Mataku belum sempat benar-benar terbuka, lalu kudengar teriakan. Tapi aku tak bisa melihat apapun. Nampak kabut tebal menyelimuti. Hawa panas mulai terasa membakar kulitku. Aku melihat reruntuhan. Lalu suara batuk di seberang kamarku. Itu adalah kamar Ibuku. Aku tak bisa bangkit karena terhalang sesuatu yang berat menimpa pahaku. Bahkan untuk melihat telapak tanganku sendiri mataku sangat perih. Apa yang terjadi. Aku tak bisa mengingat apa pun tentang semalam. Kecuali kita saling bersenggama dan bergumul di...
Mungkin, aku akan membiarkan diriku tersesat untuk menemukan sebuah jalan. Ketika setiap kesempatan dan jalan yang ada tampak di depan mata, masih ragu untuk kujejaki. Langkahku selama ini mungkin menjauhkanku pada alur cerita. Namun apakah kau merasakan bahwa setiap ujung gang aku selalu menunggumu, aku bahkan rela berbelok dan berkorban untukmu. Tapi kau selalu mencari jalan yang lebih jauh dari tempatku berdiri. Apalah arti jarak jika hatimu sebenarnya pun tak berjarak dan kita sedemikian dekat...
Malam itu, aku ingin sekali menyentuhmu. Kau begitu dingin, seperti salju. Bukan, kau lebih seperti eskrim, dingin tapi lembut di dalam. Manis di lidah, dan terasa hangat bila tersentuh. Kau sama sekali mudah tersentuh, ketika emosi melandamu. Aku hanya bisa menunggu dan mengecup jari, mengulumnya seperti permen. Kapan malam bisa menjadi hangat bagimu. Ketika masa aku benar-benar ingin, sekedar menyapa. Atau cuma mendengar suaramu seperti nyanyian burung cemara. Aku mencintaimu, seperti dingin eskrim di dalam...
Gelombang udara masih dingin terasa. Kau pun masih dingin. aku bisa saja menghangatkanmu. Tapi tubuhku masih terbalut kain. Aku malu, untuk melepas baju. Tapi raut mukamu masih nampak dingin. kubelai saja, mungkin akan terasa hangat. Walaupun hujan turun di hati kita, kau masih akan merasakan kehangatan dariku. Sehangat uap. Walaupun tanpa asap, seperti sketsa udara di atas cangkir kopi. Segelas saja sungguh terasa nikmat, bukan saja hangat. Tapi cukup nikmat. Masihkah kau mau melayaniku seperti...
Dia hanya duduk di sudut gelap. Tanpa cahaya. Angin terasa dingin. Lelaki itu hanya memandang kosong. Kemudian dia ambil sepuntung rokok dari balik saku. Dia ragu. Ini rokok terakhirnya malam ini. Malam masih panjang. Dia tidak bisa menghabiskan sisa malam ini sendirian dengan sebatang rokok yang tersisa. Apa yang harus dilakukannya. Tak ada pilihan. Api pun menyala bergoyang ketika ujung rokok terbakar dan api tersambar angin. Lalu padam. Dihisapnya dalam-dalam sepanjang tarikan nafasnya menelannya jauh...
Sejak mama menemukan foto seorang perempuan di dalam saku ayah, mama tak pernah terlihat tenang berhadapannya. Sesekali mama bertanya dengan nada tinggi, kemudian membentak dan marah. Tapi ayah selalu mengelak dan tidak mengakui wanita yang ada di dalam sakunya. Mama menyebutnya wanita jalang. Ayah pun tak menerima, dia mengatakan wanita itu adalah temannya. Lantas kenapa ada foto di dalam saku. Sungguh mencurigakan, untuk apa foto itu. Ayah pun tak bisa menjawab. Dia hanya mendengus kesal...
Mama masih berkabung, matanya tampak masuk ke dalam. Mungkin, semalam mama tak bisa memejamkan mata lantaran terus memikirkannya. Aku tahu ma, kau masih mencintai ayah. Tapi apakah kau tak cukup sadar akan luka yang telah merobekkan hatimu. Dan dia pergi begitu saja tanpa memalingkan muka. Dia tak lebih dari sekedar belati bagimu. Semakin kau memikirkannya maka luka yang kau rasakan semakin dalam. Aku ingin mama tahu, aku lebih mendukungmu. Ayah memang tidak berperasaan. Mama masih...
Aku coba menenangkan Mama, sapu tanganya basah penuh air mata. Mama hanya terduduk di ranjang tempat mereka berdua memadu cinta. Akan tetapi tak ada cinta lagi di sini, sorot pandangan mama pun kosong. Matanya sembab, aku hanya bisa memeluk Mama. Mama tak berbicara sepatah kata pun, memandangi foto pernikahan itu dengan sesunggukan. Aku pun larut dalam kesedihan, Mama aku akan selalu bersamamu. Aku sadar bahwa perceraian tidak membawa kebahagiaan bagiku. Mungkin bagi Ayah, aku tidak...
Mungkin kau akan setuju dengan pendapatku. Sejak Ayah pergi, mama pun meraung-raung di kamarnya. Aku bingung, apa yang tengah terjadi. Kau tahu, Ayah menceraikan mama. Aku lemas dan tak kuasa berdiri. Malam itu, yang terdengar di telingaku hanya pertengkaran, ditutup dengan pintu yang terbanting dan mama sesunggukan di dalam kamarnya. Aku hanya terdiam. Tiba-tiba mataku pun terluka. Aku ketuk pintu kamar mama, tak ada jawaban. Aku benci perceraian. Apakah kau pikir perceraian tidak berpengaruh apa-apa...
Semua hal akan tampak terlihat lebih indah pada waktunya. Pada waktu yang telah ditetapkan dan kenyataan pun berjalan sebagaimana mestinya. Ada waktu untuk menunggu dan menanti penuh harapan. Ada waktu untuk menangis karena kesedihan dan penyesalan yang begitu dalam. Ada waktu untuk tertawa pada hal yang lucu. Ada waktu untuk diam dan menatap kosong tentang jalan hidup yang tak pasti. Ada waktu untuk berserah diri dan merelakan semuanya dengan penuh keikhlasan membiarkan segalanya terjadi. Ada...
Apakah selama ini kita hanya bersandiwara, dan berpura-pura tampak lebih nyata. Bertemu denganmu, kemudian tersenyum. Menyapa, kemudian saling bicara. Bercerita kemudian saling bertegur sapa. Aku dan kamu, kita. Menggenggam tangan dan saling menatap dalam. Kemudian mengedip dan senyum kembali merekah. Aku menyentuhmu, membelaimu. Kau pun menatapku, kemudian menyentuhku. Lalu aku hanya mempunyai bahasa tubuh yang tak perlu dikisahkan. Karena kita sama-sama tahu. Waktu berjalan begitu cepat, sehingga aku tak bisa menghentikannya barang sejenak. Bahkan untuk...
Sebentar lagi pernikahanku. Apakah kau tahu, aku masih memikirkannya. Maafkan aku, aku tak bisa membohongi perasaanku. Aku masih mencintainya, bisakah kau mengerti posisiku. Kau melamarku tiba-tiba di saat aku bimbang. Dan kuterima saja niat baikmu lantaran hatiku hampa. Akan tetapi, detik-detik menjelang pernikahan begitu menyiksa. Dia pun mendadak datang dan mengiba, mengumbar janji dan bersumpah cinta. Apa yang harus kulakukan, antara tetap menikahimu dan meninggalkanmu untuknya. Sungguh, bukan maksudku mempermainkanmu. Aku tahu, cinta kadang datang...
Tanpa kau tahu, hari-hari telah tertutup usang dan selalu terganti. Tapi hatiku selalu terlihat baru dan menarik untukmu. Takkan terganti. Aku tidak membual. Apa yang sebenarnya dinyanyikan para penyair untuk merayu kekasihnya. Apakah semacam puisi dan sajak-sajak penuh cinta. Puisi akan tampak tidak berharga karena selalu penuh dengan kiasan. Ada hal yang lebih sederhana untuk diungkapkan. Ketika kau mungkin merasa harus membacanya, kau takkan perlu berpikir. Hanya terlintas dan setiap deret huruf mudah terbaca, juga...
Ini kisah sedihku. Aku pecundang. Mungkin aku lebih pantas disebut bodoh. Benar saja, aku meninggalkannya. Aku sudah tak sanggup lagi, menjalani cinta ini. Dia pun tersiksa, karena begitu mencintaiku. Apa yang sebenarnya terjadi. Aku tak punya pilihan, daripada menyesal nanti. Aku ingin kau tahu bahwa aku tidak pantas untukmu, apa yang bisa kuberikan. Semua ini bukan tentang cinta. Semua ini tentang kenyataan. Aku tahu bahwa aku sangat mencintaimu, dan kau juga merasakan hal yang sama....
Aku tahu, dia memang sengaja menyembunyikannya dariku. Saat kutanya, dia selalu berkilah dan menutup mulut. Matanya yang sendu terbingkai kaca mata sehingga tak mudah ketemukan kebohongan dalam setiap mimiknya. Dia hanya tersenyum, atau mungkin lebih tepat menyeringai. Setelah lama kucari, dia memang selalu bungkam. Sesekali hanya memandang dan tak banyak bicara. Ketika kutemui pun dia hanya bisa menggelengkan kepala dan terdiam kembali. Aku menunggu reaksinya, tapi dia tetap bergeming. Apa yang dia khawatirkan, aku hanya...
Gerimis kembali menghujani tanah, kemudian basah. Aroma tanah selepas hujan selalu memberikan kenyamanan, mengingatkanku padamu. Pada kisah malam yang kian temaram berganti menjadi tetesan hujan. Lalu kau menarikku untuk bernaung di beranda, tanpa kusadari deru nafasmu terdengar dekat. Lalu rasa dingin yang menjalar membuatku semakin merapat. Kau hanya tersenyum, di bawah rintik hujan yang terdengar merdu. Kita bercumbu pada desah yang berubah menjadi basah. Gerimis menjadi bahasa hujan yang membisikkan kata rindu lebih dekat ke...
Aku merintih, tetap kupaksa. Keringat pun mengucur, dadaku terguncang. Aku takut ini adalah akhir dari segalanya. Setelah kutelan beberapa pil semalam, aku harap ini akan bekerja. Ketakutanku menghantui pikiranku untuk tenang. Tak perlu risau, kau juga tidak peduli. Awalnya memang cinta, selepas benci dan aku mulai mengutukmu. Kau telah menanam benih di rahimku. Padahal aku tahu ini belum saatnya. Aku memang menyukaimu dan sangat mencintaimu. Tapi bisakah kau lebih bertanggung jawab dan menyadari perbuatanmu. Aku...