keburu dingin.”
Tapi aku bangkit berdiri dan membuka kulkas. Terlihat buah melon dan beberapa jenis ikan. Aku garuk-garuk kepala tak menemukan botol bekas sirup. Beliau membaca kecemasanku.
“Airnya belum diisi, tuh masih kosong di belakang.”
Aku pun makan. Beliau pun makan. Tapi di sela-sela makan, kami berbincang.
“Tadi pagi ayah ke pasar, ikan nila dan guramenya besar-besar. Jadi beli banyak.”
“Kenapa dibeli semua?” tanyaku.
“Nanti mau dimasak, ada resep baru, hehe” ucapnya terkekeh senang.
Sendok demi sendok masuk ke dalam mulut. Aku bisa melihat jelas guratan dan garis di wajah beliau. Usia tak pernah salah. Kerutan dan helai-helai putih bahkan menghiasi kumisnya. Kemudian beliau tersedak.
“Pelan-pelan aja makannya, masih panas?” tanyaku hati-hati.
“Makasih, Pa. Udah masakin.”
“Apa? Kurang?! Mau nambah... ayo nih punya Papa masih banyak.”
“Nggak ah, lagi diet.”
“Diet-diet segala, kayak cewek hehe” lagi-lagi terkekeh.
Aku melirik jam bulat yang tergantung di dinding. Beliau asyik mengelupas kulit pete yang hitam terbakar itu. Aku kembali membaca wajahnya yang menua. Bibir yang memucat. Dan, kulitnya yang mulai menggelap.
“Papa masih mancing?”
Beliau menjawab dengan anggukan sambil menyambut sendoknya. Aku geleng-geleng kepala.
“Kalo bisa beli ikan di pasar, kenapa masih mancing, Pa?”
“Kamu nggak mengerti. Mancing itu bukan soal hasil. Terkadang kamu tahu akan pulang tanpa membawa ikan. Tapi, mancing itu kontemplasi.”
“Iya, tapi muka Papa jadi gelap.”
Beliau terkekeh. Kemudian mulutnya dipenuhi nasi goreng lagi. “Kamu tahu, di usia Papa selain keluarga, menikmati waktu sangat penting. Seperti sekarang, makan sarapan sama kamu.”
Tiba-tiba mataku menghangat. Aku berkedip cepat.
“Kamu sudah besar, jarang pulang, jarang ngabarin, dan sibuk kerja. Jadi, mungkin kamu nggak ngerti waktu.”
“Iya, Pa. Akhir-akhir ini sibuk di kantor. Kadang weekend juga harus kerja.”
“Itulah! Papa mancing untuk menikmati waktu. Kamu tahu sendiri, waktu nggak akan bisa terulang. Tuh, lihat! Mama kamu nggak ada. Pagi-pagi sudah harus pergi ke sekolah.”
Aku mengambil secangkir teh dan meminumnya. Papa menyeka keringatnya dengan tisu. Rupanya nasi goreng pedas buatannya mampu menerbitkan keringat.
“Saat mancing, Papa inget kamu. Inget Mama. Inget keluarga. Di antara embusan angin dan air yang tenang. Papa bisa berkaca wajah papa sendiri. Melihat, bahwa selama ini yang kita cari adalah kedamaian dan rasa syukur. Rasa syukur bisa makan. Bisa berkumpul dengan keluarga.“
Lagi-lagi dadaku membuncah.
“Saat ini kita hanya berdua. Menikmat sarapan bersama. Nanti siang kita ke supermarket untuk belanja bumbu ya.”
Aku langsung mengangguk. Sepiring nasi goreng tandas ditelan. Aku tarik napas dalam-dalam. Papa seakan melihat perubahan raut mukaku. Beliau menyodorkan sekotak tisu. “Dan, kamu jangan ke kamar dulu! Sebentar lagi acara masak kesukaan Papa tayang.”
Setelah bangkit berdiri, aku membuka kulkas. Udara dingin itu lebih cepat membuat mataku mengering. Semoga Papa tidak melihat sudut mataku yang basah.
“Akan ada masanya, kamu duduk di sini menggantikan Papa untuk anak-anakmu. Keluargamu.”
Mendengar hal itu, ingin rasanya aku berhambur ke pelukannya. Tapi, aku tak bisa membiarkan piring kotor itu tetap di meja. Aku harus membawanya ke belakang. Aku menyalakan keran di westafel, suaranya kucurannya jatuh ke bawah. Bersama sesak di dada dan isak tangis yang sekuat tenaga kutahan, akhirnya aku menangis.
Untuk Papa. Selalu kurindukan.
Selamat Hari Ayah.

You May Also Like

0 komentar