Cerita Sepiring Nasi Goreng
Untuk seseorang yang kusebut pahlawan. Meski tak ada jasa kepahlawanan. Selain, berjuang untuk keluarga.
Aku sama sekali tidak akan melupakan momen-momen bersamanya. Pagi-pagi, menguar aroma telur dari dapur dan aku baru bangun. Sepiring nasi goreng dan telur setengah matang sudah tersaji di atas meja.
“Papa tambahin potongan daging kambing, tapi telurnya tetap
setengah mateng!” Serunya sambil berbalik ke dapur.
Belum kering dari guyuran air sehabis mandi, suara sendok yang mengaduk di
gelas kemudian terdengar. Aku bisa tahu, teh merek Upet itu sudah terhidang
bersama teko yang terbuat dari gerabah.
“Jangan langsung diminum, masih panas.”
Aku menyisir rambut dengan jari-jari tangan. Sosok itu masih
sibuk memegang spatula dan menggoyang-goyangkan wajan di atas api. Nasi goreng
untukku sudah jadi, tapi untuknya belum. Beliau sengaja membuatnya terpisah
karena tahu bahwa aku tak suka pedas.
“Kalo mau lebih gurih ada bawang goreng di toples ya.”
Bunyi stainless steel yang beradu dengan teflon dan desis
api membara membuat suasana pagi ramai serta hangat bersama secangkir teh.
Belum aku sentuh sama sekali. Aku tahu, tak mau memulai sebelum beliau selesai
masak.
Nasi goreng kecokelatan yang terpampang di tempatku sudah
menanti disantap. Tapi, aku lebih memilih menunggu. Sampai beliau datang
membawa sepiring nasi goreng untuknya.
“Nah, kalo ini ekstra pete bakar dan sambal sego jamblang.”
Aku tersenyum. Beliau menarik kursi lalu duduk. Kami
berhadapan. Peluh tercetak jelas di dahinya belum sempat mengering. Aku
menyodorkan tempat tisu. Beliau mengambil bersamaan sendok dan garpu.
“Ayo makan, keburu dingin.”
Tapi aku bangkit berdiri dan membuka kulkas. Terlihat buah
melon dan beberapa jenis ikan. Aku garuk-garuk kepala tak menemukan botol bekas
sirup. Beliau membaca kecemasanku.
“Airnya belum diisi, tuh masih kosong di belakang.”
Aku pun makan. Beliau pun makan. Tapi di sela-sela makan,
kami berbincang.
“Tadi pagi ayah ke pasar, ikan nila dan guramenya
besar-besar. Jadi beli banyak.”
“Kenapa dibeli semua?” tanyaku.
“Nanti mau dimasak, ada resep baru, hehe” ucapnya terkekeh
senang.
Sendok demi sendok masuk ke dalam mulut. Aku bisa melihat
jelas guratan dan garis di wajah beliau. Usia tak pernah salah. Kerutan dan
helai-helai putih bahkan menghiasi kumisnya. Kemudian beliau tersedak.
“Pelan-pelan aja makannya, masih panas?” tanyaku hati-hati.
“Makasih, Pa. Udah masakin.”
“Apa? Kurang?! Mau nambah... ayo nih punya Papa masih
banyak.”
“Nggak ah, lagi diet.”
“Diet-diet segala, kayak cewek hehe” lagi-lagi terkekeh.
Aku melirik jam bulat yang tergantung di dinding. Beliau asyik
mengelupas kulit pete yang hitam terbakar itu. Aku kembali membaca wajahnya
yang menua. Bibir yang memucat. Dan, kulitnya yang mulai menggelap.
“Papa masih mancing?”
Beliau menjawab dengan anggukan sambil menyambut sendoknya.
Aku geleng-geleng kepala.
“Kalo bisa beli ikan di pasar, kenapa masih mancing, Pa?”
“Kamu nggak mengerti. Mancing itu bukan soal hasil.
Terkadang kamu tahu akan pulang tanpa membawa ikan. Tapi, mancing itu kontemplasi.”
“Iya, tapi muka Papa jadi gelap.”
Beliau terkekeh. Kemudian mulutnya dipenuhi nasi goreng
lagi. “Kamu tahu, di usia Papa selain keluarga, menikmati waktu sangat penting.
Seperti sekarang, makan sarapan sama kamu.”
Tiba-tiba mataku menghangat. Aku berkedip cepat.
“Kamu sudah besar, jarang pulang, jarang ngabarin, dan sibuk
kerja. Jadi, mungkin kamu nggak ngerti waktu.”
“Iya, Pa. Akhir-akhir ini sibuk di kantor. Kadang weekend
juga harus kerja.”
“Itulah! Papa mancing untuk menikmati waktu. Kamu tahu
sendiri, waktu nggak akan bisa terulang. Tuh, lihat! Mama kamu nggak ada.
Pagi-pagi sudah harus pergi ke sekolah.”
Aku mengambil secangkir teh dan meminumnya. Papa menyeka
keringatnya dengan tisu. Rupanya nasi goreng pedas buatannya mampu menerbitkan
keringat.
“Saat mancing, Papa inget kamu. Inget Mama. Inget keluarga.
Di antara embusan angin dan air yang tenang. Papa bisa berkaca wajah papa
sendiri. Melihat, bahwa selama ini yang kita cari adalah kedamaian dan rasa
syukur. Rasa syukur bisa makan. Bisa berkumpul dengan keluarga.“
Lagi-lagi dadaku membuncah.
“Saat ini kita hanya berdua. Menikmat sarapan bersama. Nanti
siang kita ke supermarket untuk belanja bumbu ya.”
Aku langsung mengangguk. Sepiring nasi goreng tandas
ditelan. Aku tarik napas dalam-dalam. Papa seakan melihat perubahan raut
mukaku. Beliau menyodorkan sekotak tisu. “Dan, kamu jangan ke kamar dulu! Sebentar
lagi acara masak kesukaan Papa tayang.”
Setelah bangkit berdiri, aku membuka kulkas. Udara dingin
itu lebih cepat membuat mataku mengering. Semoga Papa tidak melihat sudut
mataku yang basah.
“Akan ada masanya, kamu duduk di sini menggantikan Papa
untuk anak-anakmu. Keluargamu.”
Mendengar hal itu, ingin rasanya aku berhambur ke
pelukannya. Tapi, aku tak bisa membiarkan piring kotor itu tetap di meja. Aku
harus membawanya ke belakang. Aku menyalakan keran di westafel, suaranya
kucurannya jatuh ke bawah. Bersama sesak di dada dan isak tangis yang sekuat
tenaga kutahan, akhirnya aku menangis.
Untuk Papa. Selalu kurindukan.
Selamat Hari Ayah.
0 komentar