Diberdayakan oleh Blogger.

Professional Time Waster

Udara ibu kota tercemar polusi ketika pedagang gemblong mangkal di tempat biasa. Karbon monoksida bercampur di udara. Bising deru kendaraan yang bergegas saling menyalakan klakson. Di tengah hiruk pikuk klakson dan padatnya jalanan protocol Jakarta, terjadi sebuah kecelakaan. Seorang bapak yang pulang dari rutinitas bekerja, mobilnya tak sengaja menyenggol motor yang melaju kencang. Begitu mobil bapak itu menyenggol, motor langsung tak terkendali dan jatuh. Seorang anak yang kebetulan tak memakai helm itu tersungkur dan kepalanya menghantam bahu jalan. Darah merah langsung tercecer di tepi jalan.
Sore hari yang macet itu, seorang anak terkapar di tengah jalan. Pelipis kanannya berdarah. Tak ada yang mengenali anak kecil itu. Pakaian lusuh dan celana pendek yang dikenakannya tampak kumal. Dilihat lebih dekat, celana itu adalah seragam sekolah. Tak jauh dari anak kecil terkapar, teronggok sepeda motor. Sebelahnya mobil mewah terparkir begitu saja. Kemudian tergesa-gesa bapak-bapak berpakaian kemeja rapi dan berdasi keluar dari mobil mewah itu. Tangan kanannya masih menggenggam gemblong. Dengan raut pucat pasi dan keringat dingin bapak itu mendekati anak yang terkapar. Anak itu lemah tak berdaya. Dia tak sadarkan diri. Motor yang berada tak jauh darinya terlihat rusak parah. Bahkan stang kemudinya bengkok. Bapak itu langsung terduduk dengan perasaan kacau.
Dia tak mengira anak itu sudah tak sadarkan diri. Suara klakson mobil di sekitarnya semakin membuatnya cemas. Dalam perjalanan pulang seperti ini kemacetan memang tak terhindari. Tapi, siapa sangka melaju sepeda motor yang menerobos dan menyalip di antara sela-sela padatnya mobil. Menyedihkan, bapak itu masih ingat detik-detik sebelum bumper depan mobilnya menyenggol motor yang membuat oleng dan jatuh. Dengan panik, dia mengeluarkan handphone untuk melakukan panggilan darurat panggilan ambulance. Tetapi, di tengah kemacetan seperti ini tak mungkin bantuan segera datang.
Siapa sangka, anak kecil yang terkapar dan berdarah di pelipis kanannya adalah seseorang yang sangat ia cintai. Padahal, baru kemarin rasanya bapak itu menghabiskan waktu bersama anaknya sendiri. Baru kemarin, tepat di akhir pekan bapak itu menghadiahinya sepeda motor. Bahkan, dia rela membatalkan janji meeting besar perusahaanya demi bertemu anaknya yang baru naik kelas. Tak ada yang tahu, gemblong di tanganya masih tergenggam. Tak jauh dari kemacetan itu, tukang gemblong masih berjualan seperti biasa. Tak ada yang tahu gemblong yang dimakan bapak itu, tercemar polusi. Gemblong yang dimakan mengakibatkan daya konsentrasi bapak menurun dan memicu kecelakaan tunggal sore ini.
Ternyata, tak ada yang tahu gula yang dipakai untuk membuat gemblong adalah gula kimia yang berbahaya. Tak ada yang tahu cinta yang begitu besar tak mampu mencegah datangnya kematian dan celaka.


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Terakhir yang kuingat adalah genggaman tanganmu, kilatan basah di matamu. Saat, aku tahu kau akan pergi tanpa meninggalkan pelukan.  Kau begitu ketakutan, menaiki wahana ini. Aku menggenggam tanganmu erat. Kau bilang akan pergi jauh, sehingga aku ingin hari pertemuan terakhir kita begitu berkesan.
“Aku takut ketinggian.”
“Aku jauh lebih takut kehilanganmu.”
“Kenapa kau mengajakku ke sini?”
“Agar kamu tahu seberapa besar ketakutanku kehilanganmu.”
Kau bilang, akan kuliah di luar negeri. Dari puncak bianglala aku bisa melihat pemandangan kota. Aku bisa melihat resah yang menggelayut di parasmu. Dan seolah luka menanti di depan mata. Aku mendekatkan diri dan merapatkan bibir untuk mengecup keningmu. Aku tak ingin dilupakan.
Begitu berada di puncak, kau terkejut setangah mati. Debar itu terasa begitu tanganku menyentuh lehermu.
“Kelak, kamu akan tahu begitu beratnya merindukanmu.”
Mungkin aku tidak akan mendapat pelukan, tapi aku akan mengecupmu lebih lama, sampai wahana ini berhenti. Atau detak jantungku berhenti.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Sebut saja Supri, dia sangat mencintai Ningsih. Setelah dua tahun berpacaran rupanya kantor menugaskan dinas keluar negeri ke Jepang. Ningsih mendengar kabar itu dengan senang bercampur sedih. Senang, karena akhirnya Supri mendapat promosi jabatan dan naik secara finansial. Tapi, dia juga sedih karena harus berpisah jauh dengan Supri.
Supri akan menjalani long distance relationship dengan Ningsih. Hal itu berarti Supri harus mempersiapkan hati sekuat baja dan kesabaran setebal tembok Cina.
“Ningsih, aku akan pergi jauh.”
“Iya, Bang. Aku juga tak sanggup melepasmu pergi.”
Kemudian mereka berpelukan sangat erat di bandara, kayak biskuit oreo. Ningsih yang ke mana-mana selalu diantar dan dijemput oleh Supri merasa kehilangan tukang ojek langganan. Supri dengan jaket kulit hitam yang sudah mengelupas, pun harus menghadapi kenyataan ini.
“Ningsih, ini jaket abang satu-satunya. Simpan ya layaknya hati abang.”
“Berarti hati abang udah jelek, dong.”
“Nggak apa-apa, jelek-jelek sayangnya sepenuh hati.”
Ningsih tersipu malu sambil menggerak-gerakkan ekornya. Ekor matanya. Ningsih yang suka menghangatkan Supri selama ini pun tak mau kalah memberikan cinderamata. Belum sempat Supri menarik napas, Ningsih mendekapnya. Kemudian kedua tanganya menyusup ke balik bajunya. Menyentuh punggungnya.
“Ini akan menghangatkanmu di perjalanan.”
“Terima kasih, Ningsih.”
Ningsih masih mengusap-usap punggung Supri untuk kali terakhir. Semakin lama dekapan pun semakin erat.
“Rasanya, kini jadi panas ya, Ningsih.”
“Iya, Bang.”
Hidung Supri mulai menghidu aroma ganjil dan terlihat tak nyaman. Dia meregangkan pelukan Ningsih.
“Abang malu ya, dilihatin banyak orang di bandara seperti ini.”
“Bukan, pelukan kamu biasanya hangat. Sekarang terasa panas membakar kulitku.”
“Iya, bang biar awet selama di jalan.”
“Emang, kamu pake apa, Ningsih?”
“Balsem hot, Bang.”
“Cukup, Ningsih.”
Mereka kemudian berdiri saling berhadapan. Di bandara, ruang tunggu. Mereka seakan ingin membekukan waktu. Detik jam terasa begitu cepat seperti kilatan pesawat jet.
“Semoga pesawatnya delay,” ucap Supri dalam hati.
Ada keheningan tercipta. Ningsih menyentuh pipi Supri dengan lembut. Mata Supri berkaca-kaca. Bening Kristal itu tak sanggup dibendungnya.
“Kamu jangan bersedih meninggalkanku, Supri.”
Supri masih terisak. Bulir bening itu akhirnya menetes. Getir itu tergambar jelas di raut  wajah Supri. Ningsih semakin lembut mengusap pipi Supri.
“Abang harus kuat, ya.”
Supri mengangkat dagu. Disedotnya cairan bening yang mulai menggumpal di lobang hidungnya.
“Panas, Ningsih. Tanganmu bekas balsam panas!”
“oh… oh, maaf, Bang.”
Supri pun mengusap sisa air mata dengan lengannya. Lalu lalang orang di ruang tunggu semakin sepi. Satu per satu masuk ke dalam pesawat. Ini adalah momen mengharukan melapaskan pergi seseorang yang begitu dicintai.
“Abang jangan lupa ngabarin aku, ya.”
Supri hanya menggangguk lemas.
“Ingat, Bang. Chat aku harus dibalas. Sudah cukup cintaku dulu pernah tak kau balas.”
Supri menggangguk cepat. Kemudian hening lagi. Tangan Ningsi menggenggam Supri, menggenapkan sela jemari dengan erat. Seolah jabatan tangan terakhir kalinya.
“Abang, boleh kau memenuhi permintaanku?”
“Apa saja, boleh untukmu Ningsih.”
“Aku mau ngupil, tapi tanganku bekas balsam. Bolehkah aku meminjam jarimu untuk mengupil?”
Supri langsung tari saman. Kemudian dia duduk di antara dua sujud cukup lama. Ningsih pun mengurungkan permintaan itu.
“Aku cuma minta kamu setia, Abang.”
“Baik, aku pegang janji dan amanat untuk setia kepadamu.
“Kita seperti adegan AADC di bandara ya.”
Supri hanya tersenyum simpul. Dia menunduk mengambil tiket dari tas yang diletakkan di lantai. Akan tetapi, seperti geluduk di pematang sawah dan menyambar tiang listrik kemudian roboh menimpa warung di pinggir jalan, ternyata Supri sedang makan mie goreng di warung itu. Dia kaget bukan kepalang matanya tertuju pada jari manis Ningsih. Jari itu sudah tak lagi dilingkari cincin pemberian Supri. Melainkan cincin lain.

Supri sedih berlinang air mata. (lanjutkan ending cerita ini versi kamu dalam kolom komentar)

*kisah Supri dan Ningsih ada di buku #Relationshit Alitt Susanto
Share
Tweet
Pin
Share
15 komentar


Cinta selalu saja menyuguhkan cerita. Seperti dua pasangan yang bersama tapi tak bisa menyatu. Atau dua manusia yang mengikat janji tapi tak ditepati. Masih ingat kan di mana pertemuan pertama berama dia? Hal-hal kecil tentang dia yang selalu terkenang. Menerbitkan benih-benih senyum seorang diri. Membayangkannya saja melegakan hati.
Tapi, siapa menyangka cinta juga memuat prahara. Cinta menjadi rumit, mengartikan rindu yang tak lagi sederhana. Menerjemahkan sikap yang tak lagi terarah. Mengertikan pembicaraan yang berujung pertengkaran. Cinta menyalakan sumbu percikan api, membakar seluruh gelora asmara yang ada. Kini, perasaan itu kian padam.
Meski, jarak bukan halangan. Waktu kembali mengancam. Intensitas terbatas jadi pemicu keharmonisan hubungan. Rentang lama cinta merajut rindu tak menjadi ukuran karena cinta soal perasaan. Cinta soal tanda tanya. Soal bahagia. Jika tak kunjung datang, selalu meneguhkan keresahan batin tak terkira.
Bukan jauhnya bentangan jarak di antara kita yang membuat sulit menggenapkan rindu dalam genggaman tangan. Bukan pula lawa waktu kita habiskan bersama menikmati sisa pelukan yang panjang. Bukan pula pengertian yang berseberangan tentang persepsi mimpi dan bahagia. Tapi, kita sudah tak lagi sejalan. Kita tak lagi jalan bersisian. Kita tak lagi sama.
Seolah, hati kita semakin menjauhkan diri. Berpaling dan memilih pergi.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar


“Kamu akhir-akhir ini berubah,”
“Nggak, kok.”
“Sekarang kamu cuek kayak nggak nganggap aku lagi,”
Segelas cokelat hazelnut dibiarkan dingin dibelai udara kosong. Kamu dengan sudut mata yang mulai basah lekat menatapku. Aku terdiam sambil memikirkan bagaimana caranya menjelaskannya kepadamu.
“Aku sudah bilang, sama sekali nggak ada yang berubah.”
“Tapi, kenapa kamu jarang ngabarin aku.”
“Aku, tuh sibuk. Lagi banyak kerjaan.”
“Tapi, emang sesibuk itu sampe nggak sempet ngabarin atau balas chat aku?”
Lagi-lagi aku hanya tertunduk dengan bibir tergigit getir. Sama sekali, tak ada yang berubah dari diriku. Kau, selalu menuntut perhatian. Aku tahu, hal ini tak lagi mudah untukmu. Segelas green tea latte di depanku tak segera kusambut. Kubiarkan batu esnya melebur dengan sisa greentea menawarkan rasa manis yang telah pudar.
“Awal kita pacaran, kamu baik banget sama aku.”
“Ya, kan itu beda.”
“Kenapa harus beda? Katanya kamu sayang?”
“Ini masalah waktu.”
Kamu tak terima jawabanku. Kamu mengungkit masa lalu. Kedai kopi tempat kencan kita menjadi saksi sejarah pertemuan, di mana aku bertemu kamu. Sudut meja yang kuingat, lukisan tanpa pigura yang tergantung di dinding. Kotak dadu yang tersimpan di meja kasir, begitu juga bel berwarna alumunium yang sering kau mainkan. Semua memori tempat ini tersimpan.
“Apa kamu sudah nggak sayang lagi sama aku?”
“Masih, kok.”
“Kenapa lantas kamu jadi berubah, aku nggak ngenalin kamu lagi,”
“Kamu salah menilai aku.”
Pertengkaran demi pertengkaran mewarnai hubungan kita. Untuk hal sederhana menjadi rumit. Satu menit lebih tiga puluh detik aku terlambat membalas chatmu, kamu marah minta turun harga BBM. Jelas, kamu semakin menuntut perhatian. Aku, tak lagi menyediakan perhatian sebanyak dulu.
“Dulu, awal pacaran kamu romantis banget sama aku. Sekarang nggak ada tuh,” katamu sambil melirik pasangan yang duduk tak jauh dari kita saling meniupkan kopi di sendok teh. Kamu melirik iri.
“Ya, kita kan beda.”
“Dulu, kalo greentea latte punyamu kurang manis, kamu minta aku meniupnya sampai dingin. Kamu bilang semua yang manis berasal dariku.”
“Tapi, kalo kemanisan aku takut diabetes.”
Kamu mendengus kesal. Aku berpura-pura sibuk mengaduk segelas green tea yang sudah tak menarik lagi. Seperti percakapan kita, ingin segera berakhir. Malam semakin larut, keramaian kedai kopi berangsur sepi. Kita berdua duduk berhadapan, tak lagi saling mengisi. Meski, kedua tangan saling tergenggam tapi hati tak lagi saling mengingini.
“Kamu bosan ya sama aku? Apa karena aku sering mengajakmu ke sini?”
“Bukan itu.”
“Berarti benar kamu merasa bosan?”
“Nggak, kok.”
Malam minggu mungkin jadi malam yang panjang. Tetapi, bagiku malamini jadi malam terpanjang. Percakapan yang tak menemukan titik temu. Pelayan yang mondar-mandiri melintas tempat duduk kita. Kamu lebih tertarik memandang layar televisi yang terpasang di sudut belakang, menampilkan pertandingan bola dengan keriuhan penonton. Mungkin, inilah rasanya sepi dalam keramaian. Pertandingan sepak bola sama sekali tak menyedot perhatianku.
“Aku capek, Sayang.”
“Istirahatlah.”
“Jadi, kamu mau melepasku pergi?”
“Bukan maksudku begitu.”
Detik berguguran sementara langit berubah pekat beranjak suram. Dalam sekejap, kulihat kilatan cahayamu terpantul dalam keremangan lampu. Matamu, basah. Aku menahan getir karena tak ingin ada tangis yang memecahkan pertemuan kita. Kamu, sama sekali tak memandangku. Pandanganmu kosong menatap layar televisi, seolah pertandingan final yang selama ini dinanti-nanti.
“Apa kamu menemukan seseorang yang lebih baik menurutmu?”
“Tidak, jangan menuduh hal itu.”
“Seseorang yang lebih cantik, lebih menarik perhatianmu!”
“Aku lebih tertarik kepadamu.”
“Bohong!” hardikmu kesal.
Aku terkesiap dan meraih tanganmu. Kuseka lembut perlahan mengusap punggung tanganmu. Menyelipkan jemariku agar mengisi sela jemarimu, yang mungkin membutuhkan sentuhan. Aku menggenggam tanganmu erat seolah malam ini kau tak tergapai lagi. Matamu nanar memandangku dan kilatan basah semakin tak terbendung manakala berkas bening itu semakin membanjiri sudut matamu.
“Kumohon, jangan menangis” ucapku
Tak ada suara. Tak ada gegap gempita malam ini. Segeas coklat dan greente tak tersentuh lagi. Aku dan kamu mengurai cinta yang tak lagi sepaham.
Kata Oka @daraprayoga_ orang yang jatuh cinta itu keinginannya sederhana: berdua dalam cinta. Benar, kan? Berdua dalam cinta memang manis. Tapi ternyata tidak selamanya cinta itu manis. Cinta itu banyak rasa. Mulai dari manis, asam, sampai pahit.
Bagaimana akhir kisah cinta mereka? Sertakan jawabanmu dalam kolom komentar ya


Share
Tweet
Pin
Share
14 komentar
Malam ini gue pilek dan kerjaan nggak berhenti-berhenti. Tiba-tiba hidung gue meler. Sepanjang jalan kaki dari kosan menuju MCD sekitar 800 meter hidung gue disumbat tisu. Pukul 12 malam jalan kaki gontai sepanjang jalan dilihatin sama orang.
“Ini orang gila apa zombie ya.”
Gue jalan kayak zombie, kelakuan kayak orang gila. Wajar sih, daripada gue dibilang mayat hidup kalo dua lubang hidung gue disumbat pake kanebo?
MCD lagi asyik playlistnya buat ngerjain editan. Namanya juga editor, ya tugasnya ngedit. Kalo benerin genteng namanya apa ya? Lo tahu nggak sih kalo hidung lagi meler kena dingin jadi merinding nggak jelas, gue takut pilek tambah parah. Sekarang Jakarta lagi cuaca ekstrem, kalo siang sampe 37 derajat celcius. Panasin dikit mendidih deh tuh.
Di sudut pojok MCD gue lihat ada ibu-ibu yang termenung menatap kosong dengan tangan terlipat di dada.
“Ada apa ya dengan ibu-ibu itu?”
Gue nggak berani negor atau pedekate.  Jelas, hidung gue masih tersumbat tisu. Kedua, gue bisa dipanggil sekuriti karena dugaan perkosaan nenek-nenek di MCD. Kebayang nggak sih, kalo ibu-ibu itu ternyata kehilangan anaknya? Atau berduka karena ditinggal suaminya yang nikah dengan daun pintu, eh daun muda.
Bagi sebagian orang, melihat orang asing tentu nggak kepikiran berbuat apa. Apalagi lihat ibu-ibu duduk pukul 12 malam sendirian di MCD. Ibu-ibu dengan garis kerutan di wajah, kantung mata dan rambut yang memutih. Membuat siapa pun yang melihatnya menerka bahwa ibu tersebut menua. Bahkan, di hari tuanya dia harus kesepian duduk di MCD seorang diri. Merindukan sesuatu.
“Ibu siapa ya?”
Gue mendekat ke kasir sambil memesan segelas es kopi tanpa float. Kesempatan untuk bertanya siapa tahu kasir penjaga MCD itu tahu siapa ibu yang duduk terlihat kedinginan itu.
“Mbak, ibu itu siapa?”
Penjaga kasir yang terlihat mengantuk menjawab, “nggak tahu.”
“Mbak udah lama jaga hari ini?”
“Iya, dari sore.”
“Ibu itu udah berapa lama duduk di sana?”
“Kira-kira tiga jam lebih.”
Gue membayar pesanan es kopi dan menerima struk dengan malas. Percakapan antara gue dan kasir penjaga MCD berakhir. Gue memilih kursi di sudut sebelah jendela kaca. Sekalian mencari posisi yang nyaman untuk mengedit sambil mendengarkan lagu. Dari arah seberang, ibu-ibu itu masih duduk.
Gue mengambil tisu dan menyumbatnya ke hidung. Seandainya tidak disumbat, hidung gue bocor tanpa waterpoof.
Terdengar pelan alunan lagu the script yang gue nggak tahu judulnya, tapi sering diputar di beberapa radio. Gue membuka laptop dan mulai menyiapkan dokumen yang ingin diedit. Sambil melirik ke arah ibu-ibu duduk, gue sesekali minum es kopi melalui sedotan. Rasa kopi dan dingin langsung menjalar ke tenggorok begitu gue telan.
Faktanya, gue pilek dan gue minum es kopi. Gue duduk di bawah ac yang dingin dan melanjutkan pekerjaan sambil sibuk menerka siapakah ibu yang duduk di sudut kursi berwarna hijau tersebut. Di sudut lain televisi 32 inch menyala menampilkan pertandingan bulu tangkis yang tidak begitu menarik. Gue pun hanya sekilas memandang dan tak tertarik menyaksikan. Mata gue kembali mengarah pada ibu-ibu tua yang masih duduk.
“Apa ibu itu nunggu dijemput anaknya?”
Dalam hati, kenapa juga ya gue mikirin ibu-ibu yang nggak gue kenal itu. Ngapain juga harus peduli asal-usul dan cerita hidupnya. Entah, gue merasa dari sorot matanya ibu-ibu itu seperti menyimpan sesuatu. Sorot mata lelah yang menahan kantuk itu hanya ditemani soft drink yang esnya mulai mencair. Bahkan, rasanya mungkin sudah tak manis. Tapi, ibu-ibu tetap duduk setia seperti menanti. Gue tak berani menatapnya lebih lama, karena tentu saja mengundang curiga.
Lalu, gue kembali melanjutkan pekerjaan dan tenggelam dengan deretan aksara yang perlu diperbaiki. Mata gue sibuk mengawasi celah kesalahan yang terselip di antara kalimat dan gagasan yang tak logis. Sesekali, gue meneguk es kopi agar mata tetap terjaga menatap layar. Dalam beberapa menit gue mencoba konsentrasi pada kerjaan.
Tiba-tiba, hidung gue gatal dan tak kuasa menahan diri untuk bersin. Gue menoleh ke samping, dan ternyata ibu-ibu itu sudah nggak ada. Bahkan, dia meninggalkan segelas soft drink yang masih tersisa. Gue nggak ambil pusing dan tetap melanjutkan pekerjaan.
Sejam berlalu, malam beranjak pagi. Petugas MCD sudah merapikan kursi dan membersihkan noda di meja. Gue harus bersiap untuk pulang. Mata gue lelah rasanya seharian duduk dan menatap layar. Sisa tisu yang masih ada gue ambil dan masukkan ke dalam lubang hidung.
Gue kembali kayak zombie berjalan gontai menyusuri trotoar yang sepi. Jarang kendaraan melintas dini hari. Sepanjang jalan pikiran gue dipenuhi oleh pertanyaan, kenapa lagu di MCD enak-enak. Baru berjalan sekitar 100 meter dari depan MCD mata gue menangkap sosok yang tak asing.
“Kayaknya gue tahu deh orang itu.”
Sosok ibu-ibu yang gue lihat di MCD tidur di emperan toko beralaskan koran tepat di sebelah gerobak berisi kardus bekas dan terlihat balita yang tertidur pulas. Seketika, nurani gue terketuk. Giliran mata gue bocor, tak ada tisu yang tersisa. 
“Siapakah ibu-ibu itu?”


Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Gue nggak ngerti kenapa cinta itu datangnya dari jatuh. Apakah hal itu terjadi gara-gara kebanyakan FTV selalu adegannya tabrakan, jatuh, mungutin buku terus tumbuh benih cinta. Ketika gue ngerasa cinta padahal nggak ada tuh adegan jatuh.
Gue cinta sama cewek yang kakinya napak di tanah, kulitnya halus, rambutnya terurai dan alisnya menarik. Kenapa alis jadi perhatian, coba deh bayangin ada cewek nggak punya alis? Bentuknya pasti aneh.
Cinta itu datang tiba-tiba, meski awalnya gue nunggu. Momen nunggu selama pedekate sama cewek itu bikin deg-degan. Kalo kecepetan takutnya salah, kalo kelamaan takut kena zona nyaman sebagai teman. Sama cewek gue yang ini pedekatenya lama biar awet gitu.
Menurut gue, cewek di mana-mana sama. Matanya ngedip, bulu matanya lentik, dan napas pake udara. Gue ngerasa untuk jatuh cinta sama cewek itu nggak perlu alasan, ya jatuh cinta aja gitu. Meski kadang akhirnya sakit lebih dari jatuh. Tapi namanya juga cinta, harus siap jatuh, kan?
Berapa kali, sih sebenarnya seseorang diberi kesempatan jatuh cinta? Coba seandainya kesempatan itu hanya tersedia satu kali. Serem, deh. Maka, selagi jatuh cinta gue merasa hal itu adalah kali terakhir gue jatuh cinta. Biar gue ngerasa sayang banget sama cinta yang sekarang.
Kalo ngomongin rumput tetangga selalu lebih hijau, itu pasti. Kalo lo sebagai tetangga juga pasti ngerasanya rumput gue lebih hijau. Karena mata manusia itu lebih suka melihat yang hijau. Sementara sibuk mencari rumput yang lebih hijau, rumput sendiri malah nggak keurus. Maka cinta pun pudar dan perlahan pergi.
Jatuh cinta itu tiba-tiba, prosesnya nggak disengaja. Terbit benih cinta begitu mendadak. Siap nggak siap, hati merasa jatuh. Nah, itu namanya jatuh cinta. Nggak perlu nunggu tiga hari untuk menjawab ketika ditembak. Cukup pejamkan mata, bayangkan dia, bagaimana kalo dia pergi dan tak pernah terlihat lagi. Rindu? Kalo jawabanya iya berarti siap-siap jatuh cinta.


Share
Tweet
Pin
Share
3 komentar
Pada akhirnya kau akan berpikir untuk memilih apa yang ingin kau lakukan dan harus dilakukan. Sementara waktu seakan perlahan menggerus usia dan menyadari kau tidak mendapatkan apa-apa. Apa yang kau cari dari ketiadaan. Apa yang meresahkan dari kekhawatiran tanpa alasan. Dari mana rasa takut itu muncul dan menguasai diri.

Apa sih yang tergambar di masa depan. Apa yang menyenangkan ketika menjadi dewasa. Kenapa ada kesunyian di antara keramain. Mengapa hati kecil ini gusar atas apa yang belum terjadi. Ke mana harus kucari ketenangan batin. Di manakah tempat untuk memutar waktu kembali.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
Aku tak pernah menyangka. Jika ujung sumbu itu akan meledak. Ketika luapan dalam dada berdebar dan kau menyalakan pemantik api untuk mengobarkan kepedihan hatiku. Bara kecil yang menyulut melepuhkan perasaanku. Kau bilang sahabat, tapi kau perlakukan lebih dari dekat. Denting kristal hujan yang jatuh di ujung daun meruak lahar yang menempa. Perih, luka. Pergilah jika itu harus. Matikan rasaku akan cinta yang menggebu. Bunuh ketika kau hunuskan kata, bukan untukku tapi untuknya. Kata rindu yang selama ini kita sangkarkan dalam tuah sakral. Kau sembahkan itu kepada karib kau kata lekat. Inginku hujamkan benci yang tertanam melumpuhkan persendian hatiku. Butakan mata hatiku tuk melihat hangat kasih cinta, yang terbagi untuknya. Seperti belati, kau tancamkan rindu bukan padaku tapi untuknya. Menerbitkan kebencian dalam kekekalan. Meretas sumpah akan cinta yang semena-mena, kini ditinggal pergi pemiliknya.
Share
Tweet
Pin
Share
No komentar
“Aku mau ngomong serius sama kamu, sambil makan malam aja.”
“Di mana?”
“Terserah kamu.”
“Di tempat favorit kita ya.”
Kau tiba-tiba mengirim pesan singkat. Tak seperti biasa. Aku pun terlonjak meraih jaket dan segera menembus jalanan yang kulihat langit mulai diselimuti mendung. Dengan kecepatan di atas rata-rata aku berusaha secepat mungkin bertemu kamu. Menepiskan keresahan yang terbit setelah membaca pesanmu.
Sepanjang jalan, aku menerka-nerka. Apa yang ingin kamu sampaikan. Pikiranku terusik dan tak fokus menatap jalanan yang cukup lengang. Begitu sampai kulihat kamu telah duduk manis menunggu sambil termangu.
Aku berjalan mendekatimu, menyapamu dengan senyum termanis yang bisa kuberikan.
“Sudah lama?”
“Baru, kok.”
Kamu sengaja menempati tempat kita. Di sudut paling pojok di bawah lampu remang dekat jendela. Tetapi dari sudut lain tempat kamu duduk, tergantung lukisan tentang hamparan langit malam dan bulan purnama. Aku menarik kursi dan duduk.
Malam itu, kau tampak berbeda. Raut muka tak bersinar seperti dahulu. Kau tersenyum canggung terkesan dipaksakan. Sekilas aku tak menemukan lagi rona cahaya mengkilat di matamu. Aku tak mengerti, apa yang terjadi. Adakah yang berubah?
“Kamu sudah pesan?”
“Belum.”
“Aku pesankan spageti carbonara, ya dan satu ice lemon tea.”
“Terima kasih.”
Sengaja kupesan menu makanan istimewa kesukaanmu, juga minuman favoritmu. Aku sengaja mengajakmu ke tempat di mana kita pertama bertemu. Tempat di mana aku mulai berani menatapmu tanpa malu. Kau mengiyakan dan datang tepat waktu, bahkan lebih dulu.
Aku menatap lukisan. Kau sibuk memainkan ujung daun dari setangkai bunga mawar plastik di atas meja.
“Mau langsung, atau makan dulu?”
“Kukira, makan dulu aja.”
Aku mengenakan baju pemberianmu, sengaja kusemportkan parfum terbaru yang kamu rekomendasikan dari majalah langgananmu. Kau pun mengenakan baju yang kusuka, berwarna biru pastel dan motif kupu-kupu.
“Kamu tahu, sebenarnya kamu tak benar-benar ada di sini.”
“Kok, bisa?”
“Iya, kamu seperti kupu-kupu, hinggap dan terbang lagi...” “... dan aku akan jadi bunga keabadian untukmu, ketika kau hinggap dan mengambil saripati, tak kuizinkan lagi pergi,”
“Nggak bisa, dong”
Kali ini, kau tak beraksi sambil tertawa. Kau lebih banyak diam, sesekali melemparkan pandangan ke luar dan mengintip langit. Sedangkan kutahu langit gelap dan sebentar lagi hujan. Kau tidak tertarik lagi dengan bujuk rayuanku.
Aku berusaha menepiskan prasangka buruk dan kecemasan. Kau justru memalingkan muka untuk menghindari tatapan mataku. Atau kau memilih tertunduk dan ujung jarimu mengetuk-ngetuk ujung meja. Sejenak keheningan tercipta.
“Pertama ke sini, kamu bicara banyak soal lukisan itu.”
“Iya, lukisan itu masih sama.”
“Tapi, langit malam ini tak sama.”
Menanti menu pesanan datang, aku berusaha memancing pembicaraan kita tentang langit, lukisan, bulan purnama. Kau sama sekali tak tergerak dan tak berselera. Kulirik pasangan yang duduk di meja dekat kasir, biasanya kita men-dubbing pembicaraan mereka dan menjadikan lelucon yang mengundang tawa. Kamu membacakan dialog pertengkaran karena pasangannya terbukti selingkuh, sementara aku kerap berusaha menyangkal dan ujungnya kita tertawa bersama-sama.
Tapi, malam ini kau hanya diam membisu. Guratan wajahmu tak mampu kubaca, keresahan di sudut matamu tak sanggup kuterjemahkan.
“Jadi, katanya kamu mencoba resep baru di rumah?”
“Iya, dibantu Mama.”
“Bagaimana rasanya?”
“Enak.”
Hampir saja, rasanya frustrasi. Aku terus berusaha mendesak bibirmu agar menyunggingkan senyum semanis dulu. Tapi kau hanya menimpali pertanyaanku dengan sekadarnya. Tiba-tiba aku teringat film kesukaanku yang sengaja kubawa di dalam tas, “Before Sunset”. Langsung kuambil dan meletakannya di atas meja.
“Ini film favorit kita, sampai kita tonton tiga kali.”
“Iya, aku juga suka.”
“Kamu percaya takdir?”
“Iya, aku percaya.”
Lalu aku membahas film itu panjang lebar. Pertemuan kembali Jesse dan Celine, mereka pun bertemu lagi di Paris setelah selama 9 tahun tidak bertemu. Mereka bernostalgia dan mengenang kebersamaan di masa lalu.
Kemudian aku mengutip salah satu dialog dalam film tersebut, “Memories are wonderful things, if you don’t have to deal with the past.” Kamu setuju dan mengangguk.
Tiba-tiba pramusaji datang dengan dua piring pesanan kita. Seketika pembahasan film terhenti dan aku tersenyum. Kamu mengambil sepiring spageti. Aku memesan ayam goreng rica-rica dan segelas susu putih.
“Lebih baik, makan dulu,” katamu
Aku mengangguk, tapi tak ingin kulewatkan kesempatan ini untuk terus berbincang denganmu. Dalam satu suapan sendok yang berhasil masuk ke dalam mulut, tiba-tiba kau angkat bicara.
“Besok aku akan pergi ke Jerman.”
“Apa?!” aku nyaris tersedak, jika tak buru-buru kuteguk susu.
“Makannya, pelan-pelan dong.”
“Kenapa begitu mendadak? Kenapa nggak bilang-bilang.”
“Aku sudah bilang tentang beasiswa itu sama kamu, dulu.”
“Iya, aku pikir cuma rencana, karena kamu bilang ingin kuliah di dalam negeri saja.”
Seketika, aku kehilangan nafsu makan. Bentangan ribuah mil terpancang jauh terbayang dalam benakku. Memikirkan intensitas pertemuan yang tak akan pernah terjadi lagi.
“Tapi, kenapa akhirnya kamu terima?”
“Iya, aku merasa harus mengejar mimpiku.”
“Lalu bagaimana dengan kita?”
Sama sekali, aku tak ingin menghabiskan makanan. Sama sekali, aku merasa oksigen tiba-tiba habis di dalam ruangan. Kemudian perlahan gerimis turun di luar sana meriakkan rintik tangis dalam hati yang masih sanggup kutahan.
Aku sadar, kita kerap bertengkar. Terlebih, kita pernah bermasalah dengan masa lalu. Tapi, aku sudah meyakinkan bahwa perasaanku sudah jatuh kepadamu. Hatiku sudah bertekuk lutut di depanmu. Kita pun menjalin cinta selayaknya biasa dan dihujani kasih sayang yang melimpah.
Apakah kurang cukup bagimu?
Lalu yang terjadi hanyalah denting garpu dan sendok mewarnai kebisuan kita. Kamu juga tak bersemangat menikmati carbonara kesukaanmu. Aku hanya memainkan sendok agar terlihat sibuk, sementara hatiku mulai terkoyak dengan bayangan perpisahan.
“Tapi, kita masih bisa sama-sama, kan?”
Kamu tak langsung menjawab. Aku tahu, Jerman adalah negara impianmu. Teknologi dan keindahan negaranya membuatmu tersihir dan sering kali mengajakku. Tapi, kini kau hendak pergi seorang diri. Kamu tak membawaku serta diriku yang ditinggalkan dengan perasaan penuh kekalutan.
“Tapi, bukankah kita bisa bertemu kembali seperti Jesse dan Celine?”
Detik waktu terasa melambat. Rintik hujan menjadi terabaikan. Keramaian pengunjung lain hanya diorama bagimu. Kini, hatiku mulai membeku. Bukan saja membayangkan perpisahan, tapi aku tak sanggup untuk duduk di sini tanpamu lagi, suatu hari.
“Kamu pasti jarang pulang.”
Dia tak juga bersuara. Tanganya mengulur maju dan menyentuh tanganku. Jemarimu hinggap dan memenuhi sela jemariku. Kamu menggenggam tanganku. Terasa hangat. Tapi tak terlalu erat. Bahkan kau seperti memegang, bukan lagi menjabatku seperti berpelukan.
Bukankah genggaman tangan menunjukkan lebih dari kata cinta?
Lalu ujung jari telunjukmu menyentuh nadiku, merasakan detak yang berdebar. Kecemasan karena membayangkan kehilangananmu.
Katakan sesuatu, Sayang. Aku butuh suaramu, jawabanmu.
“Maukah kamu menjaga hatiku di sana demi janji kita, janji setia?”
“Tak ada lagi kita.”
“Tapi Jerman kan hanya persoalan jarak, Sayang?”

Kau hanya menggeleng. Menyesap es teh lemon dari ujung sedotan lalu mengerjap pelan. Aku menghela napas, mengirup udara sekuatnya menyingkirkan gusar yang tergambar di parasku. Barangkali, aku akan terlihat seperti batang kayu yang bersiap menjadi abu. Kau adalah nyala api dalam dadaku yang bukan saja berkobar tapi berakhir membakar seluruh perasaanku.

Bagaimana akhir kisah ini? Apa yang harus kulakukan untuk meyakinkan dia?

Tulis jawabanmu di kolom komentar ya... 
(*jangan lupa sertakan akun Twitter)
Share
Tweet
Pin
Share
21 komentar
Aku terbangun bersimbah air mata, memimpikan perpisahan denganmu membuatku berderai tangis. Begitu mentari menyapa dan hangat pagi tak lagi terasa sama. Aku merasa detak jantungku tak berderu seperti kali pertama bertemu. Semacam firasat kedipan mataku terasa berat bahkan bibirku kaku untuk menyungging senyum. Siang hari seperti bencana ketika kau datang bersama luapan amarah, aku tahu bahwa aku salah. Tapi aku tak mengerti arti cinta lagi ketika kau utarakan keinginanmu. Meletuskan perih hati yang tak bisa kuurai, bersemayam benih benci yang menggumpal. Kau, mengubah mimpi buruk mewujud nyata. Seperti hari yang terkenang, aku mengenangmu dalam kebencian karena perpisahan ini tanpa pelukan.
Share
Tweet
Pin
Share
1 komentar
Akhirnya setelah sekian lama merantau di Jakarta, gue bisa pulang ke kampuang halaman di Cirebon. Berhubung harga tiket kereta yang melonjak setiap weekend gue selalu ambil kuda-kuda menjelang pulang. Berburu tiket murah kereta sekarang susah-susah gampang, susah dulu, susah lagi baru gampang. Terlebih lonjakan penumpang yang merantau ke Jakarta semakin banyak setiap tahun. Bocoran dari walikota Jakarta diketahui lonjakan urban yang datang ke ibu kota semakin meningkat. Jadilah setiap weekend gue menahan diri untuk pulang,  bukan karena nggak dapat tiket tapi ya karena mahal juga.
Mak, gue pulaaang!

Sekarang, setiap pulang gue selalu bernostalgia mencicipi makanan khas kota kelahiran gue sendiri. Ya, mengobati rasa kangen karena lidah ini sudah terkontaminasi dengan menu-menu ala Eropa. Padahal, jarang juga, sih gue makan western. Biasanya, kalo nggak warteg ya makan di bundo-bundo Padang. Sekalinya pulang, gue bakal berburu makanan khas daerah gue. Dari yang pasaran sampai mall-an. Gue bakal hunting makanan baheula sampai makanan terkini. Selain itu, gue bakal ngasih rate buat setiap makanan yang berhasil gue temukan.
Bisa jadi gue bakal datengin salah satu rumah makan dan review makan satu per satu, wedeeh. Bakalan kenyang mampus tuh gue makan segitu banyak. Postingan kuliner gue juga bakal ngomongin cita rasa dan komposisi, jadi setidaknya kalo mau racik sendiri juga bisa.
Berhubung di Cirebon gue cuma sebentar dan waktu banyak dihabiskan di rumah, kali ini gue mau ngasih tahu kepada pembaca salah satu the most delicioso in Cirebon! Letaknya berada di Jalan Batembat, pinggir jalan. 
Salah satu tempat makan strategis dan gampang dicari. Meski minim lahan parkir, tapi ada petugas yang ngarahin mobil agar tidak parkir di tengah jalan.
Nama tempat makannya adalah Empal Asam dan Empal Gentong H. Apud. Dung dung Jess!
kanan-kirinya juga rumah makan empal, tapi ini tiada duanya!

Jangan heran banyak mobil terparkir di halaman depan, ratusan motor berjejer rapi di sisi kiri. Rumah makan ini laris manis tanjung kimpul, ada gadis manis pasti banyak cowok ngumpul. Tempat ini benar-benar menyuguhkan hidangan istimewa bagi pecinta kuliner berkuah, karena tiga menu andalah di rumah makan ini bener-bener ajib. 
lahan parkir terbatas, tapi cukuplah

Begitu turun dari parkiran, aroma kuah empal yang gurih langsung tercium.
Gue pesan satu porsi, mamang-mamang yang kipas-kipas sate menoleh ke arah gue. Tergiur dengan potongan daging kambing yang ditusuk itu akhirnya gue juga pesan. Hari ini, gue makan satu porsi sate, empal asam, dan empal gentong. Hajar bleh!
Mamang-mamang sibuk melayani pembeli yang lain. Di depan gerobak empal Mamang itu dengan telaten dan sabar memotong daging dengan cekatan. Pesanan yang ordernya datang satu kali dalam semenit itu membuat Mamang harus cepat dalam bekerja.
Mamang A bertugas potong daging empal gentong

 Begitu gue datang Mamang tersenyum ramah, sebagai putra daerah gue bisa bahasa Cirebon.
“Mang kita tukue empal gentong siji, sate sepuluh tusuk bae, karo empal asem yo, Mang. Aja klalen dipai bawang abang, kecape aja kakeh.”
Pasti nggak ngerti ya?
Mamang B bertugas potong daging empal asem

Mamang itu tetap fokus potong daging dengan pisau tajamnya. Mamang yang lain kipas-kipas sate, gue mangap-mangap kena asap. Daripada baju gue bau sate kambing gue masuk ke dalam. Suasana rumah makan ini homy banget. Kaya mampir ke rumah tetangga, meski si tuan rumah selalu bilang, “Anggap aja rumah sendiri.” Gue mengambil duduk di salah satu sudut yang nyaman.

kursinya terbuat dari rotan Cirebon!

Menanti seporsi sate pesanan gue.
Jeng... jeng... jeng! Inilah sate kambing. Ayo ucapkan bersama-sama, “Sate Kambing!”
sate kambing perjaka!

Hahaaa. Dari dulu sate kambing juga bentuknya gitu-gitu aja. Tapi, jangan salah, daging kambing pilihan di rumah makan H. Apud ini berbeda. Katanya diambil dari kambing muda yang siap potong, udah matang dan mapan. Kambingnya juga harus yang bersih dan wangi biar dagingnya empuk dan enak dikunyah, ngaruh ya?
Setelah potongan daging sate disiram kecap manis, dan sedikit perasaan jeruk nipis, gue comot satu. Enak! Gue ambil lagi dua, tiga, sampai lima. Padahal, nasi belum datang. Sabar menunggu tiba deh giliran makanan dari surga empal gentong itu hadir di meja diantar oleh pelayan yang jalan gemulai. Tapi ya saudara-saudara seiman dan setakwa, jangan banyak-banyak makan empal gentong, karena kan dagingnya itu daging jeroan jadi diatur makannya.
Terhidang di depan mata gue semangkuk empal gentong dengan kuah kuning yang gurih, potongan tipis babat, usus, dan pilihan organ dalam itu siap berpindah ke dalam mulut gue. Asap bening masih mengepul di atas mangkok. Sepiring nasi putih hangat pun berada tepat di sebelah mangkok dan siap disendok.
Sebelum Inem, si pelayan seksi itu pergi gue minta tolong pesan minum es teh segar. Lengkap sudah, seporsi sate kambing, semangkuk empal gentong, empal asam, dan sepiring nasi putih plus es teh. Ngoahaha
apa pun makanannya, minum teh botol!

Empal gentong ini adalah empal yang dimasak di dalam gentong menggunakan bara api, biasanya juga bara dari batok kelapa. Kenapa harus batok kelapa? Karena tingkat panas bara batok kelapa tahan lama dan tidak meninggalkan bau serta asap yang pekat. Menu daging empal gentong sebenarnya bisa pilih sesuai selera, mau isi daging, usus, babat, organ dalam, ataupun organ vital. Bahkan, menu pendampingnya juga bisa nasi maupun lontong.
Soal citarasa, setelah sendok pertama gue seruput kuah kentalnya yang creamy santan itu emang maknyus. Butiran daun kucai pun terasa lidah selain bawah goreng. Gurihnya kuah ditambah dengan potongan daging yang empuk membuat lidah gue bergoyang dangdut saking enaknya. Mata gue merem melek karena panasnya. Endes, Cyin.
Sendok demi sendok tandas masuk ke dalam mulut gue. Tanpa dosa gue pun melahap satu lagi, empal asam. Empal asam ini adalah sama-sama empal. Bedanya, kuahnya lebih bening dan rasanya asam segar. Dagingnya pun sama, bisa pilih, boleh juga ditambah tulang lunak maupun tetelan daging lainnya. Biasanya, lebih gurih kalo dapat daging kikil, dijamin nagih. Untuk minum lebih segar es duren atau es kelapa muda untuk menetralkan panas kuahnya. 
Buat pecinta kuliner yang doyan makan berkuah dan sate kambing muda, rumah makan H. Apud ini rekomended banget. Lokasi strategis pinggir jalan sangat mudah dijelajahi, begitu pun harga yang bersahabat dan terjangkau.
Gue makan di tempat itu nggak pernah bosan, dulu rumah makan ini masih kecil dan hanya beberapa meja. Sekarang udah ngantre yang beli dan laris manis tanjung perak, gadis manis minta ditembak! Itulah jalan-jalan makan versi gue di Cirebon yang asyik menunya.
Nantikan jalan-jalan makan di lokasi lainnya. Sampai jumpa.


Share
Tweet
Pin
Share
2 komentar
Newer Posts
Older Posts

About me

recent posts

Sponsor

Facebook

Blog Archive

  • ►  2017 (2)
    • ►  Maret (2)
  • ►  2016 (8)
    • ►  Desember (1)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (1)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (3)
  • ►  2015 (17)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (2)
    • ►  Juni (1)
    • ►  Mei (2)
    • ►  Januari (3)
  • ▼  2014 (45)
    • ▼  Desember (4)
      • Sisa gemblong di tangan
      • Lebih dari rasa takut
      • Long Distance Relain-ship
      • Long Distance Relain-sip
    • ►  Oktober (2)
      • Analogi Cinta Berdua
      • Selembar Tisu
    • ►  September (1)
      • Jatuh Cinta
    • ►  Agustus (3)
      • Quarter life crisis
      • Sumpah Mati
      • Demi Janji Setia
    • ►  Juli (1)
      • Broken Heart
    • ►  Juni (5)
      • One Day Trip Cirebon Culinary
    • ►  Mei (6)
    • ►  April (7)
    • ►  Maret (16)
  • ►  2013 (16)
    • ►  Desember (1)
    • ►  November (3)
    • ►  Oktober (1)
    • ►  Agustus (6)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (1)
    • ►  Maret (1)
    • ►  Januari (1)
  • ►  2012 (59)
    • ►  Desember (4)
    • ►  November (9)
    • ►  Oktober (9)
    • ►  September (2)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Juli (1)
    • ►  Juni (6)
    • ►  Mei (7)
    • ►  April (4)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Februari (5)
    • ►  Januari (4)
  • ►  2011 (116)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (16)
    • ►  Oktober (5)
    • ►  September (14)
    • ►  Agustus (12)
    • ►  Juli (8)
    • ►  Juni (14)
    • ►  Mei (17)
    • ►  April (14)
    • ►  Maret (3)
    • ►  Januari (7)
  • ►  2010 (39)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (2)
    • ►  Oktober (2)
    • ►  September (1)
    • ►  Agustus (5)
    • ►  Mei (2)
    • ►  April (14)
    • ►  Maret (4)
    • ►  Februari (1)
    • ►  Januari (2)
  • ►  2009 (12)
    • ►  Desember (6)
    • ►  November (4)
    • ►  Oktober (2)

Created with by ThemeXpose | Distributed By Gooyaabi Templates